Thinking Without the Box

Kamis, 03 September 2015 - 09:31 WIB
Thinking Without the Box
Thinking Without the Box
A A A
”Saya berikan kebebasan untuk memberikan desain riset yang terbaik, selama tujuan risetnya tercapai dan rasionalnya jelas. Sebagai ahli di bidang riset, tentu teman-teman di sini memiliki dimensi yang lebih luas dibandingkan kami.

Silakan diusulkan saja” Kalimat ini disampaikan salah seorang calon klien saat memberikan pengarahan project riset kepada beberapa vendor (termasuk kami), yang diminta membantu proses riset dan pengembangan brand communication mereka. Saya terkesan dengan pendekatan ini, menyampaikan pengarahan secara down-toearth, tetapi menempatkan mereka pada tingkat pemahaman yang sangat tinggi dan strategis.

Tipe klien seperti ini sangat mengerti apa yang sedang dicarinya, termasuk high-achiever, ingin mendapatkan mitra terbaik untuk mendampingi mereka memahami stakeholders dan berkomunikasi secara tepat. Ini kontras dengan pengalaman- pengalaman lalu kami sebagai vendor.

Yang lebih se ring kami dengar dalam pengarahan proyek riset yang belum apa-apa sudah merupakan instruksi, harga mati. Bahkan, semua pemikiran strategi riset di dalamnya sudah terkotak-kotak. Riset harus dijalankan kota tertentu dengan sekian jumlah responden, harus diadakan studi kualitatif dan studi kuantitatif dengan teknik a, b dan c.

Yang lebih berbahaya bahkan beberapa proyek riset sering dengan time frame yang tidak masuk akal seperti, ”saya tidak tahu bagaimana caranya tetapi itu yang kami inginkan”. Dalam menghadapi situasi seperti itu, pekerjaan riset tidak akan menghasilkan insights mendalam, bahkan bisa salah sasaran.

Pendekatan yang dilakukan oleh calon klien yang membebaskan kami sebagai ahli riset pemasaran mengusulkan strategi riset secara bebas tersebut, membuat saya berpikir, ini mungkin contoh konkret perusahaan yang berpikir modern. Nasihat ”think outside the box ”ternyata sudah perlu diredefinisi.

Think like there is no box . ”Which box? We have to redefine the box !”, demikianlah salah seorang motivator mengatakan secara gamblang bahwa kita jangan terjebak dengan berpikir di luar kerangka yang sudah ada. Paradigma baru dalam inovasi dan kreativitas mengajak kita untuk melepaskan kerangka atau box yang selalu didengang- dengungkan itu.

Jika sejak awal sudah mempunyai batasan adanya box dan mengklasifikasikannya menjadi dua bagian yaitu: inside dan outside the box , hal inilah yang dikatakan menjadi perangkap dari pemikiran beyond imagination . Berpikir outside the box ini yang jarang dilatih dalam pelatihan- pelatihan di organisasi.

Misalnya, dalam pembuatan marketing plan di perusahaan, apa yang dilakukan oleh manajer pemasaran sering hanya mengacu kepada marketing plan tahun sebelumnya dan melakukan adaptasi dari apa yang sudah digariskannya di tahun lalu. Sebelum membuat marketing plan sudah seharusnya seorang manajer pemasaran melakukan terlebih dahulu marketing audit secara seksama dan secara holistik.

Ini penting karena tanpa adanya audit, maka pertanyaan: ”Where are we now ?” dari brand yang sedang dikelolanya sebagian besar masih menggunakan asumsi pemahaman tahun lalu. Kita dikenalkan dengan sebuah istilah ”ground zero marketing plan” yang mana artinya seorang pengelola brand harus mulai dari titik nol kembali untuk memahami situasi terkini dalam situasi brand performance, situasi kompetitif, insights tentang konsumennya dll.

Dalam mengevaluasi kegiatan brand activation , kita juga sering menyarankan perbaikanperbaikan agar kegiatan tersebut lebih berhasil dengan lebih kreatif lagi menambah games , memberikan gimmick-gimmick menarik dan lain-lain. Bagaimana bila secara fundamental, acara brand activation itu sendiri bukanlah sesuatu yang dibutuhkan oleh brand?

Ini jarang dipikirkan. Usulan untuk men-delete sebuah event kerap tidak masuk dalam daftar usulan inovasi kegiatan brand activation . Perbaikan sebuah produk atau jasa seringkali masih menggunakan kerangka berpikir versi lama. Padahal, inovasi bisa juga dengan menambah atau memperbaiki yang sudah ada .

Intinya, perbaikan atau inovasinya masih dalam kerangka inside the box yaitu boks pemahaman bahwa produk itu sendiri memang masih disukai oleh konsumen hanya perlu perbaikan saja. Teman yang bekerja di sebuah perusahaan penerbit kartu kredit menanyakan pendapat saya sebagai konsumen tentang form aplikasi kartu kredit. Ia ingin menyederhanakan form tersebut karena di dalamnya terlalu banyak informasi .

Saya tanyakan untuk apa form ini dibuat? Menurutnya, form itu adalah approval dari konsumen untuk sewaktuwaktu dihubungi oleh pihak bank untuk penawaran cross selling melalui telemarketing. Bisa jadi konsumen kartu kredit sudah jenuh dengan praktik-praktik telemarketing , baik yang dihubungi langsung oleh petugas bank maupun oleh vendor telemarketing yang ditunjuk oleh bank.

Jadi, pertanyaan apa saja yang ingin disederhanakan dari form tersebut harus dirombak menjadi pertanyaan outside the box. Benarkah konsumen saya masih mau dihubungi dan dilakukan cross selling ? Forget the box! Dont think outside the box. Think like there is no box

AMALIA E MAULANA PHD
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com @etnoamalia
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4591 seconds (0.1#10.140)