FFR Naik Lagi, BI Diprediksi Kian Agresif Naikkan Suku Bunga
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve atau The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 75 basis poin (bps) untuk ketiga kalinya berturut-turut pada Rabu (21/9).
Terkait hal itu, ekonom sekaligus Direktur Celios Bhima Yudhistira memproyeksikan Bank Indonesia (BI) akan merespons kenaikan suku bunga ini dengan agresif.
"Kemungkinan BI akan menaikkan suku bunga secara agresif di kisaran 25-50 bps dalam kenaikan kali ini," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia (MPI) di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Menurut dia, kenaikan FFR yang cukup signifikan membuat imbal hasil dari US Treasury juga naik dan mempersempit gap antara US Treasury dengan surat utang pemerintah.
Jika gap ini semakin sempit, maka artinya investor asing bisa melakukan jual bersih terhadap instrumen keuangan di Indonesia.
"Yang kedua, juga dikhawatirkan terjadi pelemahan nilai tukar rupiah kalau BI tidak segera bertindak. Pelemahan rupiah bisa makin dalam, prediksinya di Rp15.500 per dolar AS (USD)," tuturnya.
Bhima menyebutkan, dari segi nilai tukar rupiah, penguatan USD dengan indeks USD menguat menyebabkan instrumen-instrumen yang berdenominasi dolar semakin favorit.
"Yang ketiga, suku bunga simpanan valas di dalam negeri selalu kecil, sementara dibandingkan dengan di Singapura, suku bunga simpanan valasnya naik terus. Itu bisa menyebabkan orang-orang kaya justru melarikan uangnya ke negara lain yang imbal hasilnya lebih tinggi," terang dia.
Hal-hal ini, sebut dia, adalah apa yang harus diwaspadai oleh BI. Kenaikan suku bunga juga akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan kredit, naiknya kredi macet atau NPL yang perlu diwaspadai dalam jangka menengah.
BI, OJK, dan pemerintah, menurut Bhima harus bekerja sama, bersinergi mengantisipasi efek negatif naiknya suku bunga secara agresif terhadap pertumbuhan di sektor riil.
"Karena beban bunga untuk debitur pelaku usaha, debitur konsumen, debitur kendaraan bermotor, cicilan beli rumah pakai KPR itu semua akan terdampak dengan naiknya tingkat suku bunga, ini yang harus dijaga. Tapi kalau suku bunga tidak naik, imbas dari tekanan eksternal bisa melemahkan fundamental ekonomi, memang dilematis, tapi BI harus berani," tandasnya.
Terkait hal itu, ekonom sekaligus Direktur Celios Bhima Yudhistira memproyeksikan Bank Indonesia (BI) akan merespons kenaikan suku bunga ini dengan agresif.
"Kemungkinan BI akan menaikkan suku bunga secara agresif di kisaran 25-50 bps dalam kenaikan kali ini," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia (MPI) di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Menurut dia, kenaikan FFR yang cukup signifikan membuat imbal hasil dari US Treasury juga naik dan mempersempit gap antara US Treasury dengan surat utang pemerintah.
Jika gap ini semakin sempit, maka artinya investor asing bisa melakukan jual bersih terhadap instrumen keuangan di Indonesia.
"Yang kedua, juga dikhawatirkan terjadi pelemahan nilai tukar rupiah kalau BI tidak segera bertindak. Pelemahan rupiah bisa makin dalam, prediksinya di Rp15.500 per dolar AS (USD)," tuturnya.
Bhima menyebutkan, dari segi nilai tukar rupiah, penguatan USD dengan indeks USD menguat menyebabkan instrumen-instrumen yang berdenominasi dolar semakin favorit.
"Yang ketiga, suku bunga simpanan valas di dalam negeri selalu kecil, sementara dibandingkan dengan di Singapura, suku bunga simpanan valasnya naik terus. Itu bisa menyebabkan orang-orang kaya justru melarikan uangnya ke negara lain yang imbal hasilnya lebih tinggi," terang dia.
Hal-hal ini, sebut dia, adalah apa yang harus diwaspadai oleh BI. Kenaikan suku bunga juga akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan kredit, naiknya kredi macet atau NPL yang perlu diwaspadai dalam jangka menengah.
BI, OJK, dan pemerintah, menurut Bhima harus bekerja sama, bersinergi mengantisipasi efek negatif naiknya suku bunga secara agresif terhadap pertumbuhan di sektor riil.
"Karena beban bunga untuk debitur pelaku usaha, debitur konsumen, debitur kendaraan bermotor, cicilan beli rumah pakai KPR itu semua akan terdampak dengan naiknya tingkat suku bunga, ini yang harus dijaga. Tapi kalau suku bunga tidak naik, imbas dari tekanan eksternal bisa melemahkan fundamental ekonomi, memang dilematis, tapi BI harus berani," tandasnya.
(ind)