Menyongsong RUU Tapera
A
A
A
Pada 25 Juni lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang- Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebagai RUU prioritas untuk dibahas pada 2015.
Faktor apa saja yang layak untuk dipertimbangkan? RUU Tapera itu bertujuan memberikan rumah yang layak huni bagi pekerja swasta dan mandiri (wiraswasta). Kini, kekurangan pasokan rumah (backlog ) diperkirakan mencapai 13,5 juta unit rumah. Dengan asumsi setiap tahun ditargetkan dapat membangun sejuta unit rumah saja, backlog itu baru akan habis selama 13-14 tahun.
Hal itu belum mempertimbangkan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai 1,49% pada 2010. Artinya, angkatan kerja akan semakin bertambah banyak yang membutuhkan rumah. Terdapat beberapa poin penting dalam RUU Tapera. Semua pekerja baik yang bekerja mandiri maupun bekerja dalam sebuah perusahaan wajib menjadi peserta Tapera.
Syarat untuk menjadi peserta Tapera adalah pekerja yang telah memiliki penghasilan di atas upah minimum, berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah pada saat pendaftaran. Peserta Tapera wajib membayar iuran 3%. Iuran tersebut ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
Pekerja membayar iuran 2,5% dan pemberi kerja 0,5% (Harian Kontan , 26 Juni 2015). Lantas, faktor apa saja yang patut dipertimbangkan dalam mewujudkan mimpi indah itu? Pertama , pertumbuhan ekonomi. Mengapa dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi? Lantaran iuran Tapera akan membebani, baik pekerja maupun pemberi kerja.
Saat ini, pemberi kerja (perusahaan) telah dibebani dengan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk pekerja di BUMN, BUMD dan swasta 4,5% dari upah per bulan dengan ketentuan 4% dibayar oleh pemberi kerja dan 0,5% oleh pekerja.
Selain itu, ada iuran BPJS Ketenagakerjaan berupa jaminan. Sebut saja, Jaminan Hari Tua 3,7% dari upah pekerja per bulan ditanggung oleh perusahaan dan 2% ditanggung oleh pekerja. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang dibayar pengusaha berkisar antara 0,24% dan 1,74% sesuai dengan jenis usaha.
Jaminan Kematian yang ditanggung pengusaha 0,3% dengan jaminan kematian yang diberikan Rp21 juta. Jaminan paling anyar adalah Jaminan Pensiun yang masih menunggu keputusan presiden. Kementerian Ketenagakerjaan mengusulkan 8% yang meliputi 5% ditanggung pengusaha dan 3% pekerja (ibid ).
Tegasnya, kelak iuran Tapera dapat diberlakukan apabila pertumbuhan ekonomi lebih subur sehingga tak terlalu membebani perusahaan. Hal ini penting mengingat saat ini pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,71% per kuartal I/2015 lebih rendah daripada 5,14% periode sama 2014.
Ini perlu menjadi pertimbangan matang mengingat banyak perusahaan sedang mengalami penurunan usaha. Kalau iuran itu dipaksakan segera berlaku, hal itu justru akan menciptakan kontra produktif. Kedua , pengawasan iuran Tapera. Jangan lupa kelak iuran Tapera akan mencapai triliunan rupiah setiap tahun.
Lalu, siapa yang berwenang untuk mengelola? Apakah RUU akan menitahkan pemerintah untuk membentuk badan khusus? Pengelolaan iuran Tapera lebih baik diserahkan kepada Bank Tabungan Negara (BTN) yang sudah memiliki pengalaman panjang dan kompetensi tinggi dalam mengelola dana masyarakat.
Opsi itu lebih masuk akal daripada membentuk badan khusus. Namun, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pengelolaan iuran tersebut. Ketiga , peluang dan tantangan bagi bank nasional.
RUU Tapera itu sesungguhnya merupakan peluang, sekaligus tantangan bagi bank nasional untuk mengucurkan kredit pemilikan rumah (KPR). Dengan bahasa lebih bening, kucuran KPR tidak semata-mata diserahkan kepada BTN sebagai bank pemerintah yang fokus membiayai KPR.
Oleh karena itu, uang muka (down payment ) 5% untuk rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebaiknya diperluas. Artinya, fasilitas itu bukan hanya di BTN, juga di bank nasional lainnya.
Menerapkan Manajemen Risiko
Keempat , mengundang peran serta perusahaan pembiayaan (multifinance ). Sudah semestinya, pemerintah juga mengundang perusahaan pembiayaan untuk berperan aktif dalam membiayai KPR. Sejauh ini beberapa perusahaan pembiayaan seperti MNC Finance, Finansia Multifinance, Ciptadana Multifinance, Indomobil Multifinance, dan Buana Finance telah menggarap KPR.
Satu hal yang layak dipertimbangkan oleh perusahaan pembiayaan adalah wajib menerapkan manajemen risiko kredit dengan benar dan baik. Mengapa? Itu karena selama ini perusahaan pembiayaan hanya membiayai bisnis dengan tenor jangka pendek, sedangkan KPR merupakan pembiayaan jangka panjang. Semakin panjang tenor, maka akan semakin tinggi pula potensi risikonya.
Apalagi perusahaan pembiayaan rata-rata belum memiliki pengalaman cukup memadai dalam pembiayaan KPR. Kelima , mengajak PT Sarana Multigriya Financial (Persero) (SMF). Apa misi SMF? Misi SMF adalah mengalirkan dana dari pasar modal ke penyalur KPR.
Hal ini bertujuan menambah percepatan volume KPR di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perumahan sehingga terjangkau masyarakat, terutama menengah ke bawah. Pengalihan dana tersebut dilakukan dengan dua cara.
Pertama, memfasilitasi program sekuritisasi bagi penyalur KPR. Kedua, menyediakan fasilitas pembiayaan kepada penyalur KPR dengan sumber dana dari penerbitan surat utang.
Tentu saja, kedua program itu layak dimanfaatkan bank nasional papan menengah ke bawah dan perusahaan pembiayaan.
Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI & Alumnus MM-UGM
Faktor apa saja yang layak untuk dipertimbangkan? RUU Tapera itu bertujuan memberikan rumah yang layak huni bagi pekerja swasta dan mandiri (wiraswasta). Kini, kekurangan pasokan rumah (backlog ) diperkirakan mencapai 13,5 juta unit rumah. Dengan asumsi setiap tahun ditargetkan dapat membangun sejuta unit rumah saja, backlog itu baru akan habis selama 13-14 tahun.
Hal itu belum mempertimbangkan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai 1,49% pada 2010. Artinya, angkatan kerja akan semakin bertambah banyak yang membutuhkan rumah. Terdapat beberapa poin penting dalam RUU Tapera. Semua pekerja baik yang bekerja mandiri maupun bekerja dalam sebuah perusahaan wajib menjadi peserta Tapera.
Syarat untuk menjadi peserta Tapera adalah pekerja yang telah memiliki penghasilan di atas upah minimum, berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah pada saat pendaftaran. Peserta Tapera wajib membayar iuran 3%. Iuran tersebut ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
Pekerja membayar iuran 2,5% dan pemberi kerja 0,5% (Harian Kontan , 26 Juni 2015). Lantas, faktor apa saja yang patut dipertimbangkan dalam mewujudkan mimpi indah itu? Pertama , pertumbuhan ekonomi. Mengapa dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi? Lantaran iuran Tapera akan membebani, baik pekerja maupun pemberi kerja.
Saat ini, pemberi kerja (perusahaan) telah dibebani dengan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk pekerja di BUMN, BUMD dan swasta 4,5% dari upah per bulan dengan ketentuan 4% dibayar oleh pemberi kerja dan 0,5% oleh pekerja.
Selain itu, ada iuran BPJS Ketenagakerjaan berupa jaminan. Sebut saja, Jaminan Hari Tua 3,7% dari upah pekerja per bulan ditanggung oleh perusahaan dan 2% ditanggung oleh pekerja. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang dibayar pengusaha berkisar antara 0,24% dan 1,74% sesuai dengan jenis usaha.
Jaminan Kematian yang ditanggung pengusaha 0,3% dengan jaminan kematian yang diberikan Rp21 juta. Jaminan paling anyar adalah Jaminan Pensiun yang masih menunggu keputusan presiden. Kementerian Ketenagakerjaan mengusulkan 8% yang meliputi 5% ditanggung pengusaha dan 3% pekerja (ibid ).
Tegasnya, kelak iuran Tapera dapat diberlakukan apabila pertumbuhan ekonomi lebih subur sehingga tak terlalu membebani perusahaan. Hal ini penting mengingat saat ini pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,71% per kuartal I/2015 lebih rendah daripada 5,14% periode sama 2014.
Ini perlu menjadi pertimbangan matang mengingat banyak perusahaan sedang mengalami penurunan usaha. Kalau iuran itu dipaksakan segera berlaku, hal itu justru akan menciptakan kontra produktif. Kedua , pengawasan iuran Tapera. Jangan lupa kelak iuran Tapera akan mencapai triliunan rupiah setiap tahun.
Lalu, siapa yang berwenang untuk mengelola? Apakah RUU akan menitahkan pemerintah untuk membentuk badan khusus? Pengelolaan iuran Tapera lebih baik diserahkan kepada Bank Tabungan Negara (BTN) yang sudah memiliki pengalaman panjang dan kompetensi tinggi dalam mengelola dana masyarakat.
Opsi itu lebih masuk akal daripada membentuk badan khusus. Namun, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pengelolaan iuran tersebut. Ketiga , peluang dan tantangan bagi bank nasional.
RUU Tapera itu sesungguhnya merupakan peluang, sekaligus tantangan bagi bank nasional untuk mengucurkan kredit pemilikan rumah (KPR). Dengan bahasa lebih bening, kucuran KPR tidak semata-mata diserahkan kepada BTN sebagai bank pemerintah yang fokus membiayai KPR.
Oleh karena itu, uang muka (down payment ) 5% untuk rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebaiknya diperluas. Artinya, fasilitas itu bukan hanya di BTN, juga di bank nasional lainnya.
Menerapkan Manajemen Risiko
Keempat , mengundang peran serta perusahaan pembiayaan (multifinance ). Sudah semestinya, pemerintah juga mengundang perusahaan pembiayaan untuk berperan aktif dalam membiayai KPR. Sejauh ini beberapa perusahaan pembiayaan seperti MNC Finance, Finansia Multifinance, Ciptadana Multifinance, Indomobil Multifinance, dan Buana Finance telah menggarap KPR.
Satu hal yang layak dipertimbangkan oleh perusahaan pembiayaan adalah wajib menerapkan manajemen risiko kredit dengan benar dan baik. Mengapa? Itu karena selama ini perusahaan pembiayaan hanya membiayai bisnis dengan tenor jangka pendek, sedangkan KPR merupakan pembiayaan jangka panjang. Semakin panjang tenor, maka akan semakin tinggi pula potensi risikonya.
Apalagi perusahaan pembiayaan rata-rata belum memiliki pengalaman cukup memadai dalam pembiayaan KPR. Kelima , mengajak PT Sarana Multigriya Financial (Persero) (SMF). Apa misi SMF? Misi SMF adalah mengalirkan dana dari pasar modal ke penyalur KPR.
Hal ini bertujuan menambah percepatan volume KPR di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perumahan sehingga terjangkau masyarakat, terutama menengah ke bawah. Pengalihan dana tersebut dilakukan dengan dua cara.
Pertama, memfasilitasi program sekuritisasi bagi penyalur KPR. Kedua, menyediakan fasilitas pembiayaan kepada penyalur KPR dengan sumber dana dari penerbitan surat utang.
Tentu saja, kedua program itu layak dimanfaatkan bank nasional papan menengah ke bawah dan perusahaan pembiayaan.
Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI & Alumnus MM-UGM
(ars)