Membangkitkan Semangat Wirausaha di Masa Purnatugas
A
A
A
Tembang Endahing Katresnan mengalun lembut siang itu di Pedukuhan IV, Kanoman Panjatan, Kulonprogo, Yogyakarta. Dengan iringan musik organ tunggal, lagu campur sari yang disuarakan kelompok Werdo Iromo itu serasa meneduhkan terik di pelataran sebuah rumah beratap joglo.
Endahing Katresnan menjadi jeda ketika puluhan pensiunan PNS mengikuti pelatihan budi daya jamur di rumah Subandi, 63. Para pensiunan tersebut tak lain nasabah PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Persero) Tbk. Siang pekan lalu itu mereka begitu antusias mengikuti pelatihan pengembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Dari slide lebar yang terpasang di teras rumah, Subandi, pensiunan pegawai Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Pemkab Kulonprogo, memaparkan secara runut bagaimana dia memulai usaha budi daya jamur selepas purnatugas pada 2008. Bagi BTPN, pelatihan ini adalah wujud komitmen melayani masyarakat berpenghasilan rendah dan para pelaku UMKM.
Keterlibatan dalam memberdayakan nasabah diyakini menjadi kunci pertumbuhan kinerja bisnis yang prima dan berkesinambungan. ”Model bisnis kami implementasikan dengan mengintegrasikan misi sosial dan bisnis dalam produk dan layanan kegiatan sehari-hari. Kedua misi itulah yang akan tercermin dalam Daya,” kata Regional Governance Head BTPN Purna Bhakti wilayah Jawa Tengah Hari Suseno di sela- sela pelatihan baru-baru ini.
Hari menjelaskan, Daya merupakan program pemberdayaan yang terukur dan berkelanjutan, mencakup tiga pilar program, yakni Daya Sehat, Daya Tumbuh Usaha, dan Daya Tumbuh Komunitas. Program Daya diterapkan pada semua unit bisnis BTPN, yakni BTPN Purna Bakti (unit bisnis yang fokus melayani nasabah pensiunan), BTPN Mitra Usaha Rakyat (unit bisnis yang fokus melayani pelaku usaha mikro dan kecil), BTPN Mitra Bisnis (melayani pelaku usaha menengah), dan BTPN Sinaya (bisnis pendanaan BTPN).
Daya juga diterapkan pada anak usaha BTPN Syariah. Khusus di DIY, penerima manfaat BTPN Purna Bakti saat ini telah mencapai 30.000 orang. Adapun, sepanjang 2014 jumlah nasabah yang mengikuti program Daya sebanyak 1,77 juta orang. Pada kuartal I/2015 ada sekitar 311.000 orang dari komunitas prasejahtera produktif menjadi nasabah BTPN. Subandi memutuskan berbudi daya jamur ketika pensiun dari BKD Kulonprogo.
Menurutnya, usaha itu relatif mudah dan tak membutuhkan biaya besar. Bahkan dengan modal Rp1 juta, siapa pun bisa mengembangkan usaha ini. ”Untuk pensiunan, usaha ini cocok karena tidak butuh tenaga kerja banyak. Tidak perlu mencangkul, atau kepanasan. Sing penting ada banyak air untuk penyiraman,” katanya. Meski demikian, kesabaran dan ketelatenan juga sangat dibutuhkan.
Kegagalan pada awal-awal usaha biasa terjadi. ”Hanya kalau mau serius, ya memang harus ditekuni,” katanya. Subandi yang juga nasabah BTPN dan mengikuti program Daya Tumbuh Usaha mengisahkan, dia berulang kali harus mengganti baglog (media tanam jamur) sebelum menemukan komposisi tepat. Serbuk gergaji yang tercampur solar, misalnya, dapat menjadikan jamur yang tumbuh kelak menjadi beracun.
”Saya belajar sambil jalan saja, istilah Jawa-nya learning by doing,” kata dia berkelakar. Budi daya jamur juga tidak membutuhkan tempat luas. Media tanam jamur bisa diletakkan bersusun di rak yang terbuat dari bambu. Dengan panjang bambu 2 meter dan tinggi 3 meter, satu rak bisa menampung 150 baglog. Antara rak itu terpisah jarak paling tidak 0,5 meter supaya jamur dapat tumbuh sempurna. Usaha yang ditekuni sejak 2008 itu terbukti membuahkan hasil.
Julira, nama usahanya, telah dikenal luas. Jamur produksi Subandi juga menyebar di pasar mulai Yogyakarta hingga Jawa Tengah. Tiap bulan kini dia memiliki omzet Rp18 juta dengan keuntungan bersih 25%. Keberhasilan Subandi mengilhami Mujiyanto. Peserta pelatihan itu mengaku akan mencoba mengembangkan budi daya jamur tiram setelah menilik terbukanya pasar komoditas itu.
”Saya lihat permintaan jamur di pasar Yogya dan sekitarnya cukup tinggi. Terlebih saya dulu juga pernah menjajalnya, meski kemudian berhenti,” kata pensiunan pegawai protokoler Pemprov DIY ini.
ZEN TEGUH/KUNTADI
Kulonprogo
Endahing Katresnan menjadi jeda ketika puluhan pensiunan PNS mengikuti pelatihan budi daya jamur di rumah Subandi, 63. Para pensiunan tersebut tak lain nasabah PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Persero) Tbk. Siang pekan lalu itu mereka begitu antusias mengikuti pelatihan pengembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Dari slide lebar yang terpasang di teras rumah, Subandi, pensiunan pegawai Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Pemkab Kulonprogo, memaparkan secara runut bagaimana dia memulai usaha budi daya jamur selepas purnatugas pada 2008. Bagi BTPN, pelatihan ini adalah wujud komitmen melayani masyarakat berpenghasilan rendah dan para pelaku UMKM.
Keterlibatan dalam memberdayakan nasabah diyakini menjadi kunci pertumbuhan kinerja bisnis yang prima dan berkesinambungan. ”Model bisnis kami implementasikan dengan mengintegrasikan misi sosial dan bisnis dalam produk dan layanan kegiatan sehari-hari. Kedua misi itulah yang akan tercermin dalam Daya,” kata Regional Governance Head BTPN Purna Bhakti wilayah Jawa Tengah Hari Suseno di sela- sela pelatihan baru-baru ini.
Hari menjelaskan, Daya merupakan program pemberdayaan yang terukur dan berkelanjutan, mencakup tiga pilar program, yakni Daya Sehat, Daya Tumbuh Usaha, dan Daya Tumbuh Komunitas. Program Daya diterapkan pada semua unit bisnis BTPN, yakni BTPN Purna Bakti (unit bisnis yang fokus melayani nasabah pensiunan), BTPN Mitra Usaha Rakyat (unit bisnis yang fokus melayani pelaku usaha mikro dan kecil), BTPN Mitra Bisnis (melayani pelaku usaha menengah), dan BTPN Sinaya (bisnis pendanaan BTPN).
Daya juga diterapkan pada anak usaha BTPN Syariah. Khusus di DIY, penerima manfaat BTPN Purna Bakti saat ini telah mencapai 30.000 orang. Adapun, sepanjang 2014 jumlah nasabah yang mengikuti program Daya sebanyak 1,77 juta orang. Pada kuartal I/2015 ada sekitar 311.000 orang dari komunitas prasejahtera produktif menjadi nasabah BTPN. Subandi memutuskan berbudi daya jamur ketika pensiun dari BKD Kulonprogo.
Menurutnya, usaha itu relatif mudah dan tak membutuhkan biaya besar. Bahkan dengan modal Rp1 juta, siapa pun bisa mengembangkan usaha ini. ”Untuk pensiunan, usaha ini cocok karena tidak butuh tenaga kerja banyak. Tidak perlu mencangkul, atau kepanasan. Sing penting ada banyak air untuk penyiraman,” katanya. Meski demikian, kesabaran dan ketelatenan juga sangat dibutuhkan.
Kegagalan pada awal-awal usaha biasa terjadi. ”Hanya kalau mau serius, ya memang harus ditekuni,” katanya. Subandi yang juga nasabah BTPN dan mengikuti program Daya Tumbuh Usaha mengisahkan, dia berulang kali harus mengganti baglog (media tanam jamur) sebelum menemukan komposisi tepat. Serbuk gergaji yang tercampur solar, misalnya, dapat menjadikan jamur yang tumbuh kelak menjadi beracun.
”Saya belajar sambil jalan saja, istilah Jawa-nya learning by doing,” kata dia berkelakar. Budi daya jamur juga tidak membutuhkan tempat luas. Media tanam jamur bisa diletakkan bersusun di rak yang terbuat dari bambu. Dengan panjang bambu 2 meter dan tinggi 3 meter, satu rak bisa menampung 150 baglog. Antara rak itu terpisah jarak paling tidak 0,5 meter supaya jamur dapat tumbuh sempurna. Usaha yang ditekuni sejak 2008 itu terbukti membuahkan hasil.
Julira, nama usahanya, telah dikenal luas. Jamur produksi Subandi juga menyebar di pasar mulai Yogyakarta hingga Jawa Tengah. Tiap bulan kini dia memiliki omzet Rp18 juta dengan keuntungan bersih 25%. Keberhasilan Subandi mengilhami Mujiyanto. Peserta pelatihan itu mengaku akan mencoba mengembangkan budi daya jamur tiram setelah menilik terbukanya pasar komoditas itu.
”Saya lihat permintaan jamur di pasar Yogya dan sekitarnya cukup tinggi. Terlebih saya dulu juga pernah menjajalnya, meski kemudian berhenti,” kata pensiunan pegawai protokoler Pemprov DIY ini.
ZEN TEGUH/KUNTADI
Kulonprogo
(bbg)