Mengembalikan Kejayaan Daerah Penghasil Kakao Terbesar di Indonesia

Sabtu, 24 September 2022 - 13:26 WIB
loading...
Mengembalikan Kejayaan Daerah Penghasil Kakao Terbesar di Indonesia
Pinrang masuk dalam lima besar produsen kakao terbesar di Indonesia dan mencapai masa kejayaan di tahun 1990 hingga 2000-an. Foto/MPI/Dimas Andhika Fikri
A A A
PINRANG - Pinrang bahkan masuk dalam lima besar produsen kakao terbesar di Indonesia dan mencapai masa kejayaan di tahun 1990 hingga 2000-an.

Sayang beribu sayang, masa-masa emas itu perlahan sirna usai serangan penyakit dan hama menyerang ribuan hektar perkebunan kakao sepanjang tahun 2000-an bahkan hingga saat ini. Hal tersebut tentunya memengaruhi jumlah produksi dan kualitas kakao yang dihasilkan.

Para petani pun mulai beralih menanam komoditi lain seperti padi, kopi, hingga banting setir membuka tambak ikan. Permasalahan ini sebetulnya telah mendapat perhatian dari pemerintah kabupaten Pinrang dan berbagai lembaga terkait.

Bantuan demi bantuan telah dilakukan demi mengembalikan kembali kejayaan Pinrang sebagai salah satu jagoan kakao Indonesia.

Hingga pada tahun 2012 silam, Mondelez Internasional menginisiasi dibentuknya program binaan berkelanjutan bertajuk Cocoa Life.

Andi Sitti Asmayanti selaku Director Sustainability South East Asia dari Mondelez International saat jumpa pers Anniversary 10 Tahun Cocoa Life di Pinrang, Sulawesi Selatan, Selasa (20/9) mengatakan, terdapat sejumlah permasalahan utama yang tengah dihadapi para petani kakao di kabupaten Pinrang.

Beberapa di antaranya seperti permasalahan kesuburan tanah, pohon menua, hingga proses budidaya yang belum mengadopsi nilai-nilai berkelanjutan (sustainable).

"Ditambah lagi adanya perubahan iklim yang juga menurunkan produktivitas. Selain itu masih ada praktik deforestasi yang justru menambah kerusakan iklim itu sendiri," ujar Yanti, sapaan akrab Andi Sitti Asmayanti, dikutip Sabtu (24/9/2022).



Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, Cocoa Life mendorong penerapan teknik budidaya yang baik atau disebut dengan istilah Good Agricultural Practices (GAP).

Dalam GAP, para petani tidak hanya diedukasi melakukan budidaya yang berkelanjutan saja namun ada juga pelatihan-pelatihan lain yang dapat menunjang kesejahteraan mereka.

Misalnya, program Village Savings and Loans Association (VSLA) alias investasi pinjam, pemberdayaan komunitas berbasis pendekatan Community Action Plans (CAP), serta menyediakan program khusus untuk para petani perempuan sebagai reaksi dari permasalahan keseteraan gender di industri pertanian.

"Program ini telah berhasil memberdayakan lebih dari 2.400 komunitas dengan memprioritaskan investasi di infrastruktur sekolah, air dan kesehatan/sanitasi," terang Yanti.

Lebih lanjut mengenai pertanian kakao di Indonesia berdasarkan data International Cocoa Organization (ICCO) 2022, tercatat bahwa Indonesia termasuk ke dalam 10 negara penghasil kakao terbesar dunia dan menjadi yang terbesar di Asia.

“Saat ini kami telah berhasil memberdayakan lebih dari 40.000 petani dan menjangkau lebih dari 68.000 anggota komunitas kakao di wilayah Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara,” bebernya.

Mengembalikan Kejayaan Daerah Penghasil Kakao Terbesar di Indonesia


Upaya Peremajaan Tanaman Kakao oleh Kabupaten Pinrang

Menyadari potensi besar yang dimiliki wilayahnya, pemerintah Kabupaten Pinrang juga tidak mau tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan, guna membangkitkan kembali kejayaan kakao di wilayah mereka.

Salah satu fokus utama mereka saat ini adalah peremajaan tanaman kakao. Sebagai langkah awal, mereka telah mencanangkan sejumlah program pendukung seperti penyediaan sarana dan prasarana untuk para petani kakao termasuk pemberian bibit kakao, pestisida nabati sebanyak 5.000 liter hingga pembangunan irigasi tanah bertenaga solar cell.

Bantuan tersebut diberikan kepada sekitar 1.025 petani yang terbagi menjadi 75 kelompok. Program peremajaan terus didorong mengingat pada tahun 1990-an, Pinrang sejatinya memiliki potensi lahan pertanian kakao sebanyak 18.900 hektar.

Sayangnya, potensi tersebut semakin menurun hingga tersisa 10.600 hektar yang mampu menghasilkan kakao berkualitas. Bila dirincikan, terjadi penurunan potensi mencapai 57% dari masa-masa awal kejayaan kabupaten Pinrang.

"Dari potensi lahan itu, di tahun 2021 kemarin produktivitas kakao kami hanya menyentuh angka 9.000 ton. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) besar bagi kami untuk terus meningkatkan produktivitas melalui program peremajaan," ujar Kepala bidang Perkebunan pada Dinas Peternakan dan Perkebunan kabupaten Pinrang Jabbar Alu As'ad.



Persoalan lain adalah terkait harga jual kakao yang banyak dikeluhkan petani. Sebagai informasi, saat ini kakao di Pinrang dijual dengan harga Rp28-30 ribuan per kilogram.

Meski mengikuti standar global, harga tersebut ternyata masih lebih rendah dibandingkan harga kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara yang menyentuh Rp42.000 per kilogram.

Persoalan harga ini sebetulnya dapat diselesaikan bila petani kakao Pinrang dapat meningkatkan kualitas dari produk mereka sendiri. Tentunya dibutuhkan program pelatihan dan edukasi yang komprehensif untuk mencapai tujuan tersebut.

"Harga kakao itu memang dilihat dari sejumlah faktor seperti kualitas kadar air, lalu ada yang namanya binkon yang jadi pengukur kualitas. Nah kalau standar di Indonesia sendiri yang berlaku adalah di dalam 100 gram itu terdapat 115 biji kakao. Ketika misalnya dia melewati standar tersebut, itu baru ada klaim kualitas namanya. Kadar air pun begitu. Yang menjadi standar kita adalah 7-8%, jadi ketika petani jual di atas dari 8% nah itu akan mempengaruhi kualitas harga," jelas Agronomist dari Barry Calebaut Umar Jamaluddin.



Kuncinya, lanjut Umar, para petani dari sekarang harus diedukasi terkait treatment pasca panen karena pada tahap inilah kualitas biji kakao ditentukan.

Untuk kadar air misalnya, dapat ditekan bila proses pengeringan atau penjemuran dilakukan dengan baik dan benar. Tidak boleh nanggung dan tidak boleh terlalu lama karena dapat memicu timbulnya jamur.

"Dalam proses pengeringan itu terkadang masih ada petani yang tidak memisahkan antara biji dan plasenta. Itu juga jadi faktor penurunan harga, karena plasenta dapat merusak kualitas biji kakao, dan dihitung sebagai sampah. Jadi faktor-faktor itu yang perlu kita edukasi dalam proses pasca panen kepada petani," urainya.
(ind)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1878 seconds (0.1#10.140)