Infrastruktur Pasar Keuangan Perlu Diperkuat
A
A
A
PEMERINTAH diminta segera memperkuat infrastruktur pasar keuangan demi pendalaman pasar dan instrumen. Proyek pembangunan infrastruktur pemerintah tidak akan bisa terwujud tanpa infrastruktur pasar uang yang baik.
Riset Mandiri Institute dan Oliver Wyman memperlihatkan pasar keuangan Indonesia relatif masih dangkal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Advisory Board Member Mandiri Institute sekaligus Director of Treasury and Markets PT Bank Mandiri Tbk, Pahala N Mansury mengatakan, mengembangkan pasar keuangan berarti melibatkan banyak sektor seperti sektor fiskal.
Dalam pengembangan sebuah instrumen juga membutuhkan insentif-insentif fiskal. Bahkan keterlibatan Kementerian Agama karena kewenangan kementerian tersebut dalam pengelolaan dana haji yang dibutuhkan untuk mengembangkan produk berbasis syariah. "Tidak akan ada pembangunan infrastruktur tanpa pembangunan infrastruktur keuangan yang kuat.
Pembiayaan jangka panjang tidak dapat mengandalkan bank karena sumber dananya jangka pendek. Kami mendorong adanya suatu lembaga pemerintah yang mengoordinasi pembangunan pasar keuangan domestik,” ucap Pahala, dalam seminar Mandiri Institute Financial Deepening dengan tema ”Financial Deepening in Indonesia: Executing for Growth” di Jakarta.
Dia menilai masa-masa sulit seperti saat ini diharapkan menjadi momentum bersamasama untuk pengembangan pasar keuangan meski pendalaman pasar keuangan membutuhkan waktu panjang. "Mungkin ini saatnya untuk kita bersamasama, saat ini ada solusi short termseperti buyback, dan inisiatif lain untuk tingkatkan cadangan devisa dan sebagainya, tapi secara long term perlu diatasi,” katanya.
Pahala menjelaskan, setidaknya pemerintah perlu memperkuat empat pilar industri keuangan untuk menyokong pembiayaan sejumlah proyek infrastruktur. Empat infrastruktur keuangan yang perlu diperkuat ialah menyangkut pasar foreign exchange (FX) untuk ekspor-impor, money market, bond market, sertaequity.
Namun, kondisi infrastruktur industri keuangan saat ini masih memprihatinkan seperti bond marketmasih minim. Dana obligasi baru berkisar Rp60-70 triliun per tahun, masih di bawah obligasi perbankan yang mencapai Rp550 triliun per tahun.
"Ke depan pembiayaan pembangunan tidak bisa hanya mengandalkan perbankan, perlu melibatkan industri keuangan nonbank juga. Bila pasar keuangan tak diperkuat, Indonesia akan kehilangan potensi peningkatan PDB (produk domestik bruto) hingga 2%,” paparnya.
Menurut Direktur Utama Bank Mandiri yang juga Advisory Board Mandiri Institute Budi G Sadikin, sektor keuangan yang kuat dan dalam sangat dibutuhkan untuk mendukung pencapaian target-target pembangunan serta menciptakan kestabilan perekonomian.
"Indonesia membutuhkan dukungan pembiayaan yang kuat untuk meningkatkan ketersediaan infrastruktur. Kebutuhan itu tidak mungkin hanya dipenuhi oleh sistem perbankan karena keterbatasan dana pihak ketiga. Karena itu, kita perlu membangun infrastruktur pasar keuangan yang memungkinkan adanya kontribusi signifikan kepada pembiayaan pembangunan,” ungkapnya.
Budi menambahkan, saat ini seluruh pemangku kepentingan perlu menginvestasikan seluruh sumber daya untuk membangun infrastruktur pasar keuangan agar pemerintah mendapatkan alternatif sumber pembiayaan pembangunan, selain dari sektor perbankan maupun pinjaman luar negeri.
"Pembangunan infrastruktur pasar keuangan dapat dilakukan melalui kombinasi kebijakan moneter, publik dan fiskal. Misalnya, relaksasi ataupun deregulasi dalam hal perizinan sehingga dapat mempercepat dan mempermudah proses emisi,” tambahnya.
Lemahnya pasar keuangan domestik terlihat dari jumlah emiten saham di Bursa Efek Indonesia yang mencapai 540 perusahaan, dibandingkan dengan 1.400 perusahaan di Thailand dan 2.360 perusahaan di Malaysia.
Sementara jumlah emiten obligasi domestik sebanyak 140 perusahaan, dibandingkan dengan 304 emiten di Thailand dan 1.008 di Malaysia. Sementara itu, tingkat partisipasi investor ritel di pasar keuangan Indonesia baru mencapai 0,2% dari total populasi atau sekitar 450.000 investor. Sedangkan partisipasi investor ritel di India telah mencapai 2% dari total populasi.
Hal ini menyebabkan tingkat kontribusi pasar saham Indonesia ke PDB baru mencapai kisaran 49%, dibandingkan dengan Thailand (111%) atau Malaysia (141%), atau India (149%). Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menilai, Indonesia terlambat mengantisipasi pelemahan ekonomi yang saat ini tengah bergerak menuju batas bawah.
Menurutnya, harga komoditas yang saat ini menurun telah berdampak signifikan pada kinerja ekspor. "Yang namanya kondisi ekonomi secara umum itu ada siklusnya. Pengusaha tahu persis itu. Suatu saat kita bisa di atas, tapi kita bisa juga di bawah. Salah satu yang muncul itu adalah business circle. Kita sering terlambat antisipasi,” tutur Bambang.
Dia mengungkapkan, saat ini siklus ekonomi Indonesia sedang menuju di batas bawah setelah negara terlena dengan tingginya harga komoditas. Karena itu, tren perlambatan ekonomi nasional dinilai sebagai indikasi bahwa negara terlambat melakukan antisipasi dalam jangka panjang ketika dinamika ekonomi menuju tren positif. Padahal, seharusnya Indonesia dapat mengantisipasi lebih awal.
”Saat harga batu bara naik, semua masuk ke bisnis batu bara. Padahal, harga itu tidak akan bertahan selamanya di atas. Contohnya harga minyak yang turun drastis ke harga USD40/barel,” ucapnya.
Executive Director Mandiri Institute Organization Destry Damayanti mengatakan, upaya pendalaman pasar keuangan yang melibatkan berbagai macam sektor memerlukan koordinasi.
Mandiri Institute menyarankan ada tim khusus pendalaman pasar keuangan yang berada langsung di bawah Presiden atauWakilPresiden. "Basic-nya di reportkami ada saran untuk pendalaman empat pasar keuangan, ada jangka pendek, jangka menengah dan panjang, tapi yang pertama kita harap ada tim, diketuai apakah oleh Presiden atau Wakil Presiden karena intersectoral. Ini seperti yang dilakukan di Malaysia dan beberapa negara lain,” sebut Destry.
Sementara itu, Kepala Asia-Pasifik Oliver Wyman Bernhard Kotanko mengatakan, jika Indonesia ingin menjadi negara ekonomi G-7 pada 2030, perlu untuk mempertahankan pertumbuhan pasar modal dan untuk melakukan hal ini dimulainya serangkaian langkah-langkah reformasi yang bertujuan untuk mendukung pendalaman keuangan sangat dibutuhkan. ”Financial deepening dan pertumbuhan ekonomi harus berjalan beriringan,” tandas Bernhard.
Riset Mandiri Institute dan Oliver Wyman memperlihatkan pasar keuangan Indonesia relatif masih dangkal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Advisory Board Member Mandiri Institute sekaligus Director of Treasury and Markets PT Bank Mandiri Tbk, Pahala N Mansury mengatakan, mengembangkan pasar keuangan berarti melibatkan banyak sektor seperti sektor fiskal.
Dalam pengembangan sebuah instrumen juga membutuhkan insentif-insentif fiskal. Bahkan keterlibatan Kementerian Agama karena kewenangan kementerian tersebut dalam pengelolaan dana haji yang dibutuhkan untuk mengembangkan produk berbasis syariah. "Tidak akan ada pembangunan infrastruktur tanpa pembangunan infrastruktur keuangan yang kuat.
Pembiayaan jangka panjang tidak dapat mengandalkan bank karena sumber dananya jangka pendek. Kami mendorong adanya suatu lembaga pemerintah yang mengoordinasi pembangunan pasar keuangan domestik,” ucap Pahala, dalam seminar Mandiri Institute Financial Deepening dengan tema ”Financial Deepening in Indonesia: Executing for Growth” di Jakarta.
Dia menilai masa-masa sulit seperti saat ini diharapkan menjadi momentum bersamasama untuk pengembangan pasar keuangan meski pendalaman pasar keuangan membutuhkan waktu panjang. "Mungkin ini saatnya untuk kita bersamasama, saat ini ada solusi short termseperti buyback, dan inisiatif lain untuk tingkatkan cadangan devisa dan sebagainya, tapi secara long term perlu diatasi,” katanya.
Pahala menjelaskan, setidaknya pemerintah perlu memperkuat empat pilar industri keuangan untuk menyokong pembiayaan sejumlah proyek infrastruktur. Empat infrastruktur keuangan yang perlu diperkuat ialah menyangkut pasar foreign exchange (FX) untuk ekspor-impor, money market, bond market, sertaequity.
Namun, kondisi infrastruktur industri keuangan saat ini masih memprihatinkan seperti bond marketmasih minim. Dana obligasi baru berkisar Rp60-70 triliun per tahun, masih di bawah obligasi perbankan yang mencapai Rp550 triliun per tahun.
"Ke depan pembiayaan pembangunan tidak bisa hanya mengandalkan perbankan, perlu melibatkan industri keuangan nonbank juga. Bila pasar keuangan tak diperkuat, Indonesia akan kehilangan potensi peningkatan PDB (produk domestik bruto) hingga 2%,” paparnya.
Menurut Direktur Utama Bank Mandiri yang juga Advisory Board Mandiri Institute Budi G Sadikin, sektor keuangan yang kuat dan dalam sangat dibutuhkan untuk mendukung pencapaian target-target pembangunan serta menciptakan kestabilan perekonomian.
"Indonesia membutuhkan dukungan pembiayaan yang kuat untuk meningkatkan ketersediaan infrastruktur. Kebutuhan itu tidak mungkin hanya dipenuhi oleh sistem perbankan karena keterbatasan dana pihak ketiga. Karena itu, kita perlu membangun infrastruktur pasar keuangan yang memungkinkan adanya kontribusi signifikan kepada pembiayaan pembangunan,” ungkapnya.
Budi menambahkan, saat ini seluruh pemangku kepentingan perlu menginvestasikan seluruh sumber daya untuk membangun infrastruktur pasar keuangan agar pemerintah mendapatkan alternatif sumber pembiayaan pembangunan, selain dari sektor perbankan maupun pinjaman luar negeri.
"Pembangunan infrastruktur pasar keuangan dapat dilakukan melalui kombinasi kebijakan moneter, publik dan fiskal. Misalnya, relaksasi ataupun deregulasi dalam hal perizinan sehingga dapat mempercepat dan mempermudah proses emisi,” tambahnya.
Lemahnya pasar keuangan domestik terlihat dari jumlah emiten saham di Bursa Efek Indonesia yang mencapai 540 perusahaan, dibandingkan dengan 1.400 perusahaan di Thailand dan 2.360 perusahaan di Malaysia.
Sementara jumlah emiten obligasi domestik sebanyak 140 perusahaan, dibandingkan dengan 304 emiten di Thailand dan 1.008 di Malaysia. Sementara itu, tingkat partisipasi investor ritel di pasar keuangan Indonesia baru mencapai 0,2% dari total populasi atau sekitar 450.000 investor. Sedangkan partisipasi investor ritel di India telah mencapai 2% dari total populasi.
Hal ini menyebabkan tingkat kontribusi pasar saham Indonesia ke PDB baru mencapai kisaran 49%, dibandingkan dengan Thailand (111%) atau Malaysia (141%), atau India (149%). Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menilai, Indonesia terlambat mengantisipasi pelemahan ekonomi yang saat ini tengah bergerak menuju batas bawah.
Menurutnya, harga komoditas yang saat ini menurun telah berdampak signifikan pada kinerja ekspor. "Yang namanya kondisi ekonomi secara umum itu ada siklusnya. Pengusaha tahu persis itu. Suatu saat kita bisa di atas, tapi kita bisa juga di bawah. Salah satu yang muncul itu adalah business circle. Kita sering terlambat antisipasi,” tutur Bambang.
Dia mengungkapkan, saat ini siklus ekonomi Indonesia sedang menuju di batas bawah setelah negara terlena dengan tingginya harga komoditas. Karena itu, tren perlambatan ekonomi nasional dinilai sebagai indikasi bahwa negara terlambat melakukan antisipasi dalam jangka panjang ketika dinamika ekonomi menuju tren positif. Padahal, seharusnya Indonesia dapat mengantisipasi lebih awal.
”Saat harga batu bara naik, semua masuk ke bisnis batu bara. Padahal, harga itu tidak akan bertahan selamanya di atas. Contohnya harga minyak yang turun drastis ke harga USD40/barel,” ucapnya.
Executive Director Mandiri Institute Organization Destry Damayanti mengatakan, upaya pendalaman pasar keuangan yang melibatkan berbagai macam sektor memerlukan koordinasi.
Mandiri Institute menyarankan ada tim khusus pendalaman pasar keuangan yang berada langsung di bawah Presiden atauWakilPresiden. "Basic-nya di reportkami ada saran untuk pendalaman empat pasar keuangan, ada jangka pendek, jangka menengah dan panjang, tapi yang pertama kita harap ada tim, diketuai apakah oleh Presiden atau Wakil Presiden karena intersectoral. Ini seperti yang dilakukan di Malaysia dan beberapa negara lain,” sebut Destry.
Sementara itu, Kepala Asia-Pasifik Oliver Wyman Bernhard Kotanko mengatakan, jika Indonesia ingin menjadi negara ekonomi G-7 pada 2030, perlu untuk mempertahankan pertumbuhan pasar modal dan untuk melakukan hal ini dimulainya serangkaian langkah-langkah reformasi yang bertujuan untuk mendukung pendalaman keuangan sangat dibutuhkan. ”Financial deepening dan pertumbuhan ekonomi harus berjalan beriringan,” tandas Bernhard.
(dmd)