China Sebut Hasil Pilpres AS Tidak Berefek Banyak

Selasa, 08 November 2016 - 20:39 WIB
China Sebut Hasil Pilpres AS Tidak Berefek Banyak
China Sebut Hasil Pilpres AS Tidak Berefek Banyak
A A A
NEW JERSEY - Hubungan Republik Rakyat China dan Amerika Serikat, belakangan sedikit memanas terkait masalah perebutan hegemoni di Asia Pasifik. Seiring dengan pemilihan presiden di AS, pihak China menyatakan tidak ada efek yang menjanjikan bagi masa depan Sino-AS.

Melansir dari CNBC, Selasa (8/11/2016), Pendiri dan Presiden Center for China and Globalization, Wang Huiyao mengatakan kedua kandidat Presiden AS tidak memperlihatkan hal menjanjikan bagi hubungan kedua negara di masa depan. Menurutnya, jagoan Partai Republik, Donald Trump memiliki kebijakan menerapkan bea masuk tinggi pada produk China yang masuk ke AS. Hal ini dinilai sangat negatif bagi China.

Dalam kampanyenya, termasuk yang terakhir di Pennsylvania, Trump mengatakan jika menjadi presiden, akan memberlakukan tarif 45% atas produk impor China. Tidak hanya itu, Trump juga melabeli China sebagai negara manipulator mata uang.

Padahal, kata Wang, perdagangan sangat penting untuk memperat hubungan Beijing dan Washington. “Kami memiliki perdagangan bilateral terbesar di dunia dan perdagangan ini telah dan akan mendapatkan manfaat baik bagi China dan AS,” katanya kepada CNBC.

Data pemerintah AS menunjukkan sepanjang Januari-September 2016, China merupakan mitra dagang terbesar, dengan jumlah 15,4% dari total perdagangan barang di Negeri Abang Sam. Namun hubungan AS-China kerap panas dingin, terutama soal perselisihan di Laut China Selatan.

Sementara itu, Manajer Regional China Economist Intelligence Unit, Tom Rafferty mengatakan bahwa jika Hillary Clinton yang menang, hubungan AS-China juga tidak lebih baik bahkan bisa lebih buruk. Selama menjabat menteri luar negeri, Hillary dipandang lebih “hawkish” dalam kebijakan luar negerinya ketimbang Barack Obama.

“(Hillary) secara jelas mendukung untuk memperkuat kehadiran militer AS di Laut China Selatan dan Laut China Timur. Dan itu tidak menutup kemungkinan mendorong konflik terbuka,” analisa Rafferty. Tidak hanya itu, lazimnya Partai Demokrat AS, isu hak asasi manusia selalu menjadi senjata utama. Hillary pernah mengkritik kebijakan HAM Pemerintah China, yang telah membuat kesal Beijing di masa lalu. Pilihan antara Trump dan Hillary bagi China, kata Rafferty, diibaratkan memutuskan “yang terbaik dari yang terburuk”.

Kedua kandidat juga menentang Trans-Pacific Partnership (TPP) kesepakatan antara AS dan 11 negara di kawasan Pasifik yang dicapai tahun lalu untuk meliberalisasi perdagangan, menetapkan standar perdagangan umum dan memotong hambatan. Karena keduanya menentang TPP, China meluncurkan inisiatif sendiri, termasuk Regional Comprehensive Economic Partnership dan Infrastructure Asia Investment Bank untuk memperluas pengaruhnya di Asia Pasifik.

Belakangan, China rajin memberikan bantuan ekonomi ke negara-negara Asia Tenggara untuk memperkuat pengaruhnya di Asia Pasifik. Termasuk kepada Filipina dan Malaysia. Pada saat yang sama, AS sedang mencari mitra lain di kawasan Asia Pasifik untuk membangun hubungan ekonomi yang saling menguntungkan, guna menghadapi pertempuran ekonomi dengan China. Seperti pengembangan hubungan AS dengan mantan musuhnya, Vietnam.

Melansir dari Sputniknews, Selasa (8/11), ekonom dari Institute for Far Eastern Studies, Jacob Berger mengatakan, persaingan ekonomi AS dan China semakin meningkat apalagi keinginan China untuk menjadi ekonomi pertama di dunia yang terus tumbuh. Sementara itu, kata Berger, AS cenderung melakukan sikap ekonomi anti-China, baik itu pada Hillary maupun Trump. “China akan berusaha melemahkan ekonomi AS. Tentu saja Amerika tidak akan tinggal diam,” ujarnya.

Berbicara tentang dua kandidat Presiden AS, Berger mengatakan ada perbedaan metode dalam menghadapi China. Trump, kata dia, akan melakukan metode mengisolasi China, sedangkan Hillary akan melakukan intervensi. Trump pada isu-isu ekonomi yang sangat keras terhadap China. Sementara Hillary kepada kebijakan di Asia Pasifik yang keras terhadap China. “Hillary adalah salah satu penulis dari kebijakan anti-China dari pemerintahan Barack Obama,” kata Yang Mian, pakar komunikasi massa di Universitas China.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7295 seconds (0.1#10.140)