Masih Timpang, Pentingnya Menjaga Harga Sawit di Tingkat Petani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Semakin pentingnya kedudukan minyak kelapa sawit (CPO) sebagai bahan baku produk pangan, oleokimia, dan bahan bakar nabati, sehingga menjadi penting untuk menjaga kestabilan harga CPO domestik. Lantaran, pergerakan harga CPO ini juga turut berdampak pada pergerakan harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani.
"Naik turunnya harga CPO berlangsung harian. Cukup banyak faktor-faktor yang mempengaruhi harga CPO, terutama dari fundamental yang terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal," kata Kepala Bagian Bursa dan Pengembangan Bisnis PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Andrial Saputra dalam temu wicara bertajuk Apa yang Mempengaruhi Harga CPO, di Jakarta, Jumat (3/9/2022).
Lebih lanjut, penetapan harga komoditas di Indonesia, termasuk CPO, yakni dengan menggunakan tiga pendekatan utama di antaranya supply and demand approach, market approach, dan cost oriented approach. Data KPBN mencatat bahwa pergerakan harga CPO sepanjang 2019 hingga akhir 2021 cukup solid berada di tren penguatan, dengan harga agregat tiap tahun mengalami kenaikan yang cukup solid.
Tren strong bullish CPO pada 2021, dijelaskan Andrial Saputra disebabkan, potensi produksi global yang melambat akibat kekurangan tenaga kerja di Malaysia, kondisi ekspor yang masih solid akibat beberapa negara melonggarkan kebijakan lockdown, kebijakan pemerintah India yang memotong pajak impor CPO, dorongan persaingan harga minyak kedelai, serta adanya prediksi dari para ahli bullish dunia terkait pergerakan harga CPO yang positif hingga 2022.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan bahwa produk turunan minyak sawit merupakan produk turunan minyak nabati yang paling banyak diminati masyakarat dunia, bahkan jumlahnya mencapai 33 persen terhadap produk minyak nabati dunia.
"Bagi negara-negara kompetitor penghasil minyak nabati di dunia, mereka juga ingin mengunggulkan produk minyak nabati yang terbuat dari sawit sehingga muncullah adanya perang harga, negative campaign. Padahal nyatanya, banyak industri makanan di Uni Eropa menggunakan minyak sawit sebagai ingredients," kata Ahmad Heri Firdaus.
Dikatakan Ahmad Heri Firdaus, kendati Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar minyak sawit di dunia, namun banyak mekanisme dan faktor yang menyebabkan Indonesia masih belum bisa menentukan harga CPO dunia. Faktor yang dimaksud diantaranya adanya ketidakpastian pasar bursa, supply dan demand, kebijakan pemerintah, serta lebih banyaknya permintaan CPO dari luar negeri dibandingkan konsumsi domestik sehingga mempengaruhi harga CPO Indonesia.
"Supaya ke depannya kita bisa lebih mengendalikan harga sawit maka kita yang men-create demand nya. Salah satunya dengan memperluas potensi hilirisasi minyak sawit. Meskipun dari 2011 hingga saat ini hilirisasi sawit sudah cukup banyak, tapi masih bisa diperbanyak lagi," kata Ahmad Heri Firdaus.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif PASPI, Risnayanti Ulfa Aulia menyampaikan, "Harga TBS di tingkat petani juga dipengaruhi oleh harga CPO domestik dan harga CPO global. Fluktuasi harga CPO domestik dan CPO global langsung ditransmisikan terhadap harga TBS sawit," kata dia.
Formulasi harga TBS petani sawit mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Penetapan harga referensi di tingkat pabrik kelapa sawit (PKS) dilakukan oleh Tim Penetapan Harga TBS di Tingkat Provinsi yang terdiri dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Dinas Terkait, Perusahaan Perkebunan, Perwakilan Petani, dan instansi terkait lainnya yang diterbitkan melalui Peraturan Gubernur sehingga harga di tiap provinsi akan berbeda-beda.
Risnayanti menjelaskan terdapat enam faktor yang mempengaruhi pergerakan harga TBS yaitu harga CPO dunia, kebijakan perdagangan yang ditetapkan Pemerintah Indonesia, rendemen minyak yang direfleksikan umur tanaman, biaya transportasi dari kebun ke PKS, rantai pasok (direct/indirect), dan mutu/kualitas TBS. "Hal ini juga turut mempengaruhi terjadinya perbedaan harga TBS yang diterima oleh petani plasma dan petani swadaya," kata dia.
"Naik turunnya harga CPO berlangsung harian. Cukup banyak faktor-faktor yang mempengaruhi harga CPO, terutama dari fundamental yang terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal," kata Kepala Bagian Bursa dan Pengembangan Bisnis PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Andrial Saputra dalam temu wicara bertajuk Apa yang Mempengaruhi Harga CPO, di Jakarta, Jumat (3/9/2022).
Lebih lanjut, penetapan harga komoditas di Indonesia, termasuk CPO, yakni dengan menggunakan tiga pendekatan utama di antaranya supply and demand approach, market approach, dan cost oriented approach. Data KPBN mencatat bahwa pergerakan harga CPO sepanjang 2019 hingga akhir 2021 cukup solid berada di tren penguatan, dengan harga agregat tiap tahun mengalami kenaikan yang cukup solid.
Tren strong bullish CPO pada 2021, dijelaskan Andrial Saputra disebabkan, potensi produksi global yang melambat akibat kekurangan tenaga kerja di Malaysia, kondisi ekspor yang masih solid akibat beberapa negara melonggarkan kebijakan lockdown, kebijakan pemerintah India yang memotong pajak impor CPO, dorongan persaingan harga minyak kedelai, serta adanya prediksi dari para ahli bullish dunia terkait pergerakan harga CPO yang positif hingga 2022.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan bahwa produk turunan minyak sawit merupakan produk turunan minyak nabati yang paling banyak diminati masyakarat dunia, bahkan jumlahnya mencapai 33 persen terhadap produk minyak nabati dunia.
"Bagi negara-negara kompetitor penghasil minyak nabati di dunia, mereka juga ingin mengunggulkan produk minyak nabati yang terbuat dari sawit sehingga muncullah adanya perang harga, negative campaign. Padahal nyatanya, banyak industri makanan di Uni Eropa menggunakan minyak sawit sebagai ingredients," kata Ahmad Heri Firdaus.
Dikatakan Ahmad Heri Firdaus, kendati Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar minyak sawit di dunia, namun banyak mekanisme dan faktor yang menyebabkan Indonesia masih belum bisa menentukan harga CPO dunia. Faktor yang dimaksud diantaranya adanya ketidakpastian pasar bursa, supply dan demand, kebijakan pemerintah, serta lebih banyaknya permintaan CPO dari luar negeri dibandingkan konsumsi domestik sehingga mempengaruhi harga CPO Indonesia.
"Supaya ke depannya kita bisa lebih mengendalikan harga sawit maka kita yang men-create demand nya. Salah satunya dengan memperluas potensi hilirisasi minyak sawit. Meskipun dari 2011 hingga saat ini hilirisasi sawit sudah cukup banyak, tapi masih bisa diperbanyak lagi," kata Ahmad Heri Firdaus.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif PASPI, Risnayanti Ulfa Aulia menyampaikan, "Harga TBS di tingkat petani juga dipengaruhi oleh harga CPO domestik dan harga CPO global. Fluktuasi harga CPO domestik dan CPO global langsung ditransmisikan terhadap harga TBS sawit," kata dia.
Formulasi harga TBS petani sawit mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Penetapan harga referensi di tingkat pabrik kelapa sawit (PKS) dilakukan oleh Tim Penetapan Harga TBS di Tingkat Provinsi yang terdiri dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Dinas Terkait, Perusahaan Perkebunan, Perwakilan Petani, dan instansi terkait lainnya yang diterbitkan melalui Peraturan Gubernur sehingga harga di tiap provinsi akan berbeda-beda.
Risnayanti menjelaskan terdapat enam faktor yang mempengaruhi pergerakan harga TBS yaitu harga CPO dunia, kebijakan perdagangan yang ditetapkan Pemerintah Indonesia, rendemen minyak yang direfleksikan umur tanaman, biaya transportasi dari kebun ke PKS, rantai pasok (direct/indirect), dan mutu/kualitas TBS. "Hal ini juga turut mempengaruhi terjadinya perbedaan harga TBS yang diterima oleh petani plasma dan petani swadaya," kata dia.
(nng)