Warga Hidup Sejahtera dari Hasil Minyak
A
A
A
Ratusan, bahkan ribuan orang ikut kecipratan gurihnya bisnis minyak mentah alias lantung di bumi Dangilu-Wonocolo, Bojonegoro. Mereka berlomba mengais rezeki dari emas hitam temuan Belanda.
Eko (28) terus mengaduk-aduk lantung yang sedang mendidih. Pekatnya asap yang membuat mata perih dari pembakaran kayu tak dihiraukannya.
Sesekali, dia turun ke bawah membetulkan letak kayu bakar di tungku alam dengan memanfaatkan kemiringan bukit kapur yang dilubangi. Itu dilakukan agar nyala api tetap stabil. "Sekali bakar lantung bisa satu drum atau 200 liter lebih," kata Eko, seraya membetulkan posisi kayu bakar yang menyala-nyala.
Untuk memasak lantung menjadi solar dibutuhkan waktu antara 6 jam hingga 8 jam. "Kalau nyalanya api besar dan stabil bisa lebih cepat," ujarnya.
Sehari paling sedikit bisa membakar satu drum lantung. Hasilnya, sekitar 200 liter solar. Bagitu jadi solar sudah ada tengkulak datang membeli di lokasi pembakaran di sela-sela lokasi penambangan Desa Dangilu-Wonocolo.
Satu drum dihargai Rp750 ribu. Solar tadi oleh tengkulak dibawa ke pengepul, selanjutnya dijual ke Cepu, Blora, Semarang, Solo dan kota besar lainnya. "Keuntungan bersih sehari sekitar Rp200 ribu. Kalau kerja lembur bakar lantung ya untungnya bisa dua kali lipat," tuturnya.
Hal itu, lanjut Eko, sudah dikurangi ongkos produksi seikat besar kayu bakar seharga Rp50 ribu yang dibeli dari warga untuk membakar lantung.
Untuk mendapatkan lantung, dia tidak perlu repot-repot karena ada pemasok lantung dari para penambang di sekitar tempat mereka bekerja. Minimal pembelian lantung satu bul atau satu ton lantung. Kira-kira 1.000 liter lebih. Harganya berkisar Rp2,3 juta. "Pekerjaan ini sudah saya tekuni sejak tiga tahun lalu," akunya.
Eko tak sendirian membakar lantung untuk dijadikan solar. Ada ratusan, bahkan ribuan orang berprofesi seperti Eko sebagai pembakar lantung. Mereka membeli lantung dengan modal sendiri, dibakar untuk dijadikan solar, lalu dijual. Semua dilakukan di lokasi penambangan. "Tengkulak siap menampung berapa pun solar hasil pembakaran," tambahnya.
Tak heran, setiap hari jumlah pembakar lantung terus bertambah. Itu bisa dilihat dari pawon tempat lubang pembakaran satu dengan lainnya sambung menyambung di sepanjang bukit. "Saya juga baru dua bulan pembakar lantung. Hasilnya, lebih banyak daripada berdagang seperti yang saya tekuni selama ini,’’ kata Totok kepada Sindownews di lokasi pembakaran.
Tak heran, di sela-sela para penambang dan pengeboran pasti ada yang membakar lantung. Asap putih sisa pembakaran selalu memenuhi perbukitan kapur Dangilu-Wonocolo. "Seharian di sini (Dangilu-Wonocolo) baju dan badan kita semua pasti bau asap campur minyak," kata Nuryanto, seorang pengawas pengeboran.
Lain lagi pengakuan Suprianto (52). Dia mengaku sudah dua tahun menjadi pekerja di Dangilu. Saat itu dia bekerja di Surabaya mendadak dipanggil adiknya untuk diajak di penambangan. "Katanya gajinya besar. Saya pulang ke Cepu dan bekerja sebagai penambang," kenangnya.
Saat itu, kata Suprianto, gajinya lumayan besar. Dalam bekerja satu kru berjumlah 14 orang dan dibagi dua shif. Malam dan siang secara bergantian. Setiap minggu hasil minyak yang bisa ditambang cukup banyak. Satu sumur rata-rata 20 bul atau 20 ton per pekan. Pekerja bisa mengantongi Rp2 juta setiap minggu. "Saat itu sumurnya sangat produktif," tuturnya.
Namun, kian banyaknya pengeboran sumur baru berdampak pada produktivitas sumur yang ditambang Suprianto. "Minyaknya terus menyusut,’’ akunya.
Akibatnya, jumlah kru penambang dikurangi. Dari satu shif semula 7 pekerja menjadi empat orang. "Kini seminggu paling banter mengantongi Rp 250 ribu. Makanya, kalau pas lagi shif malam, siangnya saya nyambi apa saja. Ya, ngojek, ya dagang,’’ ungkapnya.
Lain lagi cerita Basyir (60), mandor pekerja di sumur 128 D Desa Dangilu. Sejak 10 bulan lalu sumur milik kelompoknya 21 orang diambil alih investor. Sebagai gantinya, Basyir dkk akan mendapat keuntungan 25% dari hasil minyak. "Seminggu rata-rata setiap pekerja mendapat Rp500 ribu," kata Basyir, yang terus mengawasi rekannya bekerja.
Keputusan Basyir bekerja sama dengan investor karena hasil minyak peninggalan Belanda kian tahun hasilnya menurun saat ditambang. Itu seiring makin banyaknya sumur baru. Apalagi, Basyir dkk sudah tidak muda lagi. Untuk menarik tali baja saat menambang sudah ngos-ngosan. Belum lagi hasilnya tidak menentu. "Berat. Makanya, begitu ada investor mengajak kerja sama ya semua teman setuju," ujarnya.
Gaji per minggu Rp500 ribu kalau dibilang cukup ya cukup. Tapi, Basyir mengaku sulit menabung. Lain lagi cerita 30 tahun lampau yang masih menggunakan cara manual saat menambang. Hasilnya seminggu hanya mengantongi Rp32. ‘’Tapi, itu lebih dari cukup. Selain bisa menabung juga mampu menyekolahkan anak-anak. Artinya, gaji Rp500 ribu sekarang dibandingkan dulu Rp32 masih besar dulu. Apalagi, sekarang harga sembako gila-gilaan. Tapi, ya disyukuri saja,’’ akunya.
Apa tidak takut cepat habis, karena sumur ditambang 24 jam nonstop? "Ya, kita pasrah saja. Minyak itu kan punya Gusti Allah. Kalau waktunya habis ya habis saja. Dulu juga banyak yang meramal minyak di sini akan habis tahun sekian. Buktinya, sampai sekarang masih ada," kilahnya.
Soal kerusakan lingkungan yang kian parah akibat penambangan? Basyir menanggapi enteng. "Sebenarnya sayang juga. Tapi, bagaimana lagi. Semua orang juga butuh makan,’’ akunya.
Penambangan di kawasan Dangilu dan Wonocolo telah mengubah kehidupan warga Desa Dangilu. Jika dulu Dangilu merupakan desa tetinggal karena letaknya terpencil dekat hutan jati. Kini, sudah berubah 180 derajat.
Saat Sindonews menyusuri desa berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi penambangan, jalan menuju desa cukup lebar dan dipaving hingga ke pelosok. Jalan bisa untuk persimpangan dua mobil.
Yang tak kalah mengejutkan rumah-rumah warga umumnya permanen, ditembok dan dicat warna warni. Di samping cukup luas, rata-rata setiap rumah ada mobil dan beberapa sepeda motor.
Bahkan, beberapa rumah terparkir truk. Di beberapa sudut jalan desa yang asri ada meja biliar untuk permainan anak-anak desa dan pemudanya. Bahkan dari perabot kursi meja yang ditaruh depan rumah umumnya kayu jati ukiran berharga mahal.
"Dari 3.700 jiwa penduduk desa 75 persennya bekerja di penambangan minyak. Ada yang penambang, pemilik tambang, pembakar lantung, pemborong sampai mandor. 50% berhasil," terang Kepala Desa Dangilu Sudarsono (40), saat ditemui Sindonews di rumahnya.
Ukuran keberhasilan itu secara kasat mata bisa dilihat dari rumah dan kendaraan warga. Umumnya warga memiliki mobil dan beberapa motor. "Sampeyan kan sudah keliling desa. Kan bisa lihat sendiri rumah warga. Jadi, saya tidak perlu cerita lagi," ujarnya.
Bahkan ada pemilik tambang yang mempunyai show room mobil, juga beberapa toko. "Semua itu hasil dari tambang. Sebagai kades, ya kami ikut senang semua waganya hidup mapan," pungkasnya. (Selesai)
Baca juga:
Tambang 24 Jam Nonstop, Malam seperti Pasar ( Bagian 1)
Modal Rp1,4 M Bisa Untung Berlipat atau Bangkrut (Bagian 2)
Eko (28) terus mengaduk-aduk lantung yang sedang mendidih. Pekatnya asap yang membuat mata perih dari pembakaran kayu tak dihiraukannya.
Sesekali, dia turun ke bawah membetulkan letak kayu bakar di tungku alam dengan memanfaatkan kemiringan bukit kapur yang dilubangi. Itu dilakukan agar nyala api tetap stabil. "Sekali bakar lantung bisa satu drum atau 200 liter lebih," kata Eko, seraya membetulkan posisi kayu bakar yang menyala-nyala.
Untuk memasak lantung menjadi solar dibutuhkan waktu antara 6 jam hingga 8 jam. "Kalau nyalanya api besar dan stabil bisa lebih cepat," ujarnya.
Sehari paling sedikit bisa membakar satu drum lantung. Hasilnya, sekitar 200 liter solar. Bagitu jadi solar sudah ada tengkulak datang membeli di lokasi pembakaran di sela-sela lokasi penambangan Desa Dangilu-Wonocolo.
Satu drum dihargai Rp750 ribu. Solar tadi oleh tengkulak dibawa ke pengepul, selanjutnya dijual ke Cepu, Blora, Semarang, Solo dan kota besar lainnya. "Keuntungan bersih sehari sekitar Rp200 ribu. Kalau kerja lembur bakar lantung ya untungnya bisa dua kali lipat," tuturnya.
Hal itu, lanjut Eko, sudah dikurangi ongkos produksi seikat besar kayu bakar seharga Rp50 ribu yang dibeli dari warga untuk membakar lantung.
Untuk mendapatkan lantung, dia tidak perlu repot-repot karena ada pemasok lantung dari para penambang di sekitar tempat mereka bekerja. Minimal pembelian lantung satu bul atau satu ton lantung. Kira-kira 1.000 liter lebih. Harganya berkisar Rp2,3 juta. "Pekerjaan ini sudah saya tekuni sejak tiga tahun lalu," akunya.
Eko tak sendirian membakar lantung untuk dijadikan solar. Ada ratusan, bahkan ribuan orang berprofesi seperti Eko sebagai pembakar lantung. Mereka membeli lantung dengan modal sendiri, dibakar untuk dijadikan solar, lalu dijual. Semua dilakukan di lokasi penambangan. "Tengkulak siap menampung berapa pun solar hasil pembakaran," tambahnya.
Tak heran, setiap hari jumlah pembakar lantung terus bertambah. Itu bisa dilihat dari pawon tempat lubang pembakaran satu dengan lainnya sambung menyambung di sepanjang bukit. "Saya juga baru dua bulan pembakar lantung. Hasilnya, lebih banyak daripada berdagang seperti yang saya tekuni selama ini,’’ kata Totok kepada Sindownews di lokasi pembakaran.
Tak heran, di sela-sela para penambang dan pengeboran pasti ada yang membakar lantung. Asap putih sisa pembakaran selalu memenuhi perbukitan kapur Dangilu-Wonocolo. "Seharian di sini (Dangilu-Wonocolo) baju dan badan kita semua pasti bau asap campur minyak," kata Nuryanto, seorang pengawas pengeboran.
Lain lagi pengakuan Suprianto (52). Dia mengaku sudah dua tahun menjadi pekerja di Dangilu. Saat itu dia bekerja di Surabaya mendadak dipanggil adiknya untuk diajak di penambangan. "Katanya gajinya besar. Saya pulang ke Cepu dan bekerja sebagai penambang," kenangnya.
Saat itu, kata Suprianto, gajinya lumayan besar. Dalam bekerja satu kru berjumlah 14 orang dan dibagi dua shif. Malam dan siang secara bergantian. Setiap minggu hasil minyak yang bisa ditambang cukup banyak. Satu sumur rata-rata 20 bul atau 20 ton per pekan. Pekerja bisa mengantongi Rp2 juta setiap minggu. "Saat itu sumurnya sangat produktif," tuturnya.
Namun, kian banyaknya pengeboran sumur baru berdampak pada produktivitas sumur yang ditambang Suprianto. "Minyaknya terus menyusut,’’ akunya.
Akibatnya, jumlah kru penambang dikurangi. Dari satu shif semula 7 pekerja menjadi empat orang. "Kini seminggu paling banter mengantongi Rp 250 ribu. Makanya, kalau pas lagi shif malam, siangnya saya nyambi apa saja. Ya, ngojek, ya dagang,’’ ungkapnya.
Lain lagi cerita Basyir (60), mandor pekerja di sumur 128 D Desa Dangilu. Sejak 10 bulan lalu sumur milik kelompoknya 21 orang diambil alih investor. Sebagai gantinya, Basyir dkk akan mendapat keuntungan 25% dari hasil minyak. "Seminggu rata-rata setiap pekerja mendapat Rp500 ribu," kata Basyir, yang terus mengawasi rekannya bekerja.
Keputusan Basyir bekerja sama dengan investor karena hasil minyak peninggalan Belanda kian tahun hasilnya menurun saat ditambang. Itu seiring makin banyaknya sumur baru. Apalagi, Basyir dkk sudah tidak muda lagi. Untuk menarik tali baja saat menambang sudah ngos-ngosan. Belum lagi hasilnya tidak menentu. "Berat. Makanya, begitu ada investor mengajak kerja sama ya semua teman setuju," ujarnya.
Gaji per minggu Rp500 ribu kalau dibilang cukup ya cukup. Tapi, Basyir mengaku sulit menabung. Lain lagi cerita 30 tahun lampau yang masih menggunakan cara manual saat menambang. Hasilnya seminggu hanya mengantongi Rp32. ‘’Tapi, itu lebih dari cukup. Selain bisa menabung juga mampu menyekolahkan anak-anak. Artinya, gaji Rp500 ribu sekarang dibandingkan dulu Rp32 masih besar dulu. Apalagi, sekarang harga sembako gila-gilaan. Tapi, ya disyukuri saja,’’ akunya.
Apa tidak takut cepat habis, karena sumur ditambang 24 jam nonstop? "Ya, kita pasrah saja. Minyak itu kan punya Gusti Allah. Kalau waktunya habis ya habis saja. Dulu juga banyak yang meramal minyak di sini akan habis tahun sekian. Buktinya, sampai sekarang masih ada," kilahnya.
Soal kerusakan lingkungan yang kian parah akibat penambangan? Basyir menanggapi enteng. "Sebenarnya sayang juga. Tapi, bagaimana lagi. Semua orang juga butuh makan,’’ akunya.
Penambangan di kawasan Dangilu dan Wonocolo telah mengubah kehidupan warga Desa Dangilu. Jika dulu Dangilu merupakan desa tetinggal karena letaknya terpencil dekat hutan jati. Kini, sudah berubah 180 derajat.
Saat Sindonews menyusuri desa berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi penambangan, jalan menuju desa cukup lebar dan dipaving hingga ke pelosok. Jalan bisa untuk persimpangan dua mobil.
Yang tak kalah mengejutkan rumah-rumah warga umumnya permanen, ditembok dan dicat warna warni. Di samping cukup luas, rata-rata setiap rumah ada mobil dan beberapa sepeda motor.
Bahkan, beberapa rumah terparkir truk. Di beberapa sudut jalan desa yang asri ada meja biliar untuk permainan anak-anak desa dan pemudanya. Bahkan dari perabot kursi meja yang ditaruh depan rumah umumnya kayu jati ukiran berharga mahal.
"Dari 3.700 jiwa penduduk desa 75 persennya bekerja di penambangan minyak. Ada yang penambang, pemilik tambang, pembakar lantung, pemborong sampai mandor. 50% berhasil," terang Kepala Desa Dangilu Sudarsono (40), saat ditemui Sindonews di rumahnya.
Ukuran keberhasilan itu secara kasat mata bisa dilihat dari rumah dan kendaraan warga. Umumnya warga memiliki mobil dan beberapa motor. "Sampeyan kan sudah keliling desa. Kan bisa lihat sendiri rumah warga. Jadi, saya tidak perlu cerita lagi," ujarnya.
Bahkan ada pemilik tambang yang mempunyai show room mobil, juga beberapa toko. "Semua itu hasil dari tambang. Sebagai kades, ya kami ikut senang semua waganya hidup mapan," pungkasnya. (Selesai)
Baca juga:
Tambang 24 Jam Nonstop, Malam seperti Pasar ( Bagian 1)
Modal Rp1,4 M Bisa Untung Berlipat atau Bangkrut (Bagian 2)
(dmd)