Sempat Buat Geger, Ini Sosok Gergasi di Balik SPBU Vivo
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nama SPBU Vivo mendadak tenar pada awal September kemarin. Gara-garanya, ketika pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertalite, SPBU ini justru banting harga.
Saat itu harga Revvo 89 hampir setara dengan Pertalite (Ron 90) dijual Rp8.900, lebih murah dibanding banderol Pertalite yang Rp10.000. Harga yang lebih murah itu kontan saja membuat SPBU Vivo diserbu warga yang ingin mendapatkan BBM murah.
Langkah Vivo itu memunculkan banyak pertanyaan. Salah satunya, siapa pemilik SPBU swasta ini. Dikutip dari berbagai sumber, SPBU Vivo masih terafiliasi dengan Vitol Group, sebuah gergasi migas yang bermarkas di Swiss dan Rotterdam, Belanda.
Awalnya, jaringan SPBU Vivo berada di bawah bendera PT Nusantara Energi Plant Indonesia (NEPI). Belakangan nama perusahaaan itu berganti menjadi PT Vivo Energy Indonesia dan beroperasi pada 2107 lalu. SPBU pertama Vivo berada di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur.
Vitol sendiri merupakan perusahaan energi dan komoditas yang sudah beroperasi selama lebih dari 50 tahun. Mereka menggunakan jaringan dan infrastrukturnya untuk mengelola aliran energi di seluruh dunia.
Vitol beroperasi secara global, dengan lebih dari 40 kantor di seluruh dunia dan akses ke infrastruktur energi di setiap benua. Mereka hadir dengan menawarkan pemahaman tentang tren internasional utama dan dilengkapi dengan pemahaman terperinci tentang dinamika pasar lokal. Salah satu pusat operasional mereka di ASEAN ada di Singapura.
"Kami berlokasi di semua pusat perdagangan utama yang memungkinkan kami untuk melayani jaringan global pelanggan dan mitra, yang didirikan lebih dari 50 tahun," tulis perusahaan di situsnya.
Vitol Group adalah perusahaan yang didirikan oleh Henk Viëtor and Jacques Detige di Rotterdam pada tahun 1966. Pada tahun lalu pendapatan perusahaan menembus USD279 miliar.
Pertengahan September lalu, Reuters melaporkan di tahun 2021 Vitol membukukan rekor laba bersih USD4,2 miliar untuk setahun penuh dan memperdagangkan 7,6 juta barel minyak per hari dan hampir 13 juta ton gas alam cair (LNG).
Tak cuma berdagang migas, Vitol juga berinvestasi di sejumlah proyek energi terbarukan di seluruh dunia dan memiliki aset di seluruh Amerika, Eropa, dan Asia. Mereka selalu mencari peluang di tempat yang dapat menambah nilai dan berupaya mengoptimalkan kemitraan dan jaringan yang ada.
"Hingga saat ini, kami telah memberikan lebih dari USD1,3 miliar modal untuk proyek-proyek termasuk solusi energi terbarukan, hidrogen, dan transportasi listrik," tulis perusahaan selanjutnya.
Saat itu harga Revvo 89 hampir setara dengan Pertalite (Ron 90) dijual Rp8.900, lebih murah dibanding banderol Pertalite yang Rp10.000. Harga yang lebih murah itu kontan saja membuat SPBU Vivo diserbu warga yang ingin mendapatkan BBM murah.
Langkah Vivo itu memunculkan banyak pertanyaan. Salah satunya, siapa pemilik SPBU swasta ini. Dikutip dari berbagai sumber, SPBU Vivo masih terafiliasi dengan Vitol Group, sebuah gergasi migas yang bermarkas di Swiss dan Rotterdam, Belanda.
Awalnya, jaringan SPBU Vivo berada di bawah bendera PT Nusantara Energi Plant Indonesia (NEPI). Belakangan nama perusahaaan itu berganti menjadi PT Vivo Energy Indonesia dan beroperasi pada 2107 lalu. SPBU pertama Vivo berada di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur.
Vitol sendiri merupakan perusahaan energi dan komoditas yang sudah beroperasi selama lebih dari 50 tahun. Mereka menggunakan jaringan dan infrastrukturnya untuk mengelola aliran energi di seluruh dunia.
Vitol beroperasi secara global, dengan lebih dari 40 kantor di seluruh dunia dan akses ke infrastruktur energi di setiap benua. Mereka hadir dengan menawarkan pemahaman tentang tren internasional utama dan dilengkapi dengan pemahaman terperinci tentang dinamika pasar lokal. Salah satu pusat operasional mereka di ASEAN ada di Singapura.
"Kami berlokasi di semua pusat perdagangan utama yang memungkinkan kami untuk melayani jaringan global pelanggan dan mitra, yang didirikan lebih dari 50 tahun," tulis perusahaan di situsnya.
Vitol Group adalah perusahaan yang didirikan oleh Henk Viëtor and Jacques Detige di Rotterdam pada tahun 1966. Pada tahun lalu pendapatan perusahaan menembus USD279 miliar.
Pertengahan September lalu, Reuters melaporkan di tahun 2021 Vitol membukukan rekor laba bersih USD4,2 miliar untuk setahun penuh dan memperdagangkan 7,6 juta barel minyak per hari dan hampir 13 juta ton gas alam cair (LNG).
Tak cuma berdagang migas, Vitol juga berinvestasi di sejumlah proyek energi terbarukan di seluruh dunia dan memiliki aset di seluruh Amerika, Eropa, dan Asia. Mereka selalu mencari peluang di tempat yang dapat menambah nilai dan berupaya mengoptimalkan kemitraan dan jaringan yang ada.
"Hingga saat ini, kami telah memberikan lebih dari USD1,3 miliar modal untuk proyek-proyek termasuk solusi energi terbarukan, hidrogen, dan transportasi listrik," tulis perusahaan selanjutnya.
(uka)