Industri Hulu Migas dalam Kondisi Sulit

Kamis, 27 Agustus 2015 - 08:44 WIB
Industri Hulu Migas dalam Kondisi Sulit
Industri Hulu Migas dalam Kondisi Sulit
A A A
SURABAYA - Pemerintah mengakui bahwa industri hulu minyak dan gas bumi (migas) saat ini dalam kondisi sulit akibat turunnya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Dalam kondisi itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmadja Puja menegaskan bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam dan melakukan berbagai upaya agar industri migas nasional tetap bergairah melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

”Kita akan melakukan berbagai usaha agar industri hulu tetap bergerak, termasuk tetap aktif melakukan diskusi dengan KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) terutama mengenai insentif apa yang mereka butuhkan dan sebagainya,” ujar dia di sela Forum Komunikasi Keselamatan Migas 2015, di Surabaya, kemarin. Kendati demikian, dia tidak memungkiri bahwa di tengah impitan kesulitan tersebut kinerja KKKS terpengaruh.

Dampaknya, pencapaian target komitmen eksplorasi dan eksploitasi yang telah ditetapkan dalam work plan and budget (WP&B) 2015 pun terpengaruh. ”Tahun ini target WP&Bnya sudah ditetapkan dan sekarang yang harus kita pikirkan untuk tahun depan, ada kemungkinan direvisi,” tandasnya. WP&B 2015 menetapkan investasi hulu migas sebesar USD22,2 miliar, turun 13,3% dibanding 2014 sebesar USD25,64 miliar.

Investasi 2015 mencakup USD14,8 miliar untuk kegiatan pengeboran 952 sumur work over dan pemeliharaan 38.914 sumur. Adapun, biaya pengembangan 783 sumur diprediksi menelan investasi USD4,7 miliar. Di acara yang sama, Direktur Utama PT Pertamina (persero) Dwi Soetjipto mengungkapkan bahwa BUMN energi tersebut saat ini juga terbentur dengan kondisi rupiah dan melemahnya harga minyak dunia.

Kondisi tersebut menjadi beban, karena Pertamina dari sisi pendapatan masih dalam rupiah dari penjualan minyak, sementara pembelian minyak mentah (crude ) menggunakan dolar AS. ”Oleh karena itu, harga jual minyak akan kita evaluasi. Kita tidak bisa melihat bahwa disaat harga minyak turun kemudian harga minyak bisa kita turunkan karena kita harus kalkulasi,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, Wakil Direktur Refominers Institute Komaidi Notonegoro menilai, turunnya harga minyak dunia dan melemahnya rupiah terhadap dolar AS memang menjadi ujian berat bagi industri migas nasional. Di satu sisi, KKKS tidak bergairah untuk berproduksi karena harga minyak tidak layak untuk dijual. Di sisi lain, belanja sejumlah peralatan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi harganya melonjak tajam lantaran masih diimpor dari luar negeri.

Tidak hanya itu, sejumlah tenaga ahli profesional dari luar negeri juga menjadi beban perusahaan karena jasanya dihargai dengan menggunakan dolar. Pemerintah pun diminta memberikan stimulus-stimulus dan kemudahan-kemudahan lainnya yang dibutuhkan kontraktor migas agar tetap bertahan berinvestasi di Indonesia kendati ruang fiskal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 kemungkinannya kecil untuk memberikan insentif.

”Memberikan insentif relatif bisa dilakukan untuk membuat KKKS bertahan walaupun kondisinya sulit bagi semuanya. Pemerintah juga sulit membuka ruang fiskal di sektor hulu karena justru akan menambah lebih berat lagi,” jelas Komaidi, kepada KORAN SINDO , kemarin. Di tengah kondisi sulit yang dialami industri migas saat ini, Komaidi pesimistis target produksi minyak yang ditetapkan pemerintah bersama DPR tahun ini sebesar 825.000 barel per hari (bph) mampu tercapai.

Pasalnya, dampak yang akan ditimbulkan adalah para pelaku di sektor industri migas akan menahan produksi sehingga tidak menutup kemungkinan target tidak tercapai. ”Tentu dengan kondisi itu menimbulkan dampak, produksi akan ditahan,” tandasnya.

Nanang wijayanto
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6065 seconds (0.1#10.140)