Modal Rp1,4 M Bisa Untung Berlipat atau Bangkrut
A
A
A
Mengebor dan menambang minyak di Desa Dangilu-Wonocolo, Bojonegoro, kini sudah menggunakan teknologi modern. Hampir tidak ada pemandangan tempo dulu puluhan pekerja ramai-ramai menarik seling baja menuruni bukit berisi timba terbuat dari pipa besi dari sumur berkedalaman 150 meter sampai 400 meter. Semua sudah digantikan mesin.
PAGI itu, seorang berperawakan tinggi besar, mengenakan topi tampak serius mengawasi para pekerja yang melakukan pengeboran minyak di salah satu sumur di Desa Dangilu.
Sesekali dia berbicara serius dengan pekerja di sela-sela mesin pengeboran yang terus mengeluarkan lumpur bercampur air dari dalam sumur. "Saya pengawas pengeboran mewakili investor,’’ ujar Nuryanto dengan ramah kepada Sindonews.
Sudah seminggu ini, Nur sapaan Nuryanto bersama rekannya secara bergantian mengawasi para pekerja pengeboran minyak. Baik siang maupun malam selama 24 jam nonstop. "Pekerja yang terdiri operator, teknisi dan tenaga kasar juga lembur 24 jam dibagi dalam beberapa shif," ujar Nur lalu, mengajak penulis ngobrol di warung dekat pengeboran seraya mengawasi para pekerja.
"Saya berhak tanya ke mandor kalau ada pekerjaan pengeboran yang tidak berjalan sesuai rencana," tegas alumnus Fakultas Geologi UPN Yogyakarta itu.
Kini, kedalaman sumur yang dibor sudah mencapai sekitar 150 meter dari 400 meter yang direncanakan. "Kalau di Kadilangu kandungan minyak berada di kisaran 400 meter. Sedangkan di Wonocolo di kisaran 150 meter sampai 200 meter. "Karena di sini (Wonocolo sekitarnya) ada beberapa patahan. Akibatnya, kedalaman yang mengandung minyak juga berbeda sesuai patahan tadi,’’ ungkap pria yang sudah melang melintang di beberapa pengeboran minyak seluruh Indonesia, mulai Natuna (Riau) Plaju (Sumsel) Papua dan daerah lainnya.
"Saya baru pensiun dua bulan lalu. Tiba-tiba diajak kawan lama ke sini," akunya.
Ditambahkan Nur, dalam dunia penambangan minyak terutama saat pengeboran selain biayanya tinggi, risikonya juga besar. Kalau ngebor sumur tidak keluar minyak, sang investor rugi besar, bahkan bisa bangkrut. "Kegagalan pengeboran juga banyak terjadi di sini," kata Nur, seraya menujuk beberapa bekas rig sisa pengeboran yang gagal.
Untuk biaya operasional pengeboran satu sumur dengan kedalaman 400 meter sedikitnya investor harus menyediakan uang Rp1,4 miliar. "Itu kalau diborongkan. Investor tahunya bersih. Segala sewa peralatan bor dan tenaga kerja tanggungan pemborong. Pihak investor hanya menempatkan pengawas,’’ tambah Nur.
Soal pembayaran tergantung kesepakatan. Bisa bertahap. Misalnya, pembayaran awal disepakati Rp300 juta atau Rp500 juta. Pembayaran berikutnya sesuai perkembangan hasil pengeboran. Misalnya, jika pengeboran mencapai kedalaman 200 meter akan ditambah Rp300 juta sampai Rp500 juta. Hingga kedalaman mencapai 400 meter dan keluar minyak, baru pembayaran penuh.
Bagaimana jika gagal atau tidak keluar minyak? Pemborong akan mengebor hingga tiga kali di sekitar tempat pengeboran pertama. "Jika sudah tiga kali melakukan pengeboran mencapai kedalaman 400 meter tapi tidak keluar minyak, kewajiban pemborong sudah dipenuhi. Risiko kerugian sepenuhnya ditanggung investor," terangnya.
Tapi, lanjut Nur, ada kalanya investor hanya butuh tenaga kerja. Sedangkan peralaan pengeboran dan tetek benge diurus investor sendiri. Meski lebih ribet, biaya yang dikeluarkan investor bisa lebih kecil karena mereka yang menyediakan peralatannya sendiri. "Semua tergantung kesepakatan awal," ungkap Nur.
Soal risiko kegagalan, lanjut Nur, kemungkinan pasti ada. Sebab, tidak ada yang bisa mamastikan akan mendapat minyak meski sebelumnya sudah melakukan berbagai pemetaan, penelitian, dan eksplorasi.
Ditambah kecelakaan atau kesalahan kerja saat pengeboran, serta penanganan yang tidak tepat saat ada masalah makin membuat risiko kegagalan lebih besar. Juga jenis lapisan batuan yang akan dibor menentukan keberhasilan pengeboran atau tidak. "Jadi, banyak faktor di lapangan," tambahnya.
Pengeboran sumur minyak di Dangilu-Wonocolo umumnya menggunakan mesin bor JACRO 600 dan SPINDLE. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.
Untuk pengamanan agar tidak menimbulkan kecelakaan misalnya, banjir lumpur seperti kejadian di Lapindo, Porong, Sidoarjo, pengeboran juga menggunakan casing jika mencapai kedalamanan tertentu. Jenisnya ada dua, yakni casing konduran dan casing proland. "Casing akan dipasang jika akan menembus lapisan gas. Sudah jamak, jika ada gas berarti akan ada minyak," terangnya.
Nur menuturkan, dalam dunia pengeboran yang paling ditakuti jika pengeboran bertemu lapisan water loss atau dalam dunia penambangan minyak di Wonocolo dikenal lumpur setan.
Tahap ini paling krusial. Kenapa? Di sini tahap paling menentukan apakah pengeboran akan sukses atau tidak. Sebab, lapisan lumpur setan biasanya berada di kedalaman 280 meter sampai 400 meter itu bisa menjepit mesin bor.
Kalau mesin bor dipaksa terus digerakkan hanya membuat putaran layaknya spiral. Efeknya pori-pori lubang sekitarnya makin menganga. Selain itu, jepitan lumpur setan pada mesin makin kuat. Jika sudah begini biasanya dimasukkan sekam untuk mengurangi jepitan lumpur setan pada mesin bor. Kadang berhasil, bisa juga gagal.
Bila gagal mesin bor bisa rusak atau putus dan harus ditinggalkan dalam lubang sumur bor. Kalau sudah begini pilihannya harus mengebor lagi di tempat lain. "Itu pilihan terbaik dibandingkan harus memperbaiki. Selain tingkat keberhasilan kecil, biaya yang dikeluarkan makin besar," ungkapnya.
Ditambahkan Nur, untuk menyelesaikan satu pengeboran minyak dengan kedalaman sekitar 400 meter membutuhkan waktu rata-rata 1,5 bulan. "Artinya bisa tuntas 25 hari sampai dua bulan. Kalau dirata-rata ya 1,5 bulan tadi," katanya.
Di balik risiko besar dalam dunia penambangan sekaligus memberi keuntungan aduhai jika pengeboran berhasil mengeluarkan minyak. "Kalau lancar saat ditambang, modal Rp1,4 miliar bisa balik hanya dalam tempo 10 bulan," terang Nur.
Bahkan kalau sumber minyak yang ditambang relatif besar hanya perlu waktu lima bulan modal sudah kembali. Selebihnya, selama 4,5 tahun tinggal menikmati untungnya. Biasanya, kesepakatan penambang dengan pemilik sumur berlangsung lima tahunan.
Bahkan, sehabis lima tahun tapi terus bisa ditambang tinggal memperpanjang kesepakatan bagi hasil dengan pemilik titik sumur yang biasaaya dimiliki warga setempat. "Itu enaknya kalau mengebor berhasil keluar minyak dengan volume cukup baik," ujarnya.
Ditambahkan Adi, pegawai PT GSI Jakarta yang memiliki empat sumur yang masih produksi di Dangilu-Wonocolo, bahkan ada sumur minyak yang dalam sepekan bisa menghasilkan minyak 100 bul atau 100 ton minyak mentah. Kalau dirupiahkan bisa mencapai Rp150 juta per minggu. "Kalau produksinya stabil hanya butuh waktu lima bulan modal pengeboran (Rp1,4 miliar) sudah bisa kembali," tegasnya.
Tapi, sebelum bisa mengebor seorang investor harus mencari titik lubang yang biasanya dikuasai para penduduk setempat atau bisa disebut pemilik titik lubang.
Sebelum terjadi kesepakatan dengan pemilik lubang, biasanya banyak pihak menawarkan jasa. Mereka ini biasa disebut makelar. Namun kadang mereka mengaku pemborong. Jumlahnya seabrek. "Makanya, investor harus jeli. Bisa-bisa uang habis karena ditipu makelar tadi," kata Nur.
Namun investor tidak bisa menghindar dari makelar. Sebab, mereka jadi penghubung investor dengan pemilik titik tambang yang biasanya jumlahnya puluhan.
Mereka juga yang mengatur bagi hasil penambangan. Umumnya, investor dapat 75 persen hasil tambang, Sedangkan pemilik titik sumur dapat 25%. Itu pun harus dibagi lagi dengan kelompoknya. Jumlah anggota kelompok bervariasi, ada yang 30 orang sampai 50 orang.
Pemilik titik tambang biasanya menyerahkan kepada makelar untuk mengurus segala tetek begeknya. Temasuk perizinan segala.
Setelah terjadi kesepakatan, pemilik titik tambang biasanya membangun landasan beton berukuran 10 x 10 meter sampai 15 meter. Di atas ladasan tadi dipakai untuk tempat mesin portable rig atau peralatan pengeboran. Semua biaya sewa peralatan tadi ditanggung investor.
Tak jarang terjadi masalah di tengah jalan antara investor dengan makelar atau pemborong tadi. "Jika, menyangkut hak pemborong tak henti-hentinya menagih. Bila perlu ditunggui di depan kantor investor,"’ ujarnya.
Sebaliknya, jika kewajiban pemborong atau makelar tak bisa dipenuhi, mereka punya seribu satu alasan. "Tak jarang makelar menghilang begitu saja jika banyak masalah saat pengeboran. Lha... kalau sudah begitu investor mau mencari kemana? Makanya, kita harus mencari partner yang bisa dipercaya untuk mengurangi risiko," terang Nur.
Kenakalan makelar dalam mencari mangsa juga dituturkan Yanto, 35, seorang pekerja tambang. Tak jarang makelar menuangkan lantung beberapa drum atau tangki ke dalam sumur minyak milik warga yang sudah tidak ditambang tanpa sepengetahuan pemilik titik tambang. Tujuannya, mengelabui calon investor kalau sumur tadi masih berproduksi. Selanjutnya, titik tambang tadi dijual kepada investor, misalnya Rp1 miliar.
Dari nilai Rp1 miliar disisihkan untuk kelompok pemilik titik tambang. Jika dalam satu kelompok ada 50 orang Rp100 juta. "Jadi masing-masing pemilik dapat Rp1 juta atau Rp2 juta. Mereka tidak tahu dan senang-senang saja sumur yang sudah tidak diproduksi dibeli Rp50 juta. "Yang kaya ya makelar tadi untung ratusan juta. Praktik kotor itu sering terjadi," ungkapnya. (bersambung)
PAGI itu, seorang berperawakan tinggi besar, mengenakan topi tampak serius mengawasi para pekerja yang melakukan pengeboran minyak di salah satu sumur di Desa Dangilu.
Sesekali dia berbicara serius dengan pekerja di sela-sela mesin pengeboran yang terus mengeluarkan lumpur bercampur air dari dalam sumur. "Saya pengawas pengeboran mewakili investor,’’ ujar Nuryanto dengan ramah kepada Sindonews.
Sudah seminggu ini, Nur sapaan Nuryanto bersama rekannya secara bergantian mengawasi para pekerja pengeboran minyak. Baik siang maupun malam selama 24 jam nonstop. "Pekerja yang terdiri operator, teknisi dan tenaga kasar juga lembur 24 jam dibagi dalam beberapa shif," ujar Nur lalu, mengajak penulis ngobrol di warung dekat pengeboran seraya mengawasi para pekerja.
"Saya berhak tanya ke mandor kalau ada pekerjaan pengeboran yang tidak berjalan sesuai rencana," tegas alumnus Fakultas Geologi UPN Yogyakarta itu.
Kini, kedalaman sumur yang dibor sudah mencapai sekitar 150 meter dari 400 meter yang direncanakan. "Kalau di Kadilangu kandungan minyak berada di kisaran 400 meter. Sedangkan di Wonocolo di kisaran 150 meter sampai 200 meter. "Karena di sini (Wonocolo sekitarnya) ada beberapa patahan. Akibatnya, kedalaman yang mengandung minyak juga berbeda sesuai patahan tadi,’’ ungkap pria yang sudah melang melintang di beberapa pengeboran minyak seluruh Indonesia, mulai Natuna (Riau) Plaju (Sumsel) Papua dan daerah lainnya.
"Saya baru pensiun dua bulan lalu. Tiba-tiba diajak kawan lama ke sini," akunya.
Ditambahkan Nur, dalam dunia penambangan minyak terutama saat pengeboran selain biayanya tinggi, risikonya juga besar. Kalau ngebor sumur tidak keluar minyak, sang investor rugi besar, bahkan bisa bangkrut. "Kegagalan pengeboran juga banyak terjadi di sini," kata Nur, seraya menujuk beberapa bekas rig sisa pengeboran yang gagal.
Untuk biaya operasional pengeboran satu sumur dengan kedalaman 400 meter sedikitnya investor harus menyediakan uang Rp1,4 miliar. "Itu kalau diborongkan. Investor tahunya bersih. Segala sewa peralatan bor dan tenaga kerja tanggungan pemborong. Pihak investor hanya menempatkan pengawas,’’ tambah Nur.
Soal pembayaran tergantung kesepakatan. Bisa bertahap. Misalnya, pembayaran awal disepakati Rp300 juta atau Rp500 juta. Pembayaran berikutnya sesuai perkembangan hasil pengeboran. Misalnya, jika pengeboran mencapai kedalaman 200 meter akan ditambah Rp300 juta sampai Rp500 juta. Hingga kedalaman mencapai 400 meter dan keluar minyak, baru pembayaran penuh.
Bagaimana jika gagal atau tidak keluar minyak? Pemborong akan mengebor hingga tiga kali di sekitar tempat pengeboran pertama. "Jika sudah tiga kali melakukan pengeboran mencapai kedalaman 400 meter tapi tidak keluar minyak, kewajiban pemborong sudah dipenuhi. Risiko kerugian sepenuhnya ditanggung investor," terangnya.
Tapi, lanjut Nur, ada kalanya investor hanya butuh tenaga kerja. Sedangkan peralaan pengeboran dan tetek benge diurus investor sendiri. Meski lebih ribet, biaya yang dikeluarkan investor bisa lebih kecil karena mereka yang menyediakan peralatannya sendiri. "Semua tergantung kesepakatan awal," ungkap Nur.
Soal risiko kegagalan, lanjut Nur, kemungkinan pasti ada. Sebab, tidak ada yang bisa mamastikan akan mendapat minyak meski sebelumnya sudah melakukan berbagai pemetaan, penelitian, dan eksplorasi.
Ditambah kecelakaan atau kesalahan kerja saat pengeboran, serta penanganan yang tidak tepat saat ada masalah makin membuat risiko kegagalan lebih besar. Juga jenis lapisan batuan yang akan dibor menentukan keberhasilan pengeboran atau tidak. "Jadi, banyak faktor di lapangan," tambahnya.
Pengeboran sumur minyak di Dangilu-Wonocolo umumnya menggunakan mesin bor JACRO 600 dan SPINDLE. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.
Untuk pengamanan agar tidak menimbulkan kecelakaan misalnya, banjir lumpur seperti kejadian di Lapindo, Porong, Sidoarjo, pengeboran juga menggunakan casing jika mencapai kedalamanan tertentu. Jenisnya ada dua, yakni casing konduran dan casing proland. "Casing akan dipasang jika akan menembus lapisan gas. Sudah jamak, jika ada gas berarti akan ada minyak," terangnya.
Nur menuturkan, dalam dunia pengeboran yang paling ditakuti jika pengeboran bertemu lapisan water loss atau dalam dunia penambangan minyak di Wonocolo dikenal lumpur setan.
Tahap ini paling krusial. Kenapa? Di sini tahap paling menentukan apakah pengeboran akan sukses atau tidak. Sebab, lapisan lumpur setan biasanya berada di kedalaman 280 meter sampai 400 meter itu bisa menjepit mesin bor.
Kalau mesin bor dipaksa terus digerakkan hanya membuat putaran layaknya spiral. Efeknya pori-pori lubang sekitarnya makin menganga. Selain itu, jepitan lumpur setan pada mesin makin kuat. Jika sudah begini biasanya dimasukkan sekam untuk mengurangi jepitan lumpur setan pada mesin bor. Kadang berhasil, bisa juga gagal.
Bila gagal mesin bor bisa rusak atau putus dan harus ditinggalkan dalam lubang sumur bor. Kalau sudah begini pilihannya harus mengebor lagi di tempat lain. "Itu pilihan terbaik dibandingkan harus memperbaiki. Selain tingkat keberhasilan kecil, biaya yang dikeluarkan makin besar," ungkapnya.
Ditambahkan Nur, untuk menyelesaikan satu pengeboran minyak dengan kedalaman sekitar 400 meter membutuhkan waktu rata-rata 1,5 bulan. "Artinya bisa tuntas 25 hari sampai dua bulan. Kalau dirata-rata ya 1,5 bulan tadi," katanya.
Di balik risiko besar dalam dunia penambangan sekaligus memberi keuntungan aduhai jika pengeboran berhasil mengeluarkan minyak. "Kalau lancar saat ditambang, modal Rp1,4 miliar bisa balik hanya dalam tempo 10 bulan," terang Nur.
Bahkan kalau sumber minyak yang ditambang relatif besar hanya perlu waktu lima bulan modal sudah kembali. Selebihnya, selama 4,5 tahun tinggal menikmati untungnya. Biasanya, kesepakatan penambang dengan pemilik sumur berlangsung lima tahunan.
Bahkan, sehabis lima tahun tapi terus bisa ditambang tinggal memperpanjang kesepakatan bagi hasil dengan pemilik titik sumur yang biasaaya dimiliki warga setempat. "Itu enaknya kalau mengebor berhasil keluar minyak dengan volume cukup baik," ujarnya.
Ditambahkan Adi, pegawai PT GSI Jakarta yang memiliki empat sumur yang masih produksi di Dangilu-Wonocolo, bahkan ada sumur minyak yang dalam sepekan bisa menghasilkan minyak 100 bul atau 100 ton minyak mentah. Kalau dirupiahkan bisa mencapai Rp150 juta per minggu. "Kalau produksinya stabil hanya butuh waktu lima bulan modal pengeboran (Rp1,4 miliar) sudah bisa kembali," tegasnya.
Tapi, sebelum bisa mengebor seorang investor harus mencari titik lubang yang biasanya dikuasai para penduduk setempat atau bisa disebut pemilik titik lubang.
Sebelum terjadi kesepakatan dengan pemilik lubang, biasanya banyak pihak menawarkan jasa. Mereka ini biasa disebut makelar. Namun kadang mereka mengaku pemborong. Jumlahnya seabrek. "Makanya, investor harus jeli. Bisa-bisa uang habis karena ditipu makelar tadi," kata Nur.
Namun investor tidak bisa menghindar dari makelar. Sebab, mereka jadi penghubung investor dengan pemilik titik tambang yang biasanya jumlahnya puluhan.
Mereka juga yang mengatur bagi hasil penambangan. Umumnya, investor dapat 75 persen hasil tambang, Sedangkan pemilik titik sumur dapat 25%. Itu pun harus dibagi lagi dengan kelompoknya. Jumlah anggota kelompok bervariasi, ada yang 30 orang sampai 50 orang.
Pemilik titik tambang biasanya menyerahkan kepada makelar untuk mengurus segala tetek begeknya. Temasuk perizinan segala.
Setelah terjadi kesepakatan, pemilik titik tambang biasanya membangun landasan beton berukuran 10 x 10 meter sampai 15 meter. Di atas ladasan tadi dipakai untuk tempat mesin portable rig atau peralatan pengeboran. Semua biaya sewa peralatan tadi ditanggung investor.
Tak jarang terjadi masalah di tengah jalan antara investor dengan makelar atau pemborong tadi. "Jika, menyangkut hak pemborong tak henti-hentinya menagih. Bila perlu ditunggui di depan kantor investor,"’ ujarnya.
Sebaliknya, jika kewajiban pemborong atau makelar tak bisa dipenuhi, mereka punya seribu satu alasan. "Tak jarang makelar menghilang begitu saja jika banyak masalah saat pengeboran. Lha... kalau sudah begitu investor mau mencari kemana? Makanya, kita harus mencari partner yang bisa dipercaya untuk mengurangi risiko," terang Nur.
Kenakalan makelar dalam mencari mangsa juga dituturkan Yanto, 35, seorang pekerja tambang. Tak jarang makelar menuangkan lantung beberapa drum atau tangki ke dalam sumur minyak milik warga yang sudah tidak ditambang tanpa sepengetahuan pemilik titik tambang. Tujuannya, mengelabui calon investor kalau sumur tadi masih berproduksi. Selanjutnya, titik tambang tadi dijual kepada investor, misalnya Rp1 miliar.
Dari nilai Rp1 miliar disisihkan untuk kelompok pemilik titik tambang. Jika dalam satu kelompok ada 50 orang Rp100 juta. "Jadi masing-masing pemilik dapat Rp1 juta atau Rp2 juta. Mereka tidak tahu dan senang-senang saja sumur yang sudah tidak diproduksi dibeli Rp50 juta. "Yang kaya ya makelar tadi untung ratusan juta. Praktik kotor itu sering terjadi," ungkapnya. (bersambung)
(dmd)