IPOP Bisa Rusak Iklim Investasi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah harus bersikap tegas terhadap manajemen The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP).
Pasalnya, penerapan aturan ini berdampak buruk terhadap iklim investasi dan bisa mengganggu kehidupan petani kelapa sawit Indonesia. Saat ini sejumlah perusahaan kelapa sawit skala sedang dan kecil yang kesulitan memasarkan minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) kepada lima perusahaan besar yang telah menandatangani IPOP.
Perusahaan skala kecil tersebut dinilai tidak menerapkan praktik budi daya berkelanjutan sebagaimana kriteria dalam IPOP. Salah satu perusahaan yang merasakan dampak kebijakan IPOP adalah PT Mopoli Raya Group (MRG). Pemilik PT Mopoli Raya Group, Sabri Basyah, mengungkapkan bahwa sejak tiga bulan lalu tidak bisa lagi menjual CPO ke salah satu perusahaan besar.
”Ketika itu, kami membuka lahan di daerah Langsa, Aceh Timur. Pembukaan lahan ini dianggap melanggar kriteria IPOP, sehingga perusahaan yang selama ini menjadi mitra bisnis kami, tak mau lagi membeli CPO kami. Padahal, CPO yang kami jual itu bukan dari lahan di Langsa,” kata Sabri Basyah.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) San Afri Awang menilai, komitmen lima perusahaan sawit nasional yang tergabung dalam IPOP sebagai sesuatu yang tak masuk akal karena disebutkan pembangunan sawit harus nol deforestasi dengan memasukkan hutan sekunder dan belukar tua, sebagai lahan yang tak boleh dieksploitasi. ”Mana ada lahan lagi kalau belukar tua tak boleh dibuka,” ujar San Afri Awang.
Menurut dia, meskipun luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 jutaan hektare, pemerintah tetap khawatir dengan komitmen IPOP yang menetapkan standar tinggi ini. Terlebih, kata Awang, usulanusulan yang masuk banyak ingin membangun kebun sawit, terutama di Papua.
”Andaikata terjadi tukarmenukar lahan APL (alokasi penggunaan lain) dan HPK (hutan produksi konversi), tidak bisa karena stok karbon masih di atas 35. Jadi sulit karena masih banyak orang mau bangun di Papua,” terangnya.
Sudarsono
Pasalnya, penerapan aturan ini berdampak buruk terhadap iklim investasi dan bisa mengganggu kehidupan petani kelapa sawit Indonesia. Saat ini sejumlah perusahaan kelapa sawit skala sedang dan kecil yang kesulitan memasarkan minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) kepada lima perusahaan besar yang telah menandatangani IPOP.
Perusahaan skala kecil tersebut dinilai tidak menerapkan praktik budi daya berkelanjutan sebagaimana kriteria dalam IPOP. Salah satu perusahaan yang merasakan dampak kebijakan IPOP adalah PT Mopoli Raya Group (MRG). Pemilik PT Mopoli Raya Group, Sabri Basyah, mengungkapkan bahwa sejak tiga bulan lalu tidak bisa lagi menjual CPO ke salah satu perusahaan besar.
”Ketika itu, kami membuka lahan di daerah Langsa, Aceh Timur. Pembukaan lahan ini dianggap melanggar kriteria IPOP, sehingga perusahaan yang selama ini menjadi mitra bisnis kami, tak mau lagi membeli CPO kami. Padahal, CPO yang kami jual itu bukan dari lahan di Langsa,” kata Sabri Basyah.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) San Afri Awang menilai, komitmen lima perusahaan sawit nasional yang tergabung dalam IPOP sebagai sesuatu yang tak masuk akal karena disebutkan pembangunan sawit harus nol deforestasi dengan memasukkan hutan sekunder dan belukar tua, sebagai lahan yang tak boleh dieksploitasi. ”Mana ada lahan lagi kalau belukar tua tak boleh dibuka,” ujar San Afri Awang.
Menurut dia, meskipun luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 jutaan hektare, pemerintah tetap khawatir dengan komitmen IPOP yang menetapkan standar tinggi ini. Terlebih, kata Awang, usulanusulan yang masuk banyak ingin membangun kebun sawit, terutama di Papua.
”Andaikata terjadi tukarmenukar lahan APL (alokasi penggunaan lain) dan HPK (hutan produksi konversi), tidak bisa karena stok karbon masih di atas 35. Jadi sulit karena masih banyak orang mau bangun di Papua,” terangnya.
Sudarsono
(ftr)