Properti dan Saham
A
A
A
Investasi apa yang menjadi pilihan para miliarder dan investor lihai di Indonesia? Investasi apa juga yang telah memberikan return di atas 400% dalam sepuluh tahun terakhir hingga akhir tahun lalu?
Terakhir, investasi apa yang rata-rata mengalami kerugian sepanjang tahun ini? Tiga pertanyaan tentang investasi di atas ternyata mempunyai satu jawaban, bukan tiga jawaban berbeda, yaitu investasi properti dan saham. Investasi properti dan saham sejatinya memang memiliki banyak kemiripan.
Pertama, orang-orang terkaya Indonesia hampir dapat dipastikan adalah konglomerat yang mempunyai bisnis properti dan atau pemegang saham mayoritas dari satu atau lebih emiten di bursa saham. Ini bisa terjadi karena properti dan saham adalah dua investasi utama yang bertumbuh paling pesat di negeri ini yang ditandai dengan kenaikan harga (capital gain) rata-rata belasan persen setahun.
Untuk membuktikannya, silakan bandingkan harga rumah saat ini dengan sepuluh tahun lalu di kota-kota besar kita. Kenaikan harga sebesar 300- 400% belum apa-apa karena di beberapa lokasi favorit harga telah melesat enam kali lipat atau lebih. Untuk saham, indeks harga saham gabungan (IHSG) telah naik 423% dari 1.000 di awal tahun 2005 menjadi 5.227 di akhir tahun lalu atau rata-rata 16% per tahun.
Ini baru keuntungan dari capital gain, masih ada dividen untuk saham dan pendapatan sewa untuk properti yang besarnya sekitar 2% hingga 6%. Jika diakumulasikan, besar return dari investasi properti dan saham di negeri ini dapat mencapai rata-rata 20% per tahun, jauh di atas inflasi tahunan yang besarnya 7,6% selama periode itu.
Kecuali sebagian kecil usaha dan bisnis riil, tidak ada investasi lain di negeri ini yang dapat memberikan hasil setinggi ini. Sayangnya, kenaikan harga properti dan saham terhenti untuk tahun ini. Pengalaman investasi sepupu saya menarik untuk dituliskan di sini. Ketika rumah kluster di sebuah kompleks elite di Bekasi ditawarkan untuk pertama kalinya pada April 2010, dia sempat membeli satu rumah kecil berharga Rp625 juta dengan memanfaatkan kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar 80% dari harga rumah.
Untuk itu, dia hanya menyiapkan sekitar Rp150 juta. Dua tahun kemudian dia menjualnya dengan harga dua kali lipatnya. Setelah melunasi utangnya, dia masih memperoleh kas bersih Rp650 juta sehingga keuntungan Rp500 juta atau 300% lebih dalam dua tahun atau 108% p.a. Berharap mendapatkan keuntungan nominal yang lebih besar, pada April 2013 dia kembali mengambil rumah yang lebih besar di kluster baru yang diluncurkan.
Rumah dengan luas tanah/- bangunan hanya 150/125 m2 itu harus dibayarnya Rp2,53 miliar. Satu angka yang sejatinya sudah ketinggian. Sejak awal tahun ini dia berniat menjualnya pada harga belinya, tetapi tak ada investor yang berminat. Harga kemudian diturunkan Rp100 juta dan terakhir hingga Rp200 juta, namun rumah masih saja belum laku.
Tidak berbeda dengan properti, investor saham pun rata-rata mengalami kerugian untuk tahun ini. IHSG yang di awal tahun sudah 5.227 kini hanya berada di 4.415 atau telah turun 15,5%. Sejatinya, prinsip dasar investasi properti dan saham adalah sama, yaitu membandingkan nilai dan harga. Investor yang lihai akan selalu mencari properti dan saham yang harganya jauh di bawah nilainya.
Jika harga sudah kemahalan, potensi return menjadi terbatas. Sangat disayangkan jika banyak investor terpancing promosi pengembang yang mengatakan kriteria investasi adalah lokasi, lokasi, dan lokasi (3L) karena kriteria yang benar adalah yield , yield, dan yield. Jika pengembang kerap menekankan 3L, saya menawarkan mantra 4L yaitu ”Lupakan 3L” atau lupakan lokasi, lokasi, dan lokasi.
Maksudnya, jika harga yang dibayarkan untuk properti berlokasi prima sudah ketinggian, return pun akan menjadi terlalu rendah, bahkan berujung rugi. Investor properti yang termakan rayuan 3L para pengembang sehingga tidak mempertimbangkan harga seringnya akan bernasib sama seperti investor awam yang membeli saham perusahaan bagus pada harga yang tidak bagus.
Investor saham yang naif ini gagal memahami perbedaan antara saham bagus dan perusahaan bagus karena memandang saham dari perusahaan bagus selalu bagus. Memahami keuntungan besar investasi properti seringnya tidak diberikan dari lokasi prima identik dengan kesadaran return tinggi saham perusahaan bagus kerap tertinggal dari saham perusahaan yang kurang bagus.
Buktinya, bandingkan laju harga saham-saham LQ-45 dengan kenaikan rata-rata saham di luar LQ-45 selama 10 tahun terakhir. Persamaan lainnya investasi properti dan saham adalah return dan risiko keduanya dapat ditingkatkan dengan menggunakan utang. Untuk properti, kita mempunyai KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA), sedangkan untuk saham kita mengenal fasilitas marjin.
Dengan KPR dan KTA, dana yang diperlukan untuk membeli properti hanya seperlima atau seperempatnya. Dengan fasilitas margin, investor juga cukup menyiapkan separuh dari jumlah pembelian sahamnya. Persamaan terakhir, investasi properti dan saham cenderung lebih menguntungkan saat inflasi dan suku bunga bank rendah.
Ini dikarenakan lebih banyak orang yang mampu mengangsur kredit saat bunga rendah. Suku bunga rendah akan menurunkan tingkat diskonto untuk valuasi saham sehingga estimasi nilai saham menjadi naik. Selain itu, investasi saham menjadi menarik ketika alternatif investasi di deposito dan obligasi hanya memberikan bunga dan kupon rendah.
Kesimpulannya, properti dan saham mempunyai tujuh kesamaan. Keduanya dipegang orang-orang kaya dan investor lihai, return tahunan yang tinggi sepuluh tahun terakhir, ada pendapatan periodik (uang sewa dan dividen), harga terkoreksi untuk tahun ini, menggunakan prinsip dasar yang sama, lokasi bagus dan perusahaan bagus yang sering mengecoh investor awam. Selain itu, properti dan saham bisa dibeli dengan utang dan naik kencang saat bunga rendah.
BUDI FRENSIDY
Staf Pengajar FEB-UI dan
Perencana Keuangan Independen
@BudiFrensidy
Terakhir, investasi apa yang rata-rata mengalami kerugian sepanjang tahun ini? Tiga pertanyaan tentang investasi di atas ternyata mempunyai satu jawaban, bukan tiga jawaban berbeda, yaitu investasi properti dan saham. Investasi properti dan saham sejatinya memang memiliki banyak kemiripan.
Pertama, orang-orang terkaya Indonesia hampir dapat dipastikan adalah konglomerat yang mempunyai bisnis properti dan atau pemegang saham mayoritas dari satu atau lebih emiten di bursa saham. Ini bisa terjadi karena properti dan saham adalah dua investasi utama yang bertumbuh paling pesat di negeri ini yang ditandai dengan kenaikan harga (capital gain) rata-rata belasan persen setahun.
Untuk membuktikannya, silakan bandingkan harga rumah saat ini dengan sepuluh tahun lalu di kota-kota besar kita. Kenaikan harga sebesar 300- 400% belum apa-apa karena di beberapa lokasi favorit harga telah melesat enam kali lipat atau lebih. Untuk saham, indeks harga saham gabungan (IHSG) telah naik 423% dari 1.000 di awal tahun 2005 menjadi 5.227 di akhir tahun lalu atau rata-rata 16% per tahun.
Ini baru keuntungan dari capital gain, masih ada dividen untuk saham dan pendapatan sewa untuk properti yang besarnya sekitar 2% hingga 6%. Jika diakumulasikan, besar return dari investasi properti dan saham di negeri ini dapat mencapai rata-rata 20% per tahun, jauh di atas inflasi tahunan yang besarnya 7,6% selama periode itu.
Kecuali sebagian kecil usaha dan bisnis riil, tidak ada investasi lain di negeri ini yang dapat memberikan hasil setinggi ini. Sayangnya, kenaikan harga properti dan saham terhenti untuk tahun ini. Pengalaman investasi sepupu saya menarik untuk dituliskan di sini. Ketika rumah kluster di sebuah kompleks elite di Bekasi ditawarkan untuk pertama kalinya pada April 2010, dia sempat membeli satu rumah kecil berharga Rp625 juta dengan memanfaatkan kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar 80% dari harga rumah.
Untuk itu, dia hanya menyiapkan sekitar Rp150 juta. Dua tahun kemudian dia menjualnya dengan harga dua kali lipatnya. Setelah melunasi utangnya, dia masih memperoleh kas bersih Rp650 juta sehingga keuntungan Rp500 juta atau 300% lebih dalam dua tahun atau 108% p.a. Berharap mendapatkan keuntungan nominal yang lebih besar, pada April 2013 dia kembali mengambil rumah yang lebih besar di kluster baru yang diluncurkan.
Rumah dengan luas tanah/- bangunan hanya 150/125 m2 itu harus dibayarnya Rp2,53 miliar. Satu angka yang sejatinya sudah ketinggian. Sejak awal tahun ini dia berniat menjualnya pada harga belinya, tetapi tak ada investor yang berminat. Harga kemudian diturunkan Rp100 juta dan terakhir hingga Rp200 juta, namun rumah masih saja belum laku.
Tidak berbeda dengan properti, investor saham pun rata-rata mengalami kerugian untuk tahun ini. IHSG yang di awal tahun sudah 5.227 kini hanya berada di 4.415 atau telah turun 15,5%. Sejatinya, prinsip dasar investasi properti dan saham adalah sama, yaitu membandingkan nilai dan harga. Investor yang lihai akan selalu mencari properti dan saham yang harganya jauh di bawah nilainya.
Jika harga sudah kemahalan, potensi return menjadi terbatas. Sangat disayangkan jika banyak investor terpancing promosi pengembang yang mengatakan kriteria investasi adalah lokasi, lokasi, dan lokasi (3L) karena kriteria yang benar adalah yield , yield, dan yield. Jika pengembang kerap menekankan 3L, saya menawarkan mantra 4L yaitu ”Lupakan 3L” atau lupakan lokasi, lokasi, dan lokasi.
Maksudnya, jika harga yang dibayarkan untuk properti berlokasi prima sudah ketinggian, return pun akan menjadi terlalu rendah, bahkan berujung rugi. Investor properti yang termakan rayuan 3L para pengembang sehingga tidak mempertimbangkan harga seringnya akan bernasib sama seperti investor awam yang membeli saham perusahaan bagus pada harga yang tidak bagus.
Investor saham yang naif ini gagal memahami perbedaan antara saham bagus dan perusahaan bagus karena memandang saham dari perusahaan bagus selalu bagus. Memahami keuntungan besar investasi properti seringnya tidak diberikan dari lokasi prima identik dengan kesadaran return tinggi saham perusahaan bagus kerap tertinggal dari saham perusahaan yang kurang bagus.
Buktinya, bandingkan laju harga saham-saham LQ-45 dengan kenaikan rata-rata saham di luar LQ-45 selama 10 tahun terakhir. Persamaan lainnya investasi properti dan saham adalah return dan risiko keduanya dapat ditingkatkan dengan menggunakan utang. Untuk properti, kita mempunyai KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA), sedangkan untuk saham kita mengenal fasilitas marjin.
Dengan KPR dan KTA, dana yang diperlukan untuk membeli properti hanya seperlima atau seperempatnya. Dengan fasilitas margin, investor juga cukup menyiapkan separuh dari jumlah pembelian sahamnya. Persamaan terakhir, investasi properti dan saham cenderung lebih menguntungkan saat inflasi dan suku bunga bank rendah.
Ini dikarenakan lebih banyak orang yang mampu mengangsur kredit saat bunga rendah. Suku bunga rendah akan menurunkan tingkat diskonto untuk valuasi saham sehingga estimasi nilai saham menjadi naik. Selain itu, investasi saham menjadi menarik ketika alternatif investasi di deposito dan obligasi hanya memberikan bunga dan kupon rendah.
Kesimpulannya, properti dan saham mempunyai tujuh kesamaan. Keduanya dipegang orang-orang kaya dan investor lihai, return tahunan yang tinggi sepuluh tahun terakhir, ada pendapatan periodik (uang sewa dan dividen), harga terkoreksi untuk tahun ini, menggunakan prinsip dasar yang sama, lokasi bagus dan perusahaan bagus yang sering mengecoh investor awam. Selain itu, properti dan saham bisa dibeli dengan utang dan naik kencang saat bunga rendah.
BUDI FRENSIDY
Staf Pengajar FEB-UI dan
Perencana Keuangan Independen
@BudiFrensidy
(bbg)