Penggabungan PGN-Pertamina Solusi Infrastruktur Gas
A
A
A
JAKARTA - Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai penggabungan (holding) dua BUMN migas yaitu PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dapat menjadi solusi penyediaan infrastruktur gas nasional.
Hal ini dinilai lebih efisien ketimbang menjadikan dua perusahaan pelat merah tersebut menjadi agregator gas nasional. Agregator gas justru akan menimbulkan inefisiensi baru di sektor migas nasional. Investor justru akan menjauh karena sistemnya berbelit.
"Sebaiknya sistem permigasan kita harus lebih simple dan jelas. Jangan kelewat banyak BUMN entah itu namanya agregator. Cukup pemerintah yang memegang kebijakan dan regulator, enggak bentuk baru. Ditjen Migas harus diperkuat, bukan bentuk lembaga baru," ujarnya di Jakarta, Jumat (5/6/2015).
Ichsanuddin beralasan, saat ini infrastruktur gas di Indonesia masih sangat minim, terlebih untuk kebutuhan rumah tangga. Ketergantungan rumah tangga terhadap elpiji harus dihentikan, sebab untuk mendapatkan elpiji harus diimpor.
"Di perut bumi nusantara ini, cadangan gasnya besar. Tapi komponen gas elpiji C3 dan C4 hanya 5%-10%. Sementara 90%-95% itu berupa C1 dan C2," sebut dia.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sedianya rumah tangga tidak lagi mengandalkan gas elpiji. Namun harus diandalkan dari gas perut bumi lewat jaringan gas (jargas). "Jadi ke rumah tangga dialirkan lewat pipa," tambahnya.
Namun, saat ini Indonesia masih dihadapkan minimnya pipa gas untuk menyalurkan gas ke rumah tangga yang sejatinya tugas PGN untuk menyediakannya. Sayangnya, pipa gas tersebut tak tertangani oleh BUMN gas tersebut lantaran telah diswastakan sekitar 43%.
"Solusinya, PGN dan Pertamina harus holding. Bila perlu, saham swasta harus di-buyback (beli kembali) pemerintah sehingga pemerintah bisa menyuruh PGN bangun infrastruktur gas. Pemerintah juga bisa pakai APBN untuk bangun infrastruktur gas, lalu pengoperasian bisa ke PGN," tandas dia.
Penggabungan Pertamina dan PGN dinilai bisa mempercepat pembangunan infrastruktur gas. Selain itu agar antara keduanya tidak terjadi benturan dan tumpang tindih kepentingan.
Hal ini dinilai lebih efisien ketimbang menjadikan dua perusahaan pelat merah tersebut menjadi agregator gas nasional. Agregator gas justru akan menimbulkan inefisiensi baru di sektor migas nasional. Investor justru akan menjauh karena sistemnya berbelit.
"Sebaiknya sistem permigasan kita harus lebih simple dan jelas. Jangan kelewat banyak BUMN entah itu namanya agregator. Cukup pemerintah yang memegang kebijakan dan regulator, enggak bentuk baru. Ditjen Migas harus diperkuat, bukan bentuk lembaga baru," ujarnya di Jakarta, Jumat (5/6/2015).
Ichsanuddin beralasan, saat ini infrastruktur gas di Indonesia masih sangat minim, terlebih untuk kebutuhan rumah tangga. Ketergantungan rumah tangga terhadap elpiji harus dihentikan, sebab untuk mendapatkan elpiji harus diimpor.
"Di perut bumi nusantara ini, cadangan gasnya besar. Tapi komponen gas elpiji C3 dan C4 hanya 5%-10%. Sementara 90%-95% itu berupa C1 dan C2," sebut dia.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sedianya rumah tangga tidak lagi mengandalkan gas elpiji. Namun harus diandalkan dari gas perut bumi lewat jaringan gas (jargas). "Jadi ke rumah tangga dialirkan lewat pipa," tambahnya.
Namun, saat ini Indonesia masih dihadapkan minimnya pipa gas untuk menyalurkan gas ke rumah tangga yang sejatinya tugas PGN untuk menyediakannya. Sayangnya, pipa gas tersebut tak tertangani oleh BUMN gas tersebut lantaran telah diswastakan sekitar 43%.
"Solusinya, PGN dan Pertamina harus holding. Bila perlu, saham swasta harus di-buyback (beli kembali) pemerintah sehingga pemerintah bisa menyuruh PGN bangun infrastruktur gas. Pemerintah juga bisa pakai APBN untuk bangun infrastruktur gas, lalu pengoperasian bisa ke PGN," tandas dia.
Penggabungan Pertamina dan PGN dinilai bisa mempercepat pembangunan infrastruktur gas. Selain itu agar antara keduanya tidak terjadi benturan dan tumpang tindih kepentingan.
(izz)