Hipmi: Paket Kebijakan Ekonomi Harus Bangkitkan Optimisme
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) berharap paket kebijakan besar bidang ekonomi yang akan dikeluarkan pemerintah pekan depan, memiliki terobosan baru, membangkitkan optimisme dunia usaha dan pasar terhadap perekonomian nasional.
“Kalau hanya repackaging bahan dari yang sudah-sudah atau yang lama, ya bisa anti klimaks lagi. Kita harapkan ada terobosan baru dan mampu bangkitkan optimisme dunia usaha dan pasar,” ujar Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/8/2015).
Kebijakan besar yang akan diambil pemerintah tidak bisa hanya biasa-biasa saja atau sekedar memoles-moles apa yang sudah ada. Namun ada sesuatu yang besar, baru, bersifat fundamental, konkrit, dan berdampak langsung dalam jangka pendek sehingga dunia usaha dan pasar merespon secara positif bahkan antusias memperkuat ekonomi dan investasi domestik.
Bahlil mengatakan, belajar dari pengalaman sebelumnya, paket-paket ekonomi sebelumnya hanya disambut dingin oleh investor, dunia usaha, dan pasar. Dia mencontohkan, dipaket-paket sebelumnya tidak ada terobosan disektor pembiayaan. Meskipun insentif fiskal sudah berjubel, namun pembiayaan dari lembaga keuangan tetap saja seperti seperti biasa.
Sebab itu, Hipmi berharap agar cakupan paket kebijakan ini tersinergi dengan lembaga-lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia agar kebijakan nantinya dapat lebih feasible secara makro prudensial namun juga dapat mendorong sektor peran keuangan lebih ekspansif.
Menurutnya, saat ini terjadi ketimpangan (gap) yang besar antara sektor keuangan dan sektor riil. Di satu sisi, sektor keuangan tumbuh atraktif, disini lain sektor riil semakin terpuruk.
"Contoh lagi disituasi semacam sekarang saja, NIM (net interest margin) bahkan naik menjadi di atas 5 persen. Sedangkan industri non migas lainnya terus menurun, lama-lama bisa dibawah 6 persen,” papar Bahlil.
Dia juga menantang pemerintah berani mengambil kebijakan yang dapat memulihkan perekonomian meski kebijakan tersebut kemudian tidak populer. Misalnya masalah pertambangan, kepastian hukum, serapan anggaran, ketatnya regulasi di perikanan, hambatan-hambatan ekspor, dan fiskal.
“Di sektor-sektor ini harus dideregulasi atau pelonggaran, relaksasi dan sejenisnya. Yang terjadi sekarang terjadi pengetatan dimana-mana. Mana ada investor berminat,” beber Bahlil.
Menurutnya, faktor inilah yang memperkuat ekspektasi akan perlambatan ekonomi nasional sehingga pasar masih melihat fundamental ekonomi Indonesia masih melemah ke depan.
Kendati pasar global bergejolak, lanjut Bahlil, semestinya perekonomian masih dapat tertolong dengan memperkuat dan menjaga pasar domestik. Pasalnya, pasar domestik ukurannya sangat besar dan terbukti mampu menopang perekonomian saat krisis keuangan pada 2008.
”Masalahnya pasar domestik ini tidak terjaga dan ikut melemah dari sisi demand. Apalagi belanja modal pemerintah sangat lambat,” pungkas dia.
Baca juga:
Menunggu Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi
6 Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Sebelumnya Belum Efektif
RI Alami Siklus Gejolak Ekonomi Setiap 7 Tahun
Bos IMF Tidak Bisa Intervensi Indonesia
“Kalau hanya repackaging bahan dari yang sudah-sudah atau yang lama, ya bisa anti klimaks lagi. Kita harapkan ada terobosan baru dan mampu bangkitkan optimisme dunia usaha dan pasar,” ujar Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/8/2015).
Kebijakan besar yang akan diambil pemerintah tidak bisa hanya biasa-biasa saja atau sekedar memoles-moles apa yang sudah ada. Namun ada sesuatu yang besar, baru, bersifat fundamental, konkrit, dan berdampak langsung dalam jangka pendek sehingga dunia usaha dan pasar merespon secara positif bahkan antusias memperkuat ekonomi dan investasi domestik.
Bahlil mengatakan, belajar dari pengalaman sebelumnya, paket-paket ekonomi sebelumnya hanya disambut dingin oleh investor, dunia usaha, dan pasar. Dia mencontohkan, dipaket-paket sebelumnya tidak ada terobosan disektor pembiayaan. Meskipun insentif fiskal sudah berjubel, namun pembiayaan dari lembaga keuangan tetap saja seperti seperti biasa.
Sebab itu, Hipmi berharap agar cakupan paket kebijakan ini tersinergi dengan lembaga-lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia agar kebijakan nantinya dapat lebih feasible secara makro prudensial namun juga dapat mendorong sektor peran keuangan lebih ekspansif.
Menurutnya, saat ini terjadi ketimpangan (gap) yang besar antara sektor keuangan dan sektor riil. Di satu sisi, sektor keuangan tumbuh atraktif, disini lain sektor riil semakin terpuruk.
"Contoh lagi disituasi semacam sekarang saja, NIM (net interest margin) bahkan naik menjadi di atas 5 persen. Sedangkan industri non migas lainnya terus menurun, lama-lama bisa dibawah 6 persen,” papar Bahlil.
Dia juga menantang pemerintah berani mengambil kebijakan yang dapat memulihkan perekonomian meski kebijakan tersebut kemudian tidak populer. Misalnya masalah pertambangan, kepastian hukum, serapan anggaran, ketatnya regulasi di perikanan, hambatan-hambatan ekspor, dan fiskal.
“Di sektor-sektor ini harus dideregulasi atau pelonggaran, relaksasi dan sejenisnya. Yang terjadi sekarang terjadi pengetatan dimana-mana. Mana ada investor berminat,” beber Bahlil.
Menurutnya, faktor inilah yang memperkuat ekspektasi akan perlambatan ekonomi nasional sehingga pasar masih melihat fundamental ekonomi Indonesia masih melemah ke depan.
Kendati pasar global bergejolak, lanjut Bahlil, semestinya perekonomian masih dapat tertolong dengan memperkuat dan menjaga pasar domestik. Pasalnya, pasar domestik ukurannya sangat besar dan terbukti mampu menopang perekonomian saat krisis keuangan pada 2008.
”Masalahnya pasar domestik ini tidak terjaga dan ikut melemah dari sisi demand. Apalagi belanja modal pemerintah sangat lambat,” pungkas dia.
Baca juga:
Menunggu Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi
6 Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Sebelumnya Belum Efektif
RI Alami Siklus Gejolak Ekonomi Setiap 7 Tahun
Bos IMF Tidak Bisa Intervensi Indonesia
(dmd)