Imbas Harga Gas Turun, PLN Hemat Rp18,58 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menetapkan harga gas untuk pembangkit listrik turun menjadi USD6 per MMBTU. Pemberian insentif harga gas bumi bagi pembangkit listrik tersebut berlaku sejak 7 April 2020.
Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 10/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM No 45/2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pembangkit Tenaga Listrik.
Dalam aturan itu disebutkan, PT PLN (Persero) atau Badan Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik (BUPTL) dapat membeli harga gas bumi melalui pipa dipatok sebesar USD6 per MMBTU dari sebelumnya ditetapkan paling tinggi berdasarkan 14,5% dari harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP).
(Baca Juga: Harga Gas untuk PLN Kini 6 Dolar AS per MMBTU)
Menteri ESDM Arifin Tasrif memastikan penyesuaian terhadap harga gas bumi tersebut tidak memengaruhi besaran penerimaan bagian kontraktor di hulu migas. Adapun penyesuaian harga gas bumi tersebut mengurangi bagian negara diperhitungkan melalui bagi hasil sesuai kontrak kerja sama suatu wilayah kerja pada tahun berjalan.
Tidak hanya itu, Arifin Tasrif juga memberikan kekuasaan penuh kepada PLN untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga gas mulut sumur yang dibangun oleh BUPTL. Pembelian tenaga listrik berbasis gas dari mulut sumur dapat dilaksanakan melalui mekanisme penunjukan langsung atau melalui lelang umum.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, penurunan harga gas bumi untuk pembangkit listrik akan membuat kinerja keuangan semakin sehat. Kalau harga gas ini bisa diubah, maka akan sangat membantu keuangan PLN. Sebab, turunnya harga gas akan berpengaruh terhadap besaran biaya pokok produksi (BPP),” ujar Rida Mulyana di Jakarta, 6 Maret 2020.
Menurut dia, tahun ini PLN menganggarkan Rp359,03 triliun untuk penyediaan BPP. Adapun sebesar 41%-nya atau Rp146,67 triliun digunakan perseroan untuk belanja bahan bakar. Sementara porsi belanja bahan bakar gas pembangkit listrik PLN mencapai 38,36% atau Rp60,98 triliun. Adapun alokasi belanja bahan bakar gas dalam penyediaan BPP porsinya paling besar dibandingkan bahan bakar lain.
Rinciannya, alokasi belanja bahan bakar batu bara sebesar Rp56,26 triliun, bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp24,17 triliun, serta bahan bakar dari energi baru terbarukan (EBT) sebesar Rp5,24 triliun. Namun, listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas tidak sebesar batu bara.
Rida menyebut, kapasitas daya listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas sebesar 65,24 terawatt hours (Twh) atau mencapai 21,28% dari total kapasitas yang dihasilkan dari berbagai macam pembangkit.
Adapun jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan kapasitas tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mencapai 187,52 Twh.
“Oleh karena itu, turunnya harga gas sangat berpengaruh terhadap BPP sehingga menghemat keuangan PLN dan pada ujungnya mengurangi beban subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata dia.
Rida mengungkapkan, apabila harga gas pembangkit listrik diturunkan sebesar USD6 per MMBTU, maka penghematan yang dihasilkan PLN mencapai Rp18,58 triliun. Efisiensi tersebut diperoleh dari penghematan kompensasi sebesar Rp14,2 triliun dan subsidi sebesar Rp4,38 triliun.
Penghematan itu dihitung berdasarkan asumsi harga gas pembangkit tahun ini sebesar USD8,39 per MMBTU. Dengan demikian, kata dia, akan terjadi efisiensi USD2,39 per MMBTU apabila harga gas diturunkan menjadi USD6 per MMBTU kemudian dikalikan dengan volume kebutuhan gas di masing-masing pembangkit.
“Jadi kalau dari sisi hilirnya, yaitu pengguna seperti PLN jelas akan terjadi penghematan. Tapi kalau harganya tetap, maka tidak akan terjadi penghematan,” kata dia.
Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Djoko Rahardjo sebelumnya mengatakan, dengan mendapatkan insentif harga gas, tidak serta merta membuat tarif listrik kepada konsumen bisa turun. Pasalnya, masih terdapat indikator lainnya yang menentukan tarif listrik. “Tarif bergantung tiga besaran kurs dolar, ICP, dan inflasi,” kata dia.
Namun, dengan harga gas pada kisaran USD6 per MMBTU, diperkirakan bisa menekan biaya kebutuhan gas PLN dan kebutuhan subsidi, serta menekan nilai kompensasi.
Berdasarkan data perseroan, mengacu pada harga rata-rata gas pembangkit pada tahun lalu pada kisaran USD8,39 per MMBTU, biaya yang dikucurkan PLN untuk konsumsi gas mencapai Rp60,98 triliun. Adapun, kebutuhan subsidi senilai Rp54,79 triliun dan biaya kompensasi senilai Rp34,10 triliun.
Namun ketika harga gas pada asumsi USD6 per MMBTU, maka konsumsi pemakaian gas yang dikeluarkan PLN hanya sebesar Rp47,95 triliun dan kebutuhan subsidi bisa ditekan menjadi Rp51,50 triliun, sedangkan kompensasi turun menjadi Rp23,79 triliun.
Dengan demikian, mengacu pada asumsi tersebut, dengan harga gas USD6 per MMBTU dapat menghemat biaya penggunaan gas PLN senilai Rp13,03 triliun dan memangkas kebutuhan subsidi senilai Rp3,29 triliun, serta menekan kompensasi Rp10,31 triliun.
Pihaknya mengatakan, berdasarkan regulasi tersebut selanjutnya melakukan proses negosiasi dengan pemilik kontrak dari sektor hulu, hilir, dan midstream. Proses negosiasi tersebut guna membahas kontrak pembelian gas mengacu pada harga yang baru. “Setelah ada peraturan menteri, baru bisa renegosiasi,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, PLN memang tengah dalam tekanan untuk melakukan penurunan biaya produksi listrik. Menurut Fabby, kebijakan yang berefek cepat ialah dengan penurunan harga pada energi primer.
Fabby menilai, jika harga gas jadi diturunkan, maka itu merupakan bentuk insentif atau subsidi tidak langsung yang diberikan pemerintah. Hal itu tak jauh beda dari harga khusus yang diberikan untuk batu bara PLN sebesar USD70 per ton.
Fabby menyarankan agar insentif semacam itu tidak hanya diberikan untuk energi yang berbasis fosil, melainkan juga harus ada insentif bagi energi yang berasal dari energi terbarukan.
“Kalau harga gas turun, pastinya biaya energi primer juga turun. Tapi pemerintah perlu mempertimbangkan juga untuk energi terbarukan secara jangka panjang bisa menurunkan BPP PLN karena sejumlah pembangkit energi terbarukan zero marginal cost,” kata dia.
Fabby Tumiwa mengatakan, apabila pemerintah menurunkan harga gas pembangkit tahun lalu sebesar USD8,3 MMBTU, maka akan berdampak pada penurunan biaya energi primer PLN. Pihaknya menghitung biaya pokok pembangkitan bisa turun sekitar 5%. (Nanang Wijayanto)
Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 10/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM No 45/2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pembangkit Tenaga Listrik.
Dalam aturan itu disebutkan, PT PLN (Persero) atau Badan Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik (BUPTL) dapat membeli harga gas bumi melalui pipa dipatok sebesar USD6 per MMBTU dari sebelumnya ditetapkan paling tinggi berdasarkan 14,5% dari harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP).
(Baca Juga: Harga Gas untuk PLN Kini 6 Dolar AS per MMBTU)
Menteri ESDM Arifin Tasrif memastikan penyesuaian terhadap harga gas bumi tersebut tidak memengaruhi besaran penerimaan bagian kontraktor di hulu migas. Adapun penyesuaian harga gas bumi tersebut mengurangi bagian negara diperhitungkan melalui bagi hasil sesuai kontrak kerja sama suatu wilayah kerja pada tahun berjalan.
Tidak hanya itu, Arifin Tasrif juga memberikan kekuasaan penuh kepada PLN untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga gas mulut sumur yang dibangun oleh BUPTL. Pembelian tenaga listrik berbasis gas dari mulut sumur dapat dilaksanakan melalui mekanisme penunjukan langsung atau melalui lelang umum.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, penurunan harga gas bumi untuk pembangkit listrik akan membuat kinerja keuangan semakin sehat. Kalau harga gas ini bisa diubah, maka akan sangat membantu keuangan PLN. Sebab, turunnya harga gas akan berpengaruh terhadap besaran biaya pokok produksi (BPP),” ujar Rida Mulyana di Jakarta, 6 Maret 2020.
Menurut dia, tahun ini PLN menganggarkan Rp359,03 triliun untuk penyediaan BPP. Adapun sebesar 41%-nya atau Rp146,67 triliun digunakan perseroan untuk belanja bahan bakar. Sementara porsi belanja bahan bakar gas pembangkit listrik PLN mencapai 38,36% atau Rp60,98 triliun. Adapun alokasi belanja bahan bakar gas dalam penyediaan BPP porsinya paling besar dibandingkan bahan bakar lain.
Rinciannya, alokasi belanja bahan bakar batu bara sebesar Rp56,26 triliun, bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp24,17 triliun, serta bahan bakar dari energi baru terbarukan (EBT) sebesar Rp5,24 triliun. Namun, listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas tidak sebesar batu bara.
Rida menyebut, kapasitas daya listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas sebesar 65,24 terawatt hours (Twh) atau mencapai 21,28% dari total kapasitas yang dihasilkan dari berbagai macam pembangkit.
Adapun jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan kapasitas tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mencapai 187,52 Twh.
“Oleh karena itu, turunnya harga gas sangat berpengaruh terhadap BPP sehingga menghemat keuangan PLN dan pada ujungnya mengurangi beban subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata dia.
Rida mengungkapkan, apabila harga gas pembangkit listrik diturunkan sebesar USD6 per MMBTU, maka penghematan yang dihasilkan PLN mencapai Rp18,58 triliun. Efisiensi tersebut diperoleh dari penghematan kompensasi sebesar Rp14,2 triliun dan subsidi sebesar Rp4,38 triliun.
Penghematan itu dihitung berdasarkan asumsi harga gas pembangkit tahun ini sebesar USD8,39 per MMBTU. Dengan demikian, kata dia, akan terjadi efisiensi USD2,39 per MMBTU apabila harga gas diturunkan menjadi USD6 per MMBTU kemudian dikalikan dengan volume kebutuhan gas di masing-masing pembangkit.
“Jadi kalau dari sisi hilirnya, yaitu pengguna seperti PLN jelas akan terjadi penghematan. Tapi kalau harganya tetap, maka tidak akan terjadi penghematan,” kata dia.
Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Djoko Rahardjo sebelumnya mengatakan, dengan mendapatkan insentif harga gas, tidak serta merta membuat tarif listrik kepada konsumen bisa turun. Pasalnya, masih terdapat indikator lainnya yang menentukan tarif listrik. “Tarif bergantung tiga besaran kurs dolar, ICP, dan inflasi,” kata dia.
Namun, dengan harga gas pada kisaran USD6 per MMBTU, diperkirakan bisa menekan biaya kebutuhan gas PLN dan kebutuhan subsidi, serta menekan nilai kompensasi.
Berdasarkan data perseroan, mengacu pada harga rata-rata gas pembangkit pada tahun lalu pada kisaran USD8,39 per MMBTU, biaya yang dikucurkan PLN untuk konsumsi gas mencapai Rp60,98 triliun. Adapun, kebutuhan subsidi senilai Rp54,79 triliun dan biaya kompensasi senilai Rp34,10 triliun.
Namun ketika harga gas pada asumsi USD6 per MMBTU, maka konsumsi pemakaian gas yang dikeluarkan PLN hanya sebesar Rp47,95 triliun dan kebutuhan subsidi bisa ditekan menjadi Rp51,50 triliun, sedangkan kompensasi turun menjadi Rp23,79 triliun.
Dengan demikian, mengacu pada asumsi tersebut, dengan harga gas USD6 per MMBTU dapat menghemat biaya penggunaan gas PLN senilai Rp13,03 triliun dan memangkas kebutuhan subsidi senilai Rp3,29 triliun, serta menekan kompensasi Rp10,31 triliun.
Pihaknya mengatakan, berdasarkan regulasi tersebut selanjutnya melakukan proses negosiasi dengan pemilik kontrak dari sektor hulu, hilir, dan midstream. Proses negosiasi tersebut guna membahas kontrak pembelian gas mengacu pada harga yang baru. “Setelah ada peraturan menteri, baru bisa renegosiasi,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, PLN memang tengah dalam tekanan untuk melakukan penurunan biaya produksi listrik. Menurut Fabby, kebijakan yang berefek cepat ialah dengan penurunan harga pada energi primer.
Fabby menilai, jika harga gas jadi diturunkan, maka itu merupakan bentuk insentif atau subsidi tidak langsung yang diberikan pemerintah. Hal itu tak jauh beda dari harga khusus yang diberikan untuk batu bara PLN sebesar USD70 per ton.
Fabby menyarankan agar insentif semacam itu tidak hanya diberikan untuk energi yang berbasis fosil, melainkan juga harus ada insentif bagi energi yang berasal dari energi terbarukan.
“Kalau harga gas turun, pastinya biaya energi primer juga turun. Tapi pemerintah perlu mempertimbangkan juga untuk energi terbarukan secara jangka panjang bisa menurunkan BPP PLN karena sejumlah pembangkit energi terbarukan zero marginal cost,” kata dia.
Fabby Tumiwa mengatakan, apabila pemerintah menurunkan harga gas pembangkit tahun lalu sebesar USD8,3 MMBTU, maka akan berdampak pada penurunan biaya energi primer PLN. Pihaknya menghitung biaya pokok pembangkitan bisa turun sekitar 5%. (Nanang Wijayanto)
(ysw)