Reformasi Subsidi Energi untuk Antisipasi Tekanan APBN 2023

Jum'at, 12 Agustus 2022 - 08:04 WIB
loading...
Reformasi Subsidi Energi...
Pemerintah diminta untuk melakukan reformasi subsidi energi. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Di tahun ini APBN kita menghadapi beban berat subsidi energi akibat naiknya harga minyak dunia. Pemerintah mengatakan bahwa subsidi energi yang sudah digelontorkan mencapai Rp502 triliun.



Selain persoalan harga minyak dunia tahun depan yang diperkirakan masih tetap tinggi, potensial beban subsidi akan bertambah jika melihat tren konsumsi BBM dan listrik yang akan naik seiring dengan terus membaiknya ekonomi domestik. Gap harga yang cukup senjang antara Pertalite dan Pertamax berpeluang migrasi konsumsi pertalite akan lebih besar, sehingga kebutuhan konsumsi Pertalite semakin meningkat.

Secara alamiah kecenderungan konsumsi Pertalite terus naik. Pada tahun 2017 konsumsi pertalite sebanyak 14,5 juta kiloliter. Nah baru pada Juli 2022 telah terkonsumsi sebanyak 16,8 juta kiloliter.

"Mempertimbangkan perkiraan ke depan dan tren konsumsi BBM kita selama ini, maka sebaiknya pemerintah segera membuat berbagai kebijakan untuk mengantisipasi tekanan terhadap APBN pada sisi subsidi energi pada tahun 2023," kata MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR, dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (12/8/2022).

Menurut Said Abdullah ada beberapa langkah mitigasi yang bisa dilakukan pemerintah. Di antaranya melakukan reformasi kebijakan subsidi energi sesegera mungkin. Mengubah subsidi energi yang semula berbasis komoditas menjadi berorientasi pada orang.

Data TNP2K menyebutkan dari 50,2 juta rumah tangga yang menerima program subsidi LPG, 32% rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah hanya menikmati 22% dari subsidi LPG, sementara 86% dinikmati oleh kelompok yang lebih mampu. Kondisi ini terjadi karena tabung LPG subsidi diperjualbelikan bebas di pasaran bersamaan dengan LPG non-subsidi dengan selisih harga yang jauh.

Terkait subsidi listrik, menurut Said Abdullah, justru diterima oleh kelompok yang tergolong mampu secara ekonomi. Ironisnya hanya 26% kelompok miskin dan rentan yang menikmati subsidi listrik karena sebagian rumah tangga kaya masih menggunakan konsumsi listrik 900 VA.

Kondisi serupa terjadi pada Pertalite seiring dengan gap harga yang cukup jauh dengan Pertamax. Migrasi konsumen Pertamax ke Pertalite akan berkonsekuensi beban subsidi meningkat.

Pemerintah perlu mengubah sasaran subsidi energi tertuju pada keluarga miskin, bukan komoditas. Secara perlahan alihkan mekanisme distribusi LPG subsidi dari penjualan terbuka menjadi semi tertutup dan integrasikan pemberian subsidi LPG melalui data terpadu DTSK Kemensos.

"Demikian juga para penerima subsidi listrik dan BBM, semua penerima subsidi terintegrasi datanya melalui DTSK Kemensos," kata Said Abdullah.

Menurut Said Abdullah telah lama pemerintah tidak menaikkan harga BBM, LPG, dan Listrik subsidi. Pemerintah perlu secara perlahan menaikkan harga BBM, LPG dan listrik bersubsidi dengan tetap mempertimbangkan kondisi makro ekonomi, serta daya beli rakyat, terutama golongan menengah bawah.

Namun pada saat harga energi rendah pemerintah juga menurunkan harga BBM, LPG, dan listrik. Kebijakan seperti ini pernah dilakukan beberapa tahun lalu, dan masih sangat relevan digunakan sebagai skema untuk menyeimbangkan kekuatan fiskal APBN.

Selanjutnya, pemerintah perlu melakukan renegosiasi kontrak pembelian minyak bumi untuk mendapatkan harga yang lebih ekonomis. Dengan posisi minyak Rusia yang masih terkena imbas pelarangan penjualan di Eropa dan Amerika Serikat, sesungguhnya sangat terbuka bagi Indonesia untuk mendapatkan pasokan minyak dari Rusia, terlebih lagi Pertamina pernah mendapatkan suplai minyak dari Rusia.

"Politik luar negeri kita bebas aktif, harusnya kita lebih mengedepankan kepentingan nasional, khususnya dalam mendapatkan harga minyak bumi impor dengan harga yang lebih ekonomis," seloroh Said Abdullah.

Said Abdullah melanjutkan, langkah selanjutnya adalah mendorong peningkatan investasi pada sektor hulu migas agar hasil minyak bumi tidak bertumpu pada sumur lama yang sudah uzur, termasuk konsisten menjalankan target Refinery Development Master Plan, serta meningkatkan kapasitas pengolahan minyak mentah hingga 2 juta barel per hari.

Sementara, untuk mengurangi beban ketergantungan terhadap minyak bumi yang sedemikian besar, pemerintah perlu secara progresif menjalankan kebijakan konversi energi. Realisasi investasi sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) sepanjang 2021 hanya mencapai USD1,51 miliar atau 74% dari target yang ditetapkan USD2,04 miliar.

Bauran energi baru terbarukan (EBT) mencapai 11,5% atau setara dengan 168,7 juta barel setara minyak (MBOE) per akhir tahun 2021 lalu. Angka bauran ini sedikit mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan posisi bauran EBT per akhir 2020 lalu yang sebesar 11,2% atau setara 163,2 MBOE.



"Terakhir, untuk mengurangi beban ekonomi akibat masih tingginya harga komoditas dunia di tahun depan, pemerintah perlu terus menguatkan program perlindungan sosial. Program ini bisa menjadi bantalan bagi keluarga miskin menghadapi potensi kenaikan berbagai barang dan jasa pada tahun depan," tandas Said Abdullah.

(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1605 seconds (0.1#10.140)