RI Bukan Lagi Negara Kaya Minyak, Subsidi BBM Harus Tepat Sasaran

Kamis, 01 September 2022 - 22:36 WIB
loading...
RI Bukan Lagi Negara Kaya Minyak, Subsidi BBM Harus Tepat Sasaran
Ekonom senior, Faisal Basri mengingatkan, Indonesia bukan lagi negara kaya minyak. Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia menghabiskan miliaran dollar AS per tahun untuk mengimpor minyak. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Ekonom senior, Faisal Basri mengingatkan, Indonesia bukan lagi negara kaya minyak. Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia menghabiskan miliaran dollar AS per tahun untuk mengimpor minyak karena produksi minyak di bawah kebutuhan nasional.

Indonesia memang pernah mengalami periode ekspor migas lebih tinggi dibandingkan impornya. Namun, Indonesia berhenti mengalami surplus perdagangan migas dan energi sejak 2007. “Sejak 2013 malah sudah defisit perdagangan minyak,” kata Faisal Basri.

Dalam 9 tahun terakhir, Indonesia mengimpor minyak lebih banyak dibandingkan ekspornya. Pada 2019, defisitnya mencapai 59,1 juta barel.

Jika dihitung dalam nilai uang, Indonesia menanggung defisit USD8 miliar pada 2018-2019 saja. Nilai itu setara lima persen APBN Indonesia saat ini. Dalam 20 tahun ke depan, defisit itu akan membesar dan mencapai USD40 miliar pada 2040.

Faisal mengatakan, kondisi industri migas dalam negeri memang menyulitkan untuk memacu produksi. Banyak sumur minyak sudah amat tua sehingga produksinya menurun.

Ada pun gas Indonesia mengandung banyak metana sehingga lebih cocok dijadikan LNG. Padahal, Indonesia membutuhkan LPG yang bahan dasarnya gas alam dengan kandungan mayoritas propana.

Ia juga mengecam subsidi BBM karena lebih banyak dihabiskan oleh keluarga terkaya. Perusahaan sawit pun menikmati puluhan triliun rupiah subsidi BBM.

Faisal mengatakan, subsidi semakin banyak dinikmati seiring peningkatan penghasilan. “Untuk pertalite, 70 persen dipakai mobil. Dari 70 persen itu, 98 persen mobil pribadi,” ujarnya di Jakarta.

Adapun dari 30% sepeda motor pengonsumsi pertalite, 90% merupakan kendaraan pribadi. Di luar cakupan itu, pertalite dikonsumsi kendaraan angkutan umum atau angkutan daring.

Harga pertalite saat ini masih disubsidi, meski pemerintah tidak menyebutnya secara spesifik. Anggaran subsidi diletakkan di berbagai pos APBN hingga anggaran BUMN.

Pernyataan Faisal selaras dengan temuan sejumlah penelitian yang menunjukkan hingga 80% subsidi BBM dinikmati orang mampu. Bila mengacu pernyataan Kementerian Keuangan bahwa subsidi BBM mencapai Rp502 triliun per tahun, maka orang kaya Indonesia menghabiskan Rp400 triliun subsidi BBM.

Anggota DPR RI Adian Napitupulu mengungkap hal yang tidak kalah mengejutkan. Ia menaksir, paling tidak Rp 56 triliun subsidi BBM dinikmati perkebunan sawit. Bahkan, nilainya bisa mendekati Rp 147 triliun per tahun.

“Jadi subsidi ini untuk perusahaan atau rakyat? Jangan-jangan yang terima perkebunan besar?” ujarnya.



Perkebunan sawit, yang 332 di antaranya dimiliki perusahaan asing, menikmati subsidi dengan cara membeli solar untuk angkutan hasil panen. Padahal negara hanya menerima Rp20 triliun per tahun dari pajak sawit.

Adian juga menyoroti dampak kemacetan yang menghabiskan Rp 71 triliun di Jakarta dan sekitarnya saja. “Kalau menghitung kota besar lain, nilainya bisa mencapai Rp 300 triliun,” kata dia.

Ganti Subsidi

Faisal menyebut, pola itu mengungkap ketidakadilan serius dan jelas sangat merugikan masyarakat miskin. Fakta itu mematahkan pendapat bahwa subsidi BBM harus diberikan sebagai bentuk keberpihakan pada masyarakat miskin.

Jika pemerintah serius membantu masyarakat miskin, lebih baik mengalihkan subsidi ke pola lain. Pola itu harus tetap sasaran dan benar-benar diterima masyarakat miskin.

(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2086 seconds (0.1#10.140)