OJK Pantau Dampak Rupiah terhadap Kredit Perbankan
A
A
A
JAKARTA - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nelson Tampubolon menyatakan, pihaknya masih terus memantau dampak pelemahan rupiah terhadap rasio kredit bermasalah bank (non-performing loan/NPL). Otoritas optimistis industri perbankan masih mampu menahan gejolak nilai tukar baik secara langsung dalam kredit valas ataupun lesunya perekonomian nasional.
"Kita akan terus monitor dampaknya ke NPL perbankan dan dampak lainnya juga. Tapi saya masih yakin, bank nasional masih cukup kuat menghadapi kurs seperti sekarang," ujar Nelson, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/8/2015).
Dia menjelaskan untuk dampak risiko terhadap bank bank BUKU 1 atau 2 masih dinilai tidak signifikan. Karena bank segmen tersebut masih memiliki eksposur valas yang kecil sehingga dampaknya tidak terlalu berisiko bagi industri bank nasional. Posisi NPL gross per Juni masih di level 2,46% dan 1,25% untuk NPL net.
"Jadi kami masih yakin akan ada dibawah 3% hingga akhir tahun, kecuali ekonomi makro kita merosot sangat dalam. Pasti NPL Perbankan terpengaruh lebih besar. Sedangkan bank kecil, umumnya bukan bank devisa. Kalaupun sudah jadi bank devisa, umumnya tidak punya exposure valas yang besar. Jadi menurut saya tidak terlalu banyak pengaruh," katanya.
Ketua DK OJK Muliaman D Hadad menambahkan kondisi kesehatan perbankan masih dalam level yang baik. Namun, justru tekanan utama bank bukan datang dari risiko pasar dalam hal fluktuasi harga saham dan valas. Tetapi dari risiko pelemahan pertumbuhan ekonomi yang dapat memperburuk NPL.
"Selama ini NPL masih relatif rendah sekitar 2% gross dan sekitar 1% net. Bahayanya datang dari pertumbuhan ekonomi yang melemah sehingga debitur tidak mampu mengembalikan pinjamannya," ujar Muliaman.
Sebelumnya Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyatakan akan mengambil strategi moneter dengan membatasi pembelian valuta asing (valas) menjadi USD25 ribu dari USD100 ribu untuk transaksi tanpa underlying atau keperluan tertentu."Yang dibatasi transaksi tanpa underlying, yang tidak ada keperluan apa-apa. Misalnya beli untuk tabungan itu tidak ada 'underlying'-nya, beli dollar untuk disimpan, itu yang tidak boleh," ujar Mirza, pekan lalu.
Dia menuturkan untuk transaksi dengan underlying seperti mengimpor barang dan membayar utang luar negeri, tidak akan diberlakukan pembatasan. Kebijakan pembatasan pembelian valas transaksi tanpa underlying tersebut, ujar dia, dilakukan karena BI melihat terdapat kelebihan likuiditas di jangka pendek yang ada dalam situasi ekonomi yang sedang melemah seperti sekarang.
Kelebihan likuiditas itu, menurut dia, tidak akan digunakan dalam kegiatan ekonomi riil karena ekonomi yang melambat, melainkan akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat spekulatif. "Itulah mengapa BI kemarin di rapat Dewan Gubernur ada perubahan dalam strategi operasi moneter, kita tidak mengubah suku bunga tapi ada perubahan strategi moneter," tuturnya.
Mirza menuturkan perubahan strategi moneter itu dilakukan untuk menggeser likuiditas di sistem keuangan yang kini agak menumpuk di overnight atau pergerakan suku bunga semalam sehingga perlu digeser agar likuiditas pas. Sementara peraturan pembatasan tersebut, diterbitkan satu hingga dua hari ke depan. "Sangat segera, saya kira dalam satu hingga dua hari ini akan diterbitkan ya aturan tentang itu," tandasnya.
Baca juga:
BI Harus Kerek Suku Bunga Jika Rupiah Kian Ambruk
Fluktuasi Rupiah Berlanjut di Kuartal III
"Kita akan terus monitor dampaknya ke NPL perbankan dan dampak lainnya juga. Tapi saya masih yakin, bank nasional masih cukup kuat menghadapi kurs seperti sekarang," ujar Nelson, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/8/2015).
Dia menjelaskan untuk dampak risiko terhadap bank bank BUKU 1 atau 2 masih dinilai tidak signifikan. Karena bank segmen tersebut masih memiliki eksposur valas yang kecil sehingga dampaknya tidak terlalu berisiko bagi industri bank nasional. Posisi NPL gross per Juni masih di level 2,46% dan 1,25% untuk NPL net.
"Jadi kami masih yakin akan ada dibawah 3% hingga akhir tahun, kecuali ekonomi makro kita merosot sangat dalam. Pasti NPL Perbankan terpengaruh lebih besar. Sedangkan bank kecil, umumnya bukan bank devisa. Kalaupun sudah jadi bank devisa, umumnya tidak punya exposure valas yang besar. Jadi menurut saya tidak terlalu banyak pengaruh," katanya.
Ketua DK OJK Muliaman D Hadad menambahkan kondisi kesehatan perbankan masih dalam level yang baik. Namun, justru tekanan utama bank bukan datang dari risiko pasar dalam hal fluktuasi harga saham dan valas. Tetapi dari risiko pelemahan pertumbuhan ekonomi yang dapat memperburuk NPL.
"Selama ini NPL masih relatif rendah sekitar 2% gross dan sekitar 1% net. Bahayanya datang dari pertumbuhan ekonomi yang melemah sehingga debitur tidak mampu mengembalikan pinjamannya," ujar Muliaman.
Sebelumnya Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyatakan akan mengambil strategi moneter dengan membatasi pembelian valuta asing (valas) menjadi USD25 ribu dari USD100 ribu untuk transaksi tanpa underlying atau keperluan tertentu."Yang dibatasi transaksi tanpa underlying, yang tidak ada keperluan apa-apa. Misalnya beli untuk tabungan itu tidak ada 'underlying'-nya, beli dollar untuk disimpan, itu yang tidak boleh," ujar Mirza, pekan lalu.
Dia menuturkan untuk transaksi dengan underlying seperti mengimpor barang dan membayar utang luar negeri, tidak akan diberlakukan pembatasan. Kebijakan pembatasan pembelian valas transaksi tanpa underlying tersebut, ujar dia, dilakukan karena BI melihat terdapat kelebihan likuiditas di jangka pendek yang ada dalam situasi ekonomi yang sedang melemah seperti sekarang.
Kelebihan likuiditas itu, menurut dia, tidak akan digunakan dalam kegiatan ekonomi riil karena ekonomi yang melambat, melainkan akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat spekulatif. "Itulah mengapa BI kemarin di rapat Dewan Gubernur ada perubahan dalam strategi operasi moneter, kita tidak mengubah suku bunga tapi ada perubahan strategi moneter," tuturnya.
Mirza menuturkan perubahan strategi moneter itu dilakukan untuk menggeser likuiditas di sistem keuangan yang kini agak menumpuk di overnight atau pergerakan suku bunga semalam sehingga perlu digeser agar likuiditas pas. Sementara peraturan pembatasan tersebut, diterbitkan satu hingga dua hari ke depan. "Sangat segera, saya kira dalam satu hingga dua hari ini akan diterbitkan ya aturan tentang itu," tandasnya.
Baca juga:
BI Harus Kerek Suku Bunga Jika Rupiah Kian Ambruk
Fluktuasi Rupiah Berlanjut di Kuartal III
(dmd)