Wajarkah Harga BBM Subsidi Harus Naik di Tengah Lonjakan Minyak Dunia?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Harga minyak mentah dunia yang terkerek naik hingga di atas USD100 per barel dinilai berpotensi menguras keuangan negara , lantaran harus mengucurkan ratusan triliun untuk subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak). Lantaran itu pemerintah dinilai sudah selayaknya memikirkan ulang harga BBM bersubsidi yang berlaku saat ini.
"Wajar apabila harga BBM bersubsidi ini ditinjau kembali, sebab kenaikan harga minyak dunia berpotensi menguras keuangan negara apabila penyesuaian harga BBM bersubsidi tak dilakukan," ujar Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto dalam Webinar Moya Institute bertajuk Kenaikan BBM Apakah Suatu Keharusan? di Jakarta, Sabtu (27/8).
Apalagi sambung Hery Sucipto, banyak pihak yang menilai subsidi BBM ini 'bocor' atau tidak tepat sasaran. Sehingga diperlukan rumusan kebijakan subsidi yang tepat agar tepat sasaran.
"Jangan sampai subsidi dinikmati justru oleh orang-orang kelas menengah keatas, yang sejatinya bukan kalangan yang berhak mendapatkan subsidi," ujarnya.
Pada kesempatan sama, pakar energi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Yuli Setyo Indartono menekankan, perlunya eksplorasi dan peningkatan penggunaan energi bauran dan energi terbarukan, guna menanggulangi krisis energi saat ini. Apalagi tidak ada jaminan harga BBM tidak naik lagi di masa mendatang.
Karena itu, Yuli Setyo menyatakan pentingnya peningkatan penggunaan biodiesel, gasifikasi batu bara dan biomass.
"Kendaraan elektrik juga opsi yang tepat. Norwegia misalnya sudah mencapai 94%, dan subsidinya pun menyasar segmen masyarakat yang tepat," ujar Yuli.
Yuli pun mengingatkan, pemerintah bahwa insentif bagi rakyat di tengah kenaikan harga BBM tidak hanya berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Sosial (Bansos) seperti saat ini.
"Tetapi subsidi bisa juga dilebarkan sehingga mencakup kompor listrik atau kendaraan listrik. Insentif yang cukup bermanfaat bagi rakyat saat ini," ujarnya.
Pemerhati isu-isu strategis Prof Imron Cotan pun sependapat dengan menyatakan, memang sudah waktunya penggunaan energi bauran serta energi baru dan terbarukan ditingkatkan guna menggantikan energi fosil, yang tidak sustainable (emisi karbon).
"Energi fosil ini tidak berkesinambungan, dan juga tak ramah lingkungan karena emisi karbon yang dihasilkannya," ujarnya.
Imron melanjutkan, fluktuasi harga minyak dunia juga membuat energi fosil semakin tak menguntungkan bagi Indonesia dalam jangka panjang.
"Kenaikan harga minyak dunia membuat APBN kita tertekan, sehingga semakin membuka mata kita bahwa energi terbarukan harus memegang peranan penting ke depannya," demikian Imron.
"Wajar apabila harga BBM bersubsidi ini ditinjau kembali, sebab kenaikan harga minyak dunia berpotensi menguras keuangan negara apabila penyesuaian harga BBM bersubsidi tak dilakukan," ujar Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto dalam Webinar Moya Institute bertajuk Kenaikan BBM Apakah Suatu Keharusan? di Jakarta, Sabtu (27/8).
Apalagi sambung Hery Sucipto, banyak pihak yang menilai subsidi BBM ini 'bocor' atau tidak tepat sasaran. Sehingga diperlukan rumusan kebijakan subsidi yang tepat agar tepat sasaran.
"Jangan sampai subsidi dinikmati justru oleh orang-orang kelas menengah keatas, yang sejatinya bukan kalangan yang berhak mendapatkan subsidi," ujarnya.
Pada kesempatan sama, pakar energi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Yuli Setyo Indartono menekankan, perlunya eksplorasi dan peningkatan penggunaan energi bauran dan energi terbarukan, guna menanggulangi krisis energi saat ini. Apalagi tidak ada jaminan harga BBM tidak naik lagi di masa mendatang.
Karena itu, Yuli Setyo menyatakan pentingnya peningkatan penggunaan biodiesel, gasifikasi batu bara dan biomass.
"Kendaraan elektrik juga opsi yang tepat. Norwegia misalnya sudah mencapai 94%, dan subsidinya pun menyasar segmen masyarakat yang tepat," ujar Yuli.
Yuli pun mengingatkan, pemerintah bahwa insentif bagi rakyat di tengah kenaikan harga BBM tidak hanya berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Sosial (Bansos) seperti saat ini.
"Tetapi subsidi bisa juga dilebarkan sehingga mencakup kompor listrik atau kendaraan listrik. Insentif yang cukup bermanfaat bagi rakyat saat ini," ujarnya.
Pemerhati isu-isu strategis Prof Imron Cotan pun sependapat dengan menyatakan, memang sudah waktunya penggunaan energi bauran serta energi baru dan terbarukan ditingkatkan guna menggantikan energi fosil, yang tidak sustainable (emisi karbon).
"Energi fosil ini tidak berkesinambungan, dan juga tak ramah lingkungan karena emisi karbon yang dihasilkannya," ujarnya.
Imron melanjutkan, fluktuasi harga minyak dunia juga membuat energi fosil semakin tak menguntungkan bagi Indonesia dalam jangka panjang.
"Kenaikan harga minyak dunia membuat APBN kita tertekan, sehingga semakin membuka mata kita bahwa energi terbarukan harus memegang peranan penting ke depannya," demikian Imron.
(akr)