Mengerem Utang Valas saat Krisis
A
A
A
Krisis ekonomi makin terasa di Indonesia. Ekonomi nasional hanya tumbuh 4,71%, padahal pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi 5,2% pada 2015 setelah turun dari 5,7% dan 5,4%.
Nilai tukar rupiah pun telah menembus level Rp14.000 per dolar AS. Pelemahan nilai tukar rupiah itu merupakan gong bahaya bagi utang valuta asing (valas), termasuk yang dimiliki sektor swasta seperti pengembang (developer).
Bagaimana menyikapi kondisi itu? Hebatnya BTN Property Expo pada Sabtu-Minggu lalu (15-23/8) mampu meraih tambahan kredit pemilikan rumah Rp1,6 triliun. Jumlah itu melebihi target yang ditetapkan Rp1,5 triliun. Wow! Keberhasilan pameran properti itu menegaskan bahwa Program Sejuta Rumah menuju titik cerah hingga akhir 2015. Tak berhenti di situ.
Hal itu juga membuktikan bahwa pelonggaran loan to value (LTV) rasio dari 70% menjadi 80% untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) telah menghasilkan tuaian yang menggembirakan. Lebih dari itu, keberhasilan tersebut seolah-olah sekarang ini sektor properti tidak tersentuh krisis.
Eit tetapi tunggu dulu. Jangan lupa sebagian modal pengembang kemungkinan besar bersumber dari utang luar negeri (valas). Berapa besar utang luar negeri Indonesia saat ini? Utang luar negeri Indonesia per April 2015 mencapai USD299,8 miliar atau sekitar Rp3,992 triliun menurut kurs pada 23 Juni 2015.
Per April 2015 utang luar negeri Indonesia tumbuh 7,8% dalam setahun. Padahal, per Maret 2015 pertumbuhan utang luar negeri Indonesia hanya tumbuh 7,6% dalam setahun. Komposisi utang luar negeri Indonesia masih didominasi utang korporasi swasta yang mencapai USD167 miliar atau sekitar 55,7% dari total utang luar negeri (Harian Kompas, 24 Juni 2015). Harap catat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menimbulkan potensi risiko bagi utang luar negeri Indonesia.
Mengapa? Silakan cermati ilustrasi berikut. Satu perusahaan swasta termasuk pengembang memiliki utang luar negeri USD1.000.000 (satu juta dolar AS) atau setara Rp12.000.000.000 (Rp12 miliar) ketika nilai tukar rupiah masih berada di level Rp12.000 per dolar AS. Oleh karena itu, ketika nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp13.000 per dolar AS, utang luar negeri akan melejit menjadi setara Rp13.000.000.000 (Rp13 miliar). Apalagi tatkala nilai tukar rupiah semakin loyo menjadi Rp14.000 per dolar AS, utang luar negeri semakin membengkak menjadi setara Rp14.000.000.000 (Rp14 miliar).
Langkah Antisipasi
Lantas, langkah antisipasi apa saja yang perlu diambil perusahaan swasta, termasuk pengembang, dalam menyikapi pelemahan nilai tukar rupiah terkait dengan utang luar negeri (valas)? Pertama, meningkatkan penerapan manajemen risiko.
Pertanyaannya yang muncul, mengapa utang luar negeri sektor swasta mendominasi total utang luar negeri Indonesia? Lantaran suku bunga kredit di luar negeri ternyata jauh lebih rendah daripada di Indonesia. Hal itu tampak jelas dari besaran suku bunga acuan. Tengok saja, Jepang 0,00%, AS 0,25%, Jerman 0,05%, Prancis 0,05%, Italia 0,05%, Belanda 0,05%, Inggris 0,50%, Kanada 0,50%, Hong Kong 0,50%, Korea Selatan 1,5%, Taiwan 1,88%, dan Australia 2%.
Coba bandingkan dengan suku bunga acuan Indonesia alias Bank Indonesia Rate (BI Rate) yang masih bertengger tinggi 7,5%. Suku bunga acuan itu jauh di atas negara ASEAN lainnya, Filipina 4%, Malaysia 3,25%, Thailand 1,5%, dan Singapura 0,23%. Untuk menepis potensi risiko utang luar negeri, perusahaan swasta, termasuk pengembang, mau tak mau wajib meningkatkan penerapan manajemen risiko, terutama risiko likuiditas.
Itu karena peningkatan nilai utang luar negeri pelan namun pasti akan menggerus modal. Kedua, menerapkan lindung nilai (hedging). Selain itu, untuk menekan potensi risiko pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin liar, perusahaan swasta perlu menerapkan lindung nilai. Sesungguhnya, sekitar setahun lalu pemerintah sudah menyampaikan imbauan kepada perusahaan swasta untuk melakukan lindung nilai.
Ingat ancaman pelemahan nilai tukar rupiah masih kencang. Antara lain karena ketidakpastian kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed). Kenaikan itu bisa membuat nilai tukar rupiah semakin tak berdaya di hadapan dolar AS. Intinya, lindung nilai sungguh diperlukan. Sebaliknya, bank pemerintah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah siap melakukan lindung nilai atas utang perusahaan swasta dan badan usaha milik negara (BUMN).
Ketiga, menerapkan aturan rasio debt to equity (DER). Pemerintah segera menerbitkan aturan DER dengan rasio 4:1. Aturan tersebut bertujuan melakukan mitigasi risiko, sekaligus untuk membatasi utang luar negeri.
Paul Sutaryono
Nilai tukar rupiah pun telah menembus level Rp14.000 per dolar AS. Pelemahan nilai tukar rupiah itu merupakan gong bahaya bagi utang valuta asing (valas), termasuk yang dimiliki sektor swasta seperti pengembang (developer).
Bagaimana menyikapi kondisi itu? Hebatnya BTN Property Expo pada Sabtu-Minggu lalu (15-23/8) mampu meraih tambahan kredit pemilikan rumah Rp1,6 triliun. Jumlah itu melebihi target yang ditetapkan Rp1,5 triliun. Wow! Keberhasilan pameran properti itu menegaskan bahwa Program Sejuta Rumah menuju titik cerah hingga akhir 2015. Tak berhenti di situ.
Hal itu juga membuktikan bahwa pelonggaran loan to value (LTV) rasio dari 70% menjadi 80% untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) telah menghasilkan tuaian yang menggembirakan. Lebih dari itu, keberhasilan tersebut seolah-olah sekarang ini sektor properti tidak tersentuh krisis.
Eit tetapi tunggu dulu. Jangan lupa sebagian modal pengembang kemungkinan besar bersumber dari utang luar negeri (valas). Berapa besar utang luar negeri Indonesia saat ini? Utang luar negeri Indonesia per April 2015 mencapai USD299,8 miliar atau sekitar Rp3,992 triliun menurut kurs pada 23 Juni 2015.
Per April 2015 utang luar negeri Indonesia tumbuh 7,8% dalam setahun. Padahal, per Maret 2015 pertumbuhan utang luar negeri Indonesia hanya tumbuh 7,6% dalam setahun. Komposisi utang luar negeri Indonesia masih didominasi utang korporasi swasta yang mencapai USD167 miliar atau sekitar 55,7% dari total utang luar negeri (Harian Kompas, 24 Juni 2015). Harap catat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menimbulkan potensi risiko bagi utang luar negeri Indonesia.
Mengapa? Silakan cermati ilustrasi berikut. Satu perusahaan swasta termasuk pengembang memiliki utang luar negeri USD1.000.000 (satu juta dolar AS) atau setara Rp12.000.000.000 (Rp12 miliar) ketika nilai tukar rupiah masih berada di level Rp12.000 per dolar AS. Oleh karena itu, ketika nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp13.000 per dolar AS, utang luar negeri akan melejit menjadi setara Rp13.000.000.000 (Rp13 miliar). Apalagi tatkala nilai tukar rupiah semakin loyo menjadi Rp14.000 per dolar AS, utang luar negeri semakin membengkak menjadi setara Rp14.000.000.000 (Rp14 miliar).
Langkah Antisipasi
Lantas, langkah antisipasi apa saja yang perlu diambil perusahaan swasta, termasuk pengembang, dalam menyikapi pelemahan nilai tukar rupiah terkait dengan utang luar negeri (valas)? Pertama, meningkatkan penerapan manajemen risiko.
Pertanyaannya yang muncul, mengapa utang luar negeri sektor swasta mendominasi total utang luar negeri Indonesia? Lantaran suku bunga kredit di luar negeri ternyata jauh lebih rendah daripada di Indonesia. Hal itu tampak jelas dari besaran suku bunga acuan. Tengok saja, Jepang 0,00%, AS 0,25%, Jerman 0,05%, Prancis 0,05%, Italia 0,05%, Belanda 0,05%, Inggris 0,50%, Kanada 0,50%, Hong Kong 0,50%, Korea Selatan 1,5%, Taiwan 1,88%, dan Australia 2%.
Coba bandingkan dengan suku bunga acuan Indonesia alias Bank Indonesia Rate (BI Rate) yang masih bertengger tinggi 7,5%. Suku bunga acuan itu jauh di atas negara ASEAN lainnya, Filipina 4%, Malaysia 3,25%, Thailand 1,5%, dan Singapura 0,23%. Untuk menepis potensi risiko utang luar negeri, perusahaan swasta, termasuk pengembang, mau tak mau wajib meningkatkan penerapan manajemen risiko, terutama risiko likuiditas.
Itu karena peningkatan nilai utang luar negeri pelan namun pasti akan menggerus modal. Kedua, menerapkan lindung nilai (hedging). Selain itu, untuk menekan potensi risiko pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin liar, perusahaan swasta perlu menerapkan lindung nilai. Sesungguhnya, sekitar setahun lalu pemerintah sudah menyampaikan imbauan kepada perusahaan swasta untuk melakukan lindung nilai.
Ingat ancaman pelemahan nilai tukar rupiah masih kencang. Antara lain karena ketidakpastian kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed). Kenaikan itu bisa membuat nilai tukar rupiah semakin tak berdaya di hadapan dolar AS. Intinya, lindung nilai sungguh diperlukan. Sebaliknya, bank pemerintah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah siap melakukan lindung nilai atas utang perusahaan swasta dan badan usaha milik negara (BUMN).
Ketiga, menerapkan aturan rasio debt to equity (DER). Pemerintah segera menerbitkan aturan DER dengan rasio 4:1. Aturan tersebut bertujuan melakukan mitigasi risiko, sekaligus untuk membatasi utang luar negeri.
Paul Sutaryono
(ars)