Tarif Cukai Plastik Belum Bisa Jalan Sebelum Ada PP
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, untuk melaksanakan pemungutan barang kena cukai itu memerlukan peraturan pemerintah (PP).
Hal ini guna merespons kebijakan penetapan tarif cukai plastik sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130/2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023 yang ditargetkan mencapai Rp980 miliar.
"Itu kan belum bisa jalan sebelum ada PP-nya. Dari UU tidak akan bisa jalan sebelum ada PP. Dari PP kemudian akan disusun berupa juklak-juknisnya (petunjuk pelaksanaan-petunjuk teknis) melalui PMK (peraturan menteri keuangan," jelas Nirwala dalam acara Media Briefing Waspada Penipuan Mengatasnamakan Bea Cukai, di kantornya, Jakarta, Kamis (22/12/2022).
Ia menambahkan, untuk menyusun PP nya sendiri harus ada prakarsa dari pemerintah dengan membentuk panitia antar kementerian yang terlibat, di antaranya seperti Kementerian Perindustrian, KLHK, Kementerian Keuangan, hingga Kementerian Perdagangan.
Namun lanjutnya, tim teknis itu sendiri pun kata dia belum juga terbentuk karena banyak pertimbangan di antaranya masih berlangsungnya situasi Pandemi Covid-19. Padahal ia mengakui, ide pengenaan tarif cukai plastik sudah diinisiasi sejak 2017 silam.
"Cukai plastik sebetulnya sudah masuk ke dalam UU APBN sejak tahun 2017, targetnya Rp 1 triliun. Namun baru disetujui oleh Komisi XI Februari 2020. Tapi waktu itu usulan pemerintah adalah tas plastik sekali pakai. Tapi oleh anggota DPR pemerintah diberi keleluasaan tak hanya tas kresek, tapi produk plastik," tuturnya.
Kendati sudah adanya persetujuan Komisi XI DPR RI per Februari 2020, pandemi Covid-19 yang mulai menyerang Indonesia pada Maret 2020 membuat pemerintah mempertimbangkan pengenaan cukai tahun itu bukanlah waktu yang tepat, karena sektor ekonomi tengah menghadapi dampak pagebluk.
"Andaikata tahun 2023 kondisi perekonomian makin membaik, otomatis perangkat hukumnya harus dibuat dulu sebelum diterapkan. Misalnya PP diterapkan bulan ini, kan ada waktu 90 hari untuk dilaksanakan," kata Nirwala.
Oleh sebab itu, meskipun targetnya telah tercantum dalam UU APBN 2023, dan aturan hukum pelaksanaan pengenaan cukai plastiknya belum ada, terdapat konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah. Di antaranya mencari sumber dana baru sesuai target yang diterapkan.
"Konsekuensinya adalah harus cari pengganti. Itu mudah, karena sudah terlihat bulan ini belanjanya apa saja, bulan depan apa saja, jadi kan tinggal pencet tombol," ujar Nirwala.
Menurutnya, target itu tetap tercantum dalam APBN 2023 karena pola penganggaran negara dengan penganggaran rumah tangga pada umumnya berbeda.
"Kalau rumah tangga berdasarkan take home pay saja berapa, misal Rp 10 juta. Gimana caranya pengeluaran saya Rp 10 juta supaya enggak ngutang. Kalau negara enggak, dibalik. Berdasarkan pengeluarannya dulu, apa rencana belanjanya tahun depan, baru cari duit," tandasnya.
Lihat Juga: Kemenparekraf: Literasi Keuangan dan Bisnis DPUP 2024 Cegah dari Pinjol Ilegal dan Judol
Hal ini guna merespons kebijakan penetapan tarif cukai plastik sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130/2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023 yang ditargetkan mencapai Rp980 miliar.
"Itu kan belum bisa jalan sebelum ada PP-nya. Dari UU tidak akan bisa jalan sebelum ada PP. Dari PP kemudian akan disusun berupa juklak-juknisnya (petunjuk pelaksanaan-petunjuk teknis) melalui PMK (peraturan menteri keuangan," jelas Nirwala dalam acara Media Briefing Waspada Penipuan Mengatasnamakan Bea Cukai, di kantornya, Jakarta, Kamis (22/12/2022).
Ia menambahkan, untuk menyusun PP nya sendiri harus ada prakarsa dari pemerintah dengan membentuk panitia antar kementerian yang terlibat, di antaranya seperti Kementerian Perindustrian, KLHK, Kementerian Keuangan, hingga Kementerian Perdagangan.
Namun lanjutnya, tim teknis itu sendiri pun kata dia belum juga terbentuk karena banyak pertimbangan di antaranya masih berlangsungnya situasi Pandemi Covid-19. Padahal ia mengakui, ide pengenaan tarif cukai plastik sudah diinisiasi sejak 2017 silam.
"Cukai plastik sebetulnya sudah masuk ke dalam UU APBN sejak tahun 2017, targetnya Rp 1 triliun. Namun baru disetujui oleh Komisi XI Februari 2020. Tapi waktu itu usulan pemerintah adalah tas plastik sekali pakai. Tapi oleh anggota DPR pemerintah diberi keleluasaan tak hanya tas kresek, tapi produk plastik," tuturnya.
Kendati sudah adanya persetujuan Komisi XI DPR RI per Februari 2020, pandemi Covid-19 yang mulai menyerang Indonesia pada Maret 2020 membuat pemerintah mempertimbangkan pengenaan cukai tahun itu bukanlah waktu yang tepat, karena sektor ekonomi tengah menghadapi dampak pagebluk.
"Andaikata tahun 2023 kondisi perekonomian makin membaik, otomatis perangkat hukumnya harus dibuat dulu sebelum diterapkan. Misalnya PP diterapkan bulan ini, kan ada waktu 90 hari untuk dilaksanakan," kata Nirwala.
Oleh sebab itu, meskipun targetnya telah tercantum dalam UU APBN 2023, dan aturan hukum pelaksanaan pengenaan cukai plastiknya belum ada, terdapat konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah. Di antaranya mencari sumber dana baru sesuai target yang diterapkan.
"Konsekuensinya adalah harus cari pengganti. Itu mudah, karena sudah terlihat bulan ini belanjanya apa saja, bulan depan apa saja, jadi kan tinggal pencet tombol," ujar Nirwala.
Menurutnya, target itu tetap tercantum dalam APBN 2023 karena pola penganggaran negara dengan penganggaran rumah tangga pada umumnya berbeda.
"Kalau rumah tangga berdasarkan take home pay saja berapa, misal Rp 10 juta. Gimana caranya pengeluaran saya Rp 10 juta supaya enggak ngutang. Kalau negara enggak, dibalik. Berdasarkan pengeluarannya dulu, apa rencana belanjanya tahun depan, baru cari duit," tandasnya.
Lihat Juga: Kemenparekraf: Literasi Keuangan dan Bisnis DPUP 2024 Cegah dari Pinjol Ilegal dan Judol
(akr)