Menperin Genjot Pembangunan Smelter Nikel di Morowali
A
A
A
MOROWALI - Proyek pembangunan smelter nikel tahap kedua di Morowali, Sulawesi Tengah terus dipacu setelah tahap pertama diresmikan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), pada Mei 2015. Guna mempercepat tahapan pembangunan smelter, Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengajak Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Sudirman Said mengunjungi proyek tersebut.
"Saya sengaja mengajak Pak Menteri ESDM untuk melihat langsung dan bertemu dengan manajemen PT Sulawesi Mining Investment. Apa yang SMI butuhkan, kita upayakan penuhi dan bantu agar cepat selesai dan berproduksi. Jadi ini langkah koordinasi yang konkret dan berorientasi solusi yang efektif," kata Menperin di Morowali, Minggu (23/8/2015).
Smelter tersebut dimiliki SMI yang merupakan perusahaan patungan antara Bintang Delapan Group dengan perusahaan asal China, Tsingshan Group.
Proyek raksasa ini menggarap industri hulu hingga hilir. Berawal dari tambang nikel, lantas dibangun smelter yang memproduksi bahan setengah jadi berupa pig iron dan nantinya bakal memproduksi produk stainless steel. "Ini merupakan industri mineral mulai dari bijih nikel atau ore sampai stainless steel pertama di Indonesia. Ke depan akan terus dikembangkan sampai produk akhir," tegas Memperin.
Investasi smelter nikel tahap I sebesar USD635,57 juta. Kapasitas produksi 300 ribu ton per tahun dan didukung oleh PLTU dengan kapasitas 2x65 MW. "Sekarang sudah masuk ke pembangunan smelter tahap II yang diharapkan selesai Desember tahun ini," ujar Menperin.
Berkapasitas 600 ribu ton, nilai investasinya sebesar USD1,04 miliar dan didukung PLTU sebesar 2x150 MW.
Selanjutnya, pembangunan pabrik tahap ke-3 akan ditargetkan memiliki kapasitas 300.000 ton dan dukungan PLTU sebesar 300 MW, yang rencananya selesai pada akhir tahun 2017 dengan nilai investasi sebesar USD 820 juta. Sehingga secara total, keseluruhan kapasitas. produksi pig iron akan mencapai 1,2 juta ton per tahun dengan didukung PLTU sebesar 730 MW.
Kedepannya, dengan proyeksi terbangunnya Pabrik Stainless Steel berkapasitas 2 juta mtpa (million tons per annum) di tahun 2019 dan berkembangnya industri-industri hilir lainnya, maka diperkirakan di Kawasan Industri Morowali Tsingshan ini akan terserap sekitar 80.000 tenaga kerja.
"Artinya jelas, hilirisasi menciptakan dan menjaga nilai tambah tetap berada di dalam negeri. Kalau kita ekspor bahan mentah, ya yang menikmati nilai tambah justru luar negeri," terang Menperin.
Menurutnya, proyek smelter dan kawasan industri Morowali ini berperan menumbuhkan ekonomi daerah, selain pemasukan bagi devisa ke kas negara.
Menperin merinci penghitungan nilai tambah dari nikel yang masih berupa bahan mentah (ore) seharga USD30 per metrik ton. Jika diolah menjadi bahan setengah jadi atau pig iron maka nilai jualnya melejit 40 kali menjadi USD 1.300 per metrik ton.
"Nah kalau sudah menjadi stainless steel harganya USD2.800 per metrik ton.Berapa kali lipat jika dibanding hanya berupa bahan mentah? 70 kali!" paparnya.
Kedua menteri Kabinet Kerja itu juga mengapresiasi aktivitas tambang nikel karena telah melakukan pelaksanaan pascatambang berupa penataan ulang dan menanam pepohonan.
Baca: OJK Pantau Dampak Rupiah terhadap Kredit Perbankan
"Saya sengaja mengajak Pak Menteri ESDM untuk melihat langsung dan bertemu dengan manajemen PT Sulawesi Mining Investment. Apa yang SMI butuhkan, kita upayakan penuhi dan bantu agar cepat selesai dan berproduksi. Jadi ini langkah koordinasi yang konkret dan berorientasi solusi yang efektif," kata Menperin di Morowali, Minggu (23/8/2015).
Smelter tersebut dimiliki SMI yang merupakan perusahaan patungan antara Bintang Delapan Group dengan perusahaan asal China, Tsingshan Group.
Proyek raksasa ini menggarap industri hulu hingga hilir. Berawal dari tambang nikel, lantas dibangun smelter yang memproduksi bahan setengah jadi berupa pig iron dan nantinya bakal memproduksi produk stainless steel. "Ini merupakan industri mineral mulai dari bijih nikel atau ore sampai stainless steel pertama di Indonesia. Ke depan akan terus dikembangkan sampai produk akhir," tegas Memperin.
Investasi smelter nikel tahap I sebesar USD635,57 juta. Kapasitas produksi 300 ribu ton per tahun dan didukung oleh PLTU dengan kapasitas 2x65 MW. "Sekarang sudah masuk ke pembangunan smelter tahap II yang diharapkan selesai Desember tahun ini," ujar Menperin.
Berkapasitas 600 ribu ton, nilai investasinya sebesar USD1,04 miliar dan didukung PLTU sebesar 2x150 MW.
Selanjutnya, pembangunan pabrik tahap ke-3 akan ditargetkan memiliki kapasitas 300.000 ton dan dukungan PLTU sebesar 300 MW, yang rencananya selesai pada akhir tahun 2017 dengan nilai investasi sebesar USD 820 juta. Sehingga secara total, keseluruhan kapasitas. produksi pig iron akan mencapai 1,2 juta ton per tahun dengan didukung PLTU sebesar 730 MW.
Kedepannya, dengan proyeksi terbangunnya Pabrik Stainless Steel berkapasitas 2 juta mtpa (million tons per annum) di tahun 2019 dan berkembangnya industri-industri hilir lainnya, maka diperkirakan di Kawasan Industri Morowali Tsingshan ini akan terserap sekitar 80.000 tenaga kerja.
"Artinya jelas, hilirisasi menciptakan dan menjaga nilai tambah tetap berada di dalam negeri. Kalau kita ekspor bahan mentah, ya yang menikmati nilai tambah justru luar negeri," terang Menperin.
Menurutnya, proyek smelter dan kawasan industri Morowali ini berperan menumbuhkan ekonomi daerah, selain pemasukan bagi devisa ke kas negara.
Menperin merinci penghitungan nilai tambah dari nikel yang masih berupa bahan mentah (ore) seharga USD30 per metrik ton. Jika diolah menjadi bahan setengah jadi atau pig iron maka nilai jualnya melejit 40 kali menjadi USD 1.300 per metrik ton.
"Nah kalau sudah menjadi stainless steel harganya USD2.800 per metrik ton.Berapa kali lipat jika dibanding hanya berupa bahan mentah? 70 kali!" paparnya.
Kedua menteri Kabinet Kerja itu juga mengapresiasi aktivitas tambang nikel karena telah melakukan pelaksanaan pascatambang berupa penataan ulang dan menanam pepohonan.
Baca: OJK Pantau Dampak Rupiah terhadap Kredit Perbankan
(dmd)