Menguji Kekuatan Ekonomi RI jika The Fed Naikkan Suku Bunga Lagi
Selasa, 27 Desember 2016 - 07:18 WIB

Menguji Kekuatan Ekonomi RI jika The Fed Naikkan Suku Bunga Lagi
A
A
A
JAKARTA - Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) diprediksi bakal kembali menaikkan suku bunga acuannya pada tahun depan setelah pada pertengahan Desember 2016 telah menaikkan suku bunga sebesar 0,25% ke rentang 0,5%-0,75%.
Kenaikan suku bunga AS tersebut kerap memengaruhi perkembangan ekonomi baik dari sisi indeks saham di Indonesia, mata uang rupiah, dan lainnya. Lantas bagaimana jika pada tahun depan The Fed kembali menaikkan suku bunga?
Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee menuturkan, jika The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan secara lambat dan hati-hati pada 2017. Maka, kemungkinan dampaknya tidak akan terlalu besar bagi Indonesia.
Dia menuturkan, jika pun terjadi goyangan, bukan lantaran investor mengalami kepanikan melainakn menyesuaikan secara pelan-pelan. Pihaknya menilai, The Fed bakal menaikkan suku bunga dan jika naik cukup besar, maka rupiah akan mengalami pelemahan.
"Kalau kita lihat kenaikan Fed rate ada dana keluar dari emerging market tapi enggak besar. Ada goyangan ke IHSG tapi bersifat sementara, contoh real case sementara ketika Fed naikkan suku bunga, banyak investor jual saham atau switching dari pasar saham ke obligasi, terjadi outflow," ujarnya ketika dihubungi SINDOnews di Jakarta, Senin (26/12/2016).
Bahkan, Direktur dan Kepala Riset Ekuitas Citigroup Securities Indonesia Ferry Wong meramalkan, The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya pada 2017 sebesar 25 bps.
"Tingkat suku bunga The Fed akan menyentuh level 1% pada tahun depan, pada semester I/2017 akan naik lagi 25 bps," kata Ferry.
Sementara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, kenaikan suku bunga AS akan memengaruhi ketersediaan dana di emerging market, termasuk Indonesia.
"Sebelumnya disebutkan, kalau Donald Trump menjadi Presiden AS, maka Fed fund rate akan naik pada Desember 2016. Sekarang analisa-analisa seperti itu harus ditinjau kembali," tuturnya.
Dia mengungkapkan, jika Trump mengimplementasikan kebijakan menurunkan pajak dan menaikkan utang pemerintah, maka kondisi tersebut akan mendorong peningkatan yield surat utang AS.
"Maka, dua hal yang terjadi itu akan membuat inflasi meningkat lebih cepat dari perkiraan semula," ucapnya.
Dengan demikian, peningkatan yield tersebut akan membuat dolar AS (USD) menjadi terus menarik di mata investor. "Sebelum pemilihan Presiden AS, yield surat utang AS 1,7% (tenor 10 tahun) dan menjadi 2,3%. Peningkatan itu merupakan angka besar, sehingga dolar menguat terhadap seluruh mata uang dunia," tegas Mirza.
Seperti diketahui, The Fed akhirnya memutuskan untuk menaikkan suku bunga sebesar 0,25% ke rentang 0,5%-0,75% pada pertengahan Desember 2016. Hal ini lantaran pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan meningkatnya lapangan kerja.
Seperti dikutip dari BBC, Kamis (15/12/2016), The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan naik secara bertahap dalam jangka pendek. Ketua The Fed Janet Yellen mengatakan, prospek ekonomi sangat tidak pasti dan kenaikan itu hanya sebagai pergeseran sederhana.
Presiden AS Donald Trump berjanji akan membuat kebijakan untuk mendorong pertumbuhan melalui pemotongan pajak, pengeluaran dan deregulasi.
Yellen menuturkan, hal itu sebagai salah satu spekulasi tentang strategi ekonomi Trump tanpa rincian lebih lanjut. Namun, dia menambahkan bahwa beberapa anggota Federal Open Markets Committee (FOMC) telah menetapkan suku bunga telah diperhitungkan dalam perkiraan.
Merespons hal itu, Menko bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, jika bank sentral Amerika Serikat tidak menaikkan atau menurunkan suku bunga The Fed dan tetap di angka 0,5%, artinya ekonomi Amerika belum siap untuk ke arah yang lebih stabil atau membaik.
Darmin menambahkan, saat ini ekonomi di negeri Paman Sam masih belum membaik signifikan. Terlebih dengan ditetapkannya keputusan menaikkan suku bunga Fed hanya sekali saja dalam setahun ini (2016), yakni pada Desember nanti.
"Ekonomi Amerika belum siap. Dia (The Fed) akan naikkan kalau ekonominya cukup baik, itu sudah pasti. Dia tidak naikkan karena ekonomi dia tidak cukup baik," kata Darmin.
Kenaikan suku bunga AS tersebut kerap memengaruhi perkembangan ekonomi baik dari sisi indeks saham di Indonesia, mata uang rupiah, dan lainnya. Lantas bagaimana jika pada tahun depan The Fed kembali menaikkan suku bunga?
Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee menuturkan, jika The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan secara lambat dan hati-hati pada 2017. Maka, kemungkinan dampaknya tidak akan terlalu besar bagi Indonesia.
Dia menuturkan, jika pun terjadi goyangan, bukan lantaran investor mengalami kepanikan melainakn menyesuaikan secara pelan-pelan. Pihaknya menilai, The Fed bakal menaikkan suku bunga dan jika naik cukup besar, maka rupiah akan mengalami pelemahan.
"Kalau kita lihat kenaikan Fed rate ada dana keluar dari emerging market tapi enggak besar. Ada goyangan ke IHSG tapi bersifat sementara, contoh real case sementara ketika Fed naikkan suku bunga, banyak investor jual saham atau switching dari pasar saham ke obligasi, terjadi outflow," ujarnya ketika dihubungi SINDOnews di Jakarta, Senin (26/12/2016).
Bahkan, Direktur dan Kepala Riset Ekuitas Citigroup Securities Indonesia Ferry Wong meramalkan, The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya pada 2017 sebesar 25 bps.
"Tingkat suku bunga The Fed akan menyentuh level 1% pada tahun depan, pada semester I/2017 akan naik lagi 25 bps," kata Ferry.
Sementara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, kenaikan suku bunga AS akan memengaruhi ketersediaan dana di emerging market, termasuk Indonesia.
"Sebelumnya disebutkan, kalau Donald Trump menjadi Presiden AS, maka Fed fund rate akan naik pada Desember 2016. Sekarang analisa-analisa seperti itu harus ditinjau kembali," tuturnya.
Dia mengungkapkan, jika Trump mengimplementasikan kebijakan menurunkan pajak dan menaikkan utang pemerintah, maka kondisi tersebut akan mendorong peningkatan yield surat utang AS.
"Maka, dua hal yang terjadi itu akan membuat inflasi meningkat lebih cepat dari perkiraan semula," ucapnya.
Dengan demikian, peningkatan yield tersebut akan membuat dolar AS (USD) menjadi terus menarik di mata investor. "Sebelum pemilihan Presiden AS, yield surat utang AS 1,7% (tenor 10 tahun) dan menjadi 2,3%. Peningkatan itu merupakan angka besar, sehingga dolar menguat terhadap seluruh mata uang dunia," tegas Mirza.
Seperti diketahui, The Fed akhirnya memutuskan untuk menaikkan suku bunga sebesar 0,25% ke rentang 0,5%-0,75% pada pertengahan Desember 2016. Hal ini lantaran pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan meningkatnya lapangan kerja.
Seperti dikutip dari BBC, Kamis (15/12/2016), The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan naik secara bertahap dalam jangka pendek. Ketua The Fed Janet Yellen mengatakan, prospek ekonomi sangat tidak pasti dan kenaikan itu hanya sebagai pergeseran sederhana.
Presiden AS Donald Trump berjanji akan membuat kebijakan untuk mendorong pertumbuhan melalui pemotongan pajak, pengeluaran dan deregulasi.
Yellen menuturkan, hal itu sebagai salah satu spekulasi tentang strategi ekonomi Trump tanpa rincian lebih lanjut. Namun, dia menambahkan bahwa beberapa anggota Federal Open Markets Committee (FOMC) telah menetapkan suku bunga telah diperhitungkan dalam perkiraan.
Merespons hal itu, Menko bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, jika bank sentral Amerika Serikat tidak menaikkan atau menurunkan suku bunga The Fed dan tetap di angka 0,5%, artinya ekonomi Amerika belum siap untuk ke arah yang lebih stabil atau membaik.
Darmin menambahkan, saat ini ekonomi di negeri Paman Sam masih belum membaik signifikan. Terlebih dengan ditetapkannya keputusan menaikkan suku bunga Fed hanya sekali saja dalam setahun ini (2016), yakni pada Desember nanti.
"Ekonomi Amerika belum siap. Dia (The Fed) akan naikkan kalau ekonominya cukup baik, itu sudah pasti. Dia tidak naikkan karena ekonomi dia tidak cukup baik," kata Darmin.
(izz)