Pembangunan PLTN Harus Dikonsultasikan ke Publik
A
A
A
JAKARTA - Gagasan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia sudah sepatutnya dikonsultasikan kepada publik, dengan proses yang tertata berjenjang, terencana, dan transparan.
Pemerintah disarankan tidak menggunakan strategi public relation semata dengan menggunakan anggaran APBN, untuk memaksakan penerimaan PLTN oleh masyarakat.
"Masyarakat perlu mendapatkan penjelasan faktual, akurat, dan berimbang tentang risiko-risiko teknologi PLTN, kesempatan untuk menyatakan pendapat dan pandangan terkait dengan penerimaan PLTN, dan dialog yang berbasis pada kaidah keilmuan (scientific) sebelum pemerintah memutuskan 'go or not go nuclear'," ujar Guru Besar Teknik Energi Universitas Kristen Indonesia (UKI) Atmonobudi Soebagio di Jakarta, Selasa (18/8/2015).
Dia mengkritik praktik-praktik Kementerian ESDM dan BATAN yang mengedepankan cara-cara public relation. Karena menggunakan media massa untuk menyampaikan pesan bahwa pemerintah siap membangun PLTN dan masyarakat telah setuju.
"Padahal, selama ini tidak ada proses terbuka dan transparan dalam menjaring pendapat dan pandangan publik. Tetapi pemerintah seakan-akan sudah membuat keputusan membangun teknologi yang berisiko besar ini," katanya.
Atmonobudi juga mengingatkan, bahwa sesuai PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, PLTN adalah pilihan terakhir. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa pemerintah harus mengerahkan seluruh upaya untuk memanfaatkan potensi energi fossil dan energi terbarukan yang pesat, khususnya sebelum membangun PLTN.
"Perkembangan teknologi energi terbarukan yang pesat, khususnya teknologi solar cell, biofuel, dan teknologi berbasis energi laut, akan membuat teknologi PLTN yang saat ini ada menjadi pilihan yang semakin tidak kompetitif di masa depan," tandasnya.
Pemerintah disarankan tidak menggunakan strategi public relation semata dengan menggunakan anggaran APBN, untuk memaksakan penerimaan PLTN oleh masyarakat.
"Masyarakat perlu mendapatkan penjelasan faktual, akurat, dan berimbang tentang risiko-risiko teknologi PLTN, kesempatan untuk menyatakan pendapat dan pandangan terkait dengan penerimaan PLTN, dan dialog yang berbasis pada kaidah keilmuan (scientific) sebelum pemerintah memutuskan 'go or not go nuclear'," ujar Guru Besar Teknik Energi Universitas Kristen Indonesia (UKI) Atmonobudi Soebagio di Jakarta, Selasa (18/8/2015).
Dia mengkritik praktik-praktik Kementerian ESDM dan BATAN yang mengedepankan cara-cara public relation. Karena menggunakan media massa untuk menyampaikan pesan bahwa pemerintah siap membangun PLTN dan masyarakat telah setuju.
"Padahal, selama ini tidak ada proses terbuka dan transparan dalam menjaring pendapat dan pandangan publik. Tetapi pemerintah seakan-akan sudah membuat keputusan membangun teknologi yang berisiko besar ini," katanya.
Atmonobudi juga mengingatkan, bahwa sesuai PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, PLTN adalah pilihan terakhir. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa pemerintah harus mengerahkan seluruh upaya untuk memanfaatkan potensi energi fossil dan energi terbarukan yang pesat, khususnya sebelum membangun PLTN.
"Perkembangan teknologi energi terbarukan yang pesat, khususnya teknologi solar cell, biofuel, dan teknologi berbasis energi laut, akan membuat teknologi PLTN yang saat ini ada menjadi pilihan yang semakin tidak kompetitif di masa depan," tandasnya.
(izz)