Pemerintah Akan Minta Penjelasan soal IPOP
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah segera memanggil lima perusahaan sawit berskala besar yang ikut menandatangani The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP).
Mereka akan dimintai penjelasannya dan diajak untuk mencari solusi dari dampak buruk penerapan IPOP di Indonesia. ”Kita akan panggil mereka. Kita ajak mereka untuk mencari solusi terbaik,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud di Jakarta, Kamis (3/9). Menurut Musdhalifah, akibat penerapan IPOP tersebut sudah ada perusahaan di Medan dan di Aceh yang tidak bisa menjual minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) ke grup usaha perkebunan besar.
”Ini kan dampak selanjutnya ke petani, sebab perusahaan tersebut juga banyak membeli sawit dari petani,” ujar Musdhalifah. Apabila nantinya semua perusahaan menengah dan kecil tidak bisa menjual CPO-nya kepada lima perusahaan besar tersebut, kata Musdhalifah, akan sangat membahayakan perekonomian nasional. Tidak hanya itu, tapi juga berdampak buruk pada kehidupan sosial masyarakat sekitar kebun.
”Bayangkan kalau masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada sawit, tapi tiba-tiba TBS (tandan buah segar)-nya tidak laku dijual, kan bisa kacau. Apalagi para petani ini jumlahnya ada 4,5 juta,” tukas Musdhalifah. Menurut dia, sebenarnya kesepakatan antara perusahaan Indonesia dengan manajemen IPOP merupakan urusan business to business (B to B). Namun karena berdampak pada petani dan perekonomian nasional, pemerintah wajib menyelesaikan persoalan ini.
”Apalagi, situasi ekonomi kita sedang seperti ini. Pemerintah tidak ingin industri sawit hancur. Karena ini merupakan komoditas unggulan yang terbukti telah memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional,” katanya. Terkait dengan isu keberlanjutan yang diusung IPOP ini, Musdhalifah mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah memiliki standarisasi yang dinamakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Oleh karena itu, sebenarnya pelaku sawit di tanah air cukup mengikuti ISPO ini, apalagi ISPO sifatnya wajib diikuti perusahaan sawit di Indonesia. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) San Afri Awang menilai komitmen lima perusahaan sawit nasional yang tergabung dalam IPOP sebagai sesuatu yang tak masuk akal karena disebutkan pembangunan sawit harus nol deforestasi dengan memasukkan hutan sekunder dan belukar tua, sebagai lahan yang tak boleh dieksploitasi.
”Mana ada lahan lagi kalau belukar tua tak boleh dibuka,” ujar San Afri Awang. Menurut dia, meskipun luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 jutaan hektare, pemerintah tetap khawatir dengan komitmen IPOP yang menetapkan standar tinggi ini. Terlebih, kata Awang, usulan-usulan yang masukbanyakinginmembangun kebun sawit, terutama di Papua.
Sudarsono
Mereka akan dimintai penjelasannya dan diajak untuk mencari solusi dari dampak buruk penerapan IPOP di Indonesia. ”Kita akan panggil mereka. Kita ajak mereka untuk mencari solusi terbaik,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud di Jakarta, Kamis (3/9). Menurut Musdhalifah, akibat penerapan IPOP tersebut sudah ada perusahaan di Medan dan di Aceh yang tidak bisa menjual minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) ke grup usaha perkebunan besar.
”Ini kan dampak selanjutnya ke petani, sebab perusahaan tersebut juga banyak membeli sawit dari petani,” ujar Musdhalifah. Apabila nantinya semua perusahaan menengah dan kecil tidak bisa menjual CPO-nya kepada lima perusahaan besar tersebut, kata Musdhalifah, akan sangat membahayakan perekonomian nasional. Tidak hanya itu, tapi juga berdampak buruk pada kehidupan sosial masyarakat sekitar kebun.
”Bayangkan kalau masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada sawit, tapi tiba-tiba TBS (tandan buah segar)-nya tidak laku dijual, kan bisa kacau. Apalagi para petani ini jumlahnya ada 4,5 juta,” tukas Musdhalifah. Menurut dia, sebenarnya kesepakatan antara perusahaan Indonesia dengan manajemen IPOP merupakan urusan business to business (B to B). Namun karena berdampak pada petani dan perekonomian nasional, pemerintah wajib menyelesaikan persoalan ini.
”Apalagi, situasi ekonomi kita sedang seperti ini. Pemerintah tidak ingin industri sawit hancur. Karena ini merupakan komoditas unggulan yang terbukti telah memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional,” katanya. Terkait dengan isu keberlanjutan yang diusung IPOP ini, Musdhalifah mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah memiliki standarisasi yang dinamakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Oleh karena itu, sebenarnya pelaku sawit di tanah air cukup mengikuti ISPO ini, apalagi ISPO sifatnya wajib diikuti perusahaan sawit di Indonesia. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) San Afri Awang menilai komitmen lima perusahaan sawit nasional yang tergabung dalam IPOP sebagai sesuatu yang tak masuk akal karena disebutkan pembangunan sawit harus nol deforestasi dengan memasukkan hutan sekunder dan belukar tua, sebagai lahan yang tak boleh dieksploitasi.
”Mana ada lahan lagi kalau belukar tua tak boleh dibuka,” ujar San Afri Awang. Menurut dia, meskipun luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 jutaan hektare, pemerintah tetap khawatir dengan komitmen IPOP yang menetapkan standar tinggi ini. Terlebih, kata Awang, usulan-usulan yang masukbanyakinginmembangun kebun sawit, terutama di Papua.
Sudarsono
(ars)