Ada Impor Saat Produksi Padi Surplus, Ketua Komisi IV: Ingin Tanya ke Pakar S7, tapi Tak Ada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komisi IV DPR, Sudin, menilai kinerja BUMN pangan Bulog untuk memenuhi cadangan beras pemerintah perlu ditingkatkan. Menurut Sudin, pemenuhan kebutuhan cadangan beras itu kerap menggunakan jalur impor ketimbang menyerap produksi petani.
Padahal, setiap tahun produksi beras di Indonesia selalu mengalami surplus, akan tetapi impor beras tidak terelakan setiap tahunnya. Kebijakan itu praktis merugikan petani, sebab akan berdampak pada pembentukan harga beras yang ada di pasar.
"Saya sudah mengingatkan, untuk serap gabah atau beras pada saat musim panen, karena saya lihat kinerja direktur pengadaan juga kurang bagus. Kalau perlu diganti, ganti Pak Buwas (Budi Waseso)," ujar Sudin dalan raker bersama Kementan dan Bulog, Senin (16/1/2023).
Lebih lanjut Sudin memaparkan data tentang surplus beras jika melihat setidaknya empat tahun ke belakang. Pada tahun 2019 produktivitas padi surplus 2,38 juta ton, dan melakukan impor sebanyak 444.508 ton, sedangkan pada tahun 2020 produktivitas padi juga surplus 2,13 juta ton, dan melakukan impor 356.286 ton.
Kemudian pada tahun 2021 lalu produksi padi juga surplus 1,31 juta ton, dan tetap melakukan impor sebanyak 407.741 ton. Pada tahun 2022 lalu produksi padi kembali surplus 1,74 juta ton dan impor juga dilakukan sebanyak 501.700 ton.
"Saya sampai tanya ke pakar-pakar yang S3, cuma saya waktu itu nanya S7 tidak ada. Surplus apa sih pengertiannya, surplus itu kan lebih," kata Sudin.
Bahkan berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, khusus produktivitas beras sejak tahun 2015 hingga 2022 kemarin sebetulnya selalu surplus. Akan tetapi untuk memenuhi cadangan bera, tetap harus impor.
"Tahun 2019, surplusnya 2,38 juta ton, tahun selanjutnya juga surplus, kalau surplus kok harus ada impor?" pungkas Sudin.
Lihat Juga: Harga Emas Hari Ini Merayap Naik Rp8 Ribu per Gram, Berikut Daftar Lengkap Nilai Jualnya
Padahal, setiap tahun produksi beras di Indonesia selalu mengalami surplus, akan tetapi impor beras tidak terelakan setiap tahunnya. Kebijakan itu praktis merugikan petani, sebab akan berdampak pada pembentukan harga beras yang ada di pasar.
"Saya sudah mengingatkan, untuk serap gabah atau beras pada saat musim panen, karena saya lihat kinerja direktur pengadaan juga kurang bagus. Kalau perlu diganti, ganti Pak Buwas (Budi Waseso)," ujar Sudin dalan raker bersama Kementan dan Bulog, Senin (16/1/2023).
Lebih lanjut Sudin memaparkan data tentang surplus beras jika melihat setidaknya empat tahun ke belakang. Pada tahun 2019 produktivitas padi surplus 2,38 juta ton, dan melakukan impor sebanyak 444.508 ton, sedangkan pada tahun 2020 produktivitas padi juga surplus 2,13 juta ton, dan melakukan impor 356.286 ton.
Kemudian pada tahun 2021 lalu produksi padi juga surplus 1,31 juta ton, dan tetap melakukan impor sebanyak 407.741 ton. Pada tahun 2022 lalu produksi padi kembali surplus 1,74 juta ton dan impor juga dilakukan sebanyak 501.700 ton.
"Saya sampai tanya ke pakar-pakar yang S3, cuma saya waktu itu nanya S7 tidak ada. Surplus apa sih pengertiannya, surplus itu kan lebih," kata Sudin.
Bahkan berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, khusus produktivitas beras sejak tahun 2015 hingga 2022 kemarin sebetulnya selalu surplus. Akan tetapi untuk memenuhi cadangan bera, tetap harus impor.
"Tahun 2019, surplusnya 2,38 juta ton, tahun selanjutnya juga surplus, kalau surplus kok harus ada impor?" pungkas Sudin.
Lihat Juga: Harga Emas Hari Ini Merayap Naik Rp8 Ribu per Gram, Berikut Daftar Lengkap Nilai Jualnya
(uka)