Gotong-royong Membangun Masa Depan Investasi Hijau di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jurisdiction Collective Action Forum menghadirkan pihak pemerintah dan swasta dalam topik pembahasan seputar gotong-royong membangun masa depan investasi hijau di Indonesia melalui praktik yurisdiksi berkelanjutan .
Praktik pendekatan yurisdiksi yang berkelanjutan merupakan praktik terbaik berbasis bukti dan mengidentifikasi pendekatan umum yang akan menunjukkan cara beroperasi secara efektif dalam memajukan investasi ke dalam yurisdiksi.
Saat ini, para pelaku bisnis dan investor sedang mencari cara untuk mengakses pendanaan pembangunan hijau, seperti dana fiskal domestik, pendanaan konvensional, obligasi hijau atau sukuk hijau , dan dana investasi global yang memberikan modal untuk mengintensifkan produksi komoditas yang berkelanjutan di Indonesia.
Pendekatan yurisdiksi (Jurisdiction Approach/JA) merupakan salah satu prospek untuk mengakselerasi pembiayaan berkelanjutan.
Kepala Sekretariat LTKL & Anggota Koalisi Ekonomi Membumi, Gita Syahrani mendefinisikan ‘keberlanjutan’ dari sisi Indonesia yang tidak melulu menekankan tentang lingkungan, tapi juga tentang pemenuhan sosial dan pertumbuhan ekonomi.
“Benang merah yang saat ini bisa digunakan adalah pelaku usaha yang ‘ESG Ready’. Komitmen terhadap Environment, Social, and Governance (ESG) untuk pelaku usaha sifatnya kini sudah wajib terpenuhi apabila ingin mendapatkan investasi," jelas Gita.
"Secara konkret, investasi yang sesuai ESG juga menunjukkan tren naik. Hal ini sejalan dengan tren pembelian konsumen, utamanya Gen-Z, yang menginginkan produk dan jasa ramah lingkungan dan ramah sosial (ESG Consious). Dengan potensi keanekaragaman hayati dan hasil hutan bukan kayu, pelaku usaha Indonesia dapat menyediakan ragam opsi produk dan jasa bernilai tambah yang berdampak positif untuk lingkungan, sosial dan ekonomi riil,” paparnya.
Pada saat yang sama, model bisnis di pasar komoditas memiliki orientasi ke arah lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) terus tumbuh selama beberapa tahun terakhir. Hal ini merupakan situasi yang menggembirakan bagi dunia usaha, regulator, dan lembaga keuangan Indonesia dalam momentum G-20 dan untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan nasional.
Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal, Kementerian Investasi/BKPM, Indra Darmawan memaparkan, Indonesia memiliki komitmen dan target kontribusi terhadap perbaikan iklim dunia, salah satunya melalui pengurangan emisi karbon. Bagi mendukung itu, pemerintahan tengah mengembangkan 25 indikator dari sektor ekonomi, lingkungan, sosial, dan pemerintahan (ESG) yang dapat dijadikan panduan investasi dalam mencapai keberlanjutan (SIG).
"Upaya pengurangan emisi karbon dilakukan salah satunya melalui program transisi energi berbasis EBT serta pengembangan mobil listrik dan ekosistem pendukungnya seperti industri baterai dalam waktu dekat," ucap Indra.
Menyadari banyak program yang telah dilakukan di tingkat kabupaten, para pihak berkumpul dan memprakarsai Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) untuk mempertemukan inisiatif-inisiatif yang telah ada dan dapat didorong untuk dapat memobilisasi pendanaan hijau dan dukungan swasta maupun pemerintah masuk untuk mendukung komitmen bersama pemerintah terhadap agenda iklim dan pembangunan yang berkelanjutan.
Secara holistik, dialog dapat mengidentifikasi tantangan, peluang, dan prioritas di tingkat yurisdiksi untuk mencapai solusi yang terukur.
Dalam paparan Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam yang dibawakan oleh Staf Perencanaan BAPPENAS, Irfan Yananto tentang mengarustamakan pendekatan yurisdiksi dalam penerapan kebijakan pembangunan berkelanjutan, beliau menegaskan, pada momentum G20 mendatang, Indonesia akan memperkuat kolaborasi tingkat global dalam mengatasi perubahan iklim dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan.
"BAPPENAS akan memimpin Development Working Group (DWG) melalui 3 fokus area, yakni meningkatkan produktivitas dan daya saing UMKM, memastikan ketahanan terhadap guncangan melalui perlindungan sosial yang adaptif, dan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan rendah karbon melalui program ekonomi hijau dan ekonomi biru," beber Irfan.
Contoh dari JA yang tengah berkembang saat ini adalah konservasi hutan dan produksi komoditas berkelanjutan yang telah dilaksanakan melalui pendekatan multi-stakeholder yang diselenggarakan oleh organisasi dan dari sisi pemerintahan.
Seperti yang disampaikan oleh OJK Secondee, Environmental Department OECD Istiana Maftuchah dalam kesempatan berdiskusi, proses penulisan panduan taksonomi hijau dan biru, OJK bekerja sama dengan 8 kementerian terkait dan industri tertentu sebagai vocal point penerapan yurisdiksi antarnegara.
Namun untuk mempertegas struktur dan mekanisme pendanaannya, dibutuhkan panduan yang bisa selaras dan digunakan oleh seluruh pihak, terutama bagi sektor finansial. Panduan tersebut diharapkan dapat menjadi landasan bagi sektor terkait dalam menciptakan inovasi penanggulangan perubahan iklim di Indonesia.
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono menyatakan, BEI secara aktif terus mendorong terciptanya ekosistem keuangan berkelanjutan di Pasar Modal. Denny menggarisbawahi yang perlu diingat adalah tantangan isu keberlanjutan ini akan berdampak kepada kelangsungan hidup perusahaan dan tindakan yang diambil oleh investor saat ini akan menentukan kesejahteraan generasi mendatang.
Sehingga berharap agar seluruh pemangku kepentingan mendorong penerapan aspek berkelanjutan dan bersedia memberikan insentif bagi sektor yang perencanaan pembangunannya memiliki tujuan berkelanjutan (Sustainable Development Goals(SDGs)).
Chief Financial Officer PT Sarana Multi Infrastructure, Darwin T. Djajawinata mengungkapkan, taksonomi hijau dan biru akan membantu dalam arah pendanaan berkelanjutan. Di awal penerapannya akan dilihat sebagai skema tambahan oleh sektor pendanaan yang bergantung kepada fasilitas yang akan diterima serta risikonya.
Maka, pembentukan prinsip berkelanjutan itu harus lebih diperhatikan. Darwin mengukuhkan bahwa mengembangkan sistem pembangunan berkelanjutan di Indonesia perlu konsistensi, inovasi, dan pantang menyerah.
Direktur eksekutif Filantropi Indonesia, Gusman Yahya menutup diskusi dengan menegaskan, bahwa Lembaga keuangan dan investor kini mulai mempertimbangkan ESG sebagai jembatan yang efektif untuk mencapai SDGs. Mekanisme pendanaan dan investasi berbasis lingkungan, pemanfaatan green financing sebagai solusi alternatif untuk mencapai SGDs di tingkat kabupaten dan nasional.
"Untuk itu diperlukan gotong-royong antar-pihak dan sinkronisasi lintas sektor, dunia usaha, filantropi, regulator untuk menyambut momentum pencapaian target pembangunan Indonesia dan Agenda Iklim seperti yang didorong pada konferensi G-20 tahun ini," ungkap Gusman.
Praktik pendekatan yurisdiksi yang berkelanjutan merupakan praktik terbaik berbasis bukti dan mengidentifikasi pendekatan umum yang akan menunjukkan cara beroperasi secara efektif dalam memajukan investasi ke dalam yurisdiksi.
Saat ini, para pelaku bisnis dan investor sedang mencari cara untuk mengakses pendanaan pembangunan hijau, seperti dana fiskal domestik, pendanaan konvensional, obligasi hijau atau sukuk hijau , dan dana investasi global yang memberikan modal untuk mengintensifkan produksi komoditas yang berkelanjutan di Indonesia.
Pendekatan yurisdiksi (Jurisdiction Approach/JA) merupakan salah satu prospek untuk mengakselerasi pembiayaan berkelanjutan.
Kepala Sekretariat LTKL & Anggota Koalisi Ekonomi Membumi, Gita Syahrani mendefinisikan ‘keberlanjutan’ dari sisi Indonesia yang tidak melulu menekankan tentang lingkungan, tapi juga tentang pemenuhan sosial dan pertumbuhan ekonomi.
“Benang merah yang saat ini bisa digunakan adalah pelaku usaha yang ‘ESG Ready’. Komitmen terhadap Environment, Social, and Governance (ESG) untuk pelaku usaha sifatnya kini sudah wajib terpenuhi apabila ingin mendapatkan investasi," jelas Gita.
"Secara konkret, investasi yang sesuai ESG juga menunjukkan tren naik. Hal ini sejalan dengan tren pembelian konsumen, utamanya Gen-Z, yang menginginkan produk dan jasa ramah lingkungan dan ramah sosial (ESG Consious). Dengan potensi keanekaragaman hayati dan hasil hutan bukan kayu, pelaku usaha Indonesia dapat menyediakan ragam opsi produk dan jasa bernilai tambah yang berdampak positif untuk lingkungan, sosial dan ekonomi riil,” paparnya.
Pada saat yang sama, model bisnis di pasar komoditas memiliki orientasi ke arah lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) terus tumbuh selama beberapa tahun terakhir. Hal ini merupakan situasi yang menggembirakan bagi dunia usaha, regulator, dan lembaga keuangan Indonesia dalam momentum G-20 dan untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan nasional.
Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal, Kementerian Investasi/BKPM, Indra Darmawan memaparkan, Indonesia memiliki komitmen dan target kontribusi terhadap perbaikan iklim dunia, salah satunya melalui pengurangan emisi karbon. Bagi mendukung itu, pemerintahan tengah mengembangkan 25 indikator dari sektor ekonomi, lingkungan, sosial, dan pemerintahan (ESG) yang dapat dijadikan panduan investasi dalam mencapai keberlanjutan (SIG).
"Upaya pengurangan emisi karbon dilakukan salah satunya melalui program transisi energi berbasis EBT serta pengembangan mobil listrik dan ekosistem pendukungnya seperti industri baterai dalam waktu dekat," ucap Indra.
Menyadari banyak program yang telah dilakukan di tingkat kabupaten, para pihak berkumpul dan memprakarsai Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) untuk mempertemukan inisiatif-inisiatif yang telah ada dan dapat didorong untuk dapat memobilisasi pendanaan hijau dan dukungan swasta maupun pemerintah masuk untuk mendukung komitmen bersama pemerintah terhadap agenda iklim dan pembangunan yang berkelanjutan.
Secara holistik, dialog dapat mengidentifikasi tantangan, peluang, dan prioritas di tingkat yurisdiksi untuk mencapai solusi yang terukur.
Dalam paparan Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam yang dibawakan oleh Staf Perencanaan BAPPENAS, Irfan Yananto tentang mengarustamakan pendekatan yurisdiksi dalam penerapan kebijakan pembangunan berkelanjutan, beliau menegaskan, pada momentum G20 mendatang, Indonesia akan memperkuat kolaborasi tingkat global dalam mengatasi perubahan iklim dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan.
"BAPPENAS akan memimpin Development Working Group (DWG) melalui 3 fokus area, yakni meningkatkan produktivitas dan daya saing UMKM, memastikan ketahanan terhadap guncangan melalui perlindungan sosial yang adaptif, dan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan rendah karbon melalui program ekonomi hijau dan ekonomi biru," beber Irfan.
Contoh dari JA yang tengah berkembang saat ini adalah konservasi hutan dan produksi komoditas berkelanjutan yang telah dilaksanakan melalui pendekatan multi-stakeholder yang diselenggarakan oleh organisasi dan dari sisi pemerintahan.
Seperti yang disampaikan oleh OJK Secondee, Environmental Department OECD Istiana Maftuchah dalam kesempatan berdiskusi, proses penulisan panduan taksonomi hijau dan biru, OJK bekerja sama dengan 8 kementerian terkait dan industri tertentu sebagai vocal point penerapan yurisdiksi antarnegara.
Namun untuk mempertegas struktur dan mekanisme pendanaannya, dibutuhkan panduan yang bisa selaras dan digunakan oleh seluruh pihak, terutama bagi sektor finansial. Panduan tersebut diharapkan dapat menjadi landasan bagi sektor terkait dalam menciptakan inovasi penanggulangan perubahan iklim di Indonesia.
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono menyatakan, BEI secara aktif terus mendorong terciptanya ekosistem keuangan berkelanjutan di Pasar Modal. Denny menggarisbawahi yang perlu diingat adalah tantangan isu keberlanjutan ini akan berdampak kepada kelangsungan hidup perusahaan dan tindakan yang diambil oleh investor saat ini akan menentukan kesejahteraan generasi mendatang.
Sehingga berharap agar seluruh pemangku kepentingan mendorong penerapan aspek berkelanjutan dan bersedia memberikan insentif bagi sektor yang perencanaan pembangunannya memiliki tujuan berkelanjutan (Sustainable Development Goals(SDGs)).
Chief Financial Officer PT Sarana Multi Infrastructure, Darwin T. Djajawinata mengungkapkan, taksonomi hijau dan biru akan membantu dalam arah pendanaan berkelanjutan. Di awal penerapannya akan dilihat sebagai skema tambahan oleh sektor pendanaan yang bergantung kepada fasilitas yang akan diterima serta risikonya.
Maka, pembentukan prinsip berkelanjutan itu harus lebih diperhatikan. Darwin mengukuhkan bahwa mengembangkan sistem pembangunan berkelanjutan di Indonesia perlu konsistensi, inovasi, dan pantang menyerah.
Direktur eksekutif Filantropi Indonesia, Gusman Yahya menutup diskusi dengan menegaskan, bahwa Lembaga keuangan dan investor kini mulai mempertimbangkan ESG sebagai jembatan yang efektif untuk mencapai SDGs. Mekanisme pendanaan dan investasi berbasis lingkungan, pemanfaatan green financing sebagai solusi alternatif untuk mencapai SGDs di tingkat kabupaten dan nasional.
"Untuk itu diperlukan gotong-royong antar-pihak dan sinkronisasi lintas sektor, dunia usaha, filantropi, regulator untuk menyambut momentum pencapaian target pembangunan Indonesia dan Agenda Iklim seperti yang didorong pada konferensi G-20 tahun ini," ungkap Gusman.
(akr)