Core: Tak Ada Sinyal Rupiah Balik Menguat
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Core Indonesia Hendri Saparini mengaku sejauh ini tidak melihat ada sinyal nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) balik menguat.
Tidak ada faktor yang bisa membuatnya kembali optimis terhadap nilai tukar rupiah. Dia mengungkapkan, saat ini rupiah hanya dikendalikan faktor supply dan demand. Sementara, struktur ekspor impor serta sektor riil belum menunjukkan adanya perbaikan yang dapat menyokong pulihnya rupiah. (Baca: USD Stabil, Rupiah Dibuka Mendatar)
"Jadi, kalau kemarin itu pernah pertumbuhan impornya melambat, berarti kan kebutuhannya menurun, pembayaran utang kebetulan menguat sedikit. Begitu semua itu pas jadwal untuk mengimpor, pas jadwal bayar utang rupiah melemah lagi. Jadi lebih kepada supply demand yang sifatnya lebih ke pasar. Tetapi bukan karena struktur. Kita lemah di situ," katanya di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (27/7/2015).
Menurutnya, jika struktur ekonomi Indonesia sudah lebih kokoh, maka penguatan rupiah dimungkinkan bisa lebih berkelanjutan (sustainable). "Ini yang kita harap kepada pemerintah untuk memberikan sinyal bahwa akan ada perbaikan struktur ekonomi. Kalau sekarang, misalnya waduh harga minyak begini, berarti nanti rupiah begini. Tidak ada harapan jangka menengah bahwa ini (rupiah) akan menguat," imbuh dia.
Apalagi, sambung Hendri, perkiraan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2016 terhadap nilai tukar rupiah berada di angka Rp13.500/USD. Artinya, tidak ada hal yang bisa diharapkan dari pemerintah terhadap penguatan mata uang garuda tersebut.
"Memang kita berharap ada hal yang segera disampaikan pemerintah, sehingga kita ada perbaikan struktur yang lebih baik," pungkasnya.
Sekadar mengingatkan, sepanjang pekan kemarin nilai tukar rupiah terhadap mata uang negeri Paman Sam tersebut terus terpuruk. Rupiah pada awal perdagangan pascalebaran hingga menyentuh angka Rp13.400/USD.
Baca:
Sepi Sentimen Positif, Rupiah Diprediksi Koreksi
Rupiah Akhir Pekan Ditutup Terhempas
Tidak ada faktor yang bisa membuatnya kembali optimis terhadap nilai tukar rupiah. Dia mengungkapkan, saat ini rupiah hanya dikendalikan faktor supply dan demand. Sementara, struktur ekspor impor serta sektor riil belum menunjukkan adanya perbaikan yang dapat menyokong pulihnya rupiah. (Baca: USD Stabil, Rupiah Dibuka Mendatar)
"Jadi, kalau kemarin itu pernah pertumbuhan impornya melambat, berarti kan kebutuhannya menurun, pembayaran utang kebetulan menguat sedikit. Begitu semua itu pas jadwal untuk mengimpor, pas jadwal bayar utang rupiah melemah lagi. Jadi lebih kepada supply demand yang sifatnya lebih ke pasar. Tetapi bukan karena struktur. Kita lemah di situ," katanya di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (27/7/2015).
Menurutnya, jika struktur ekonomi Indonesia sudah lebih kokoh, maka penguatan rupiah dimungkinkan bisa lebih berkelanjutan (sustainable). "Ini yang kita harap kepada pemerintah untuk memberikan sinyal bahwa akan ada perbaikan struktur ekonomi. Kalau sekarang, misalnya waduh harga minyak begini, berarti nanti rupiah begini. Tidak ada harapan jangka menengah bahwa ini (rupiah) akan menguat," imbuh dia.
Apalagi, sambung Hendri, perkiraan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2016 terhadap nilai tukar rupiah berada di angka Rp13.500/USD. Artinya, tidak ada hal yang bisa diharapkan dari pemerintah terhadap penguatan mata uang garuda tersebut.
"Memang kita berharap ada hal yang segera disampaikan pemerintah, sehingga kita ada perbaikan struktur yang lebih baik," pungkasnya.
Sekadar mengingatkan, sepanjang pekan kemarin nilai tukar rupiah terhadap mata uang negeri Paman Sam tersebut terus terpuruk. Rupiah pada awal perdagangan pascalebaran hingga menyentuh angka Rp13.400/USD.
Baca:
Sepi Sentimen Positif, Rupiah Diprediksi Koreksi
Rupiah Akhir Pekan Ditutup Terhempas
(izz)