SKK Migas Klaim LNG Terapung Masela Lebih Hemat
A
A
A
JAKARTA - SKK Migas mengklaim pembangunan kilang di Blok Masela, Maluku menggunakan fasilitas pengolahan LNG terapung (floating LNG/FLNG) lebih hemat ketimbang menggunakan fasilitas pipanisasi, seperti yang diinginkan Menko bidang Kemaritiman Rizal Ramli.
Kepala SKK Migas menjelaskan, jika kilang dibangun di darat dengan pipa (offshore) sedianya akan tetap menggunakan kapal seperti menggunakan fasilitas FLNG (onshore). Sebab, yang dibangun di darat hanya pengolahan LNG-nya, sementara sumber gas di laut. (Baca: Rizal Ramli Ajukan Opsi Pipanisasi Kilang Blok Masela).
"Jadi dari sumur, dikumpulkan kemudian naik ke kapal. Walaupun istilahnya onshore, tetap perlu kapal. Jadi konfigurasi yang disebut onshore tetap ada kapal juga," terangnya di kantor Ditjen Kelistrikan, Jakarta, Rabu (23/9/2015).
Jika dipandang dari aspek keekonomian, lanjut Amien, dibutuhkan total investasi USD19,3 miliar untuk membangun kilang menggunakan fasilitas pipanisasi. Sementara dengan sistem offshore akan lebih minim menjadi sekitar USD14,8 miliar.
"Karena itu, dalam rekomendasi SKK Migas yang floating LNG atau offshore. Mungkin di sana (Rizal Ramli) punya hitungan lain," imbuh dia. (Baca:Sudirman Said dan Rizal Ramli Beda Pendapat soal Blok Masela).
Amien melanjutkan, waktu yang dibutuhkan untuk membangun kilang dengan fasilitas onshore dan offshore sedianya tidak berbeda jauh. Membutuhkan sekitar 45 hingga 50 bulan sebelum kilang tersebut memproduksi gas.
Namun, fasilitas onshore memiliki risiko tersendiri, mulai dari aspek amdal, pembebasan lahan, hingga aspek sosialnya.
"Kalau dari engineering timing-nya enggak jauh berbeda. Tapi kalau bangun di darat, aspek amdal, lahan, sosial akan berbeda dengan floating. Ini yang risikonya berbeda, kalau pembebasan tanah berlarut-larut onshore akan terealisasi lama," tandasnya.
Baca Juga:
ESDM: Rizal Ramli Tak Punya Kewenangan atas Blok Masela
Rizal Ramli Ogah Bahas Kontrak Inpex di Blok Masela
Rizal Minta Pengembangan Blok Masela Dikaji Ulang
Kepala SKK Migas menjelaskan, jika kilang dibangun di darat dengan pipa (offshore) sedianya akan tetap menggunakan kapal seperti menggunakan fasilitas FLNG (onshore). Sebab, yang dibangun di darat hanya pengolahan LNG-nya, sementara sumber gas di laut. (Baca: Rizal Ramli Ajukan Opsi Pipanisasi Kilang Blok Masela).
"Jadi dari sumur, dikumpulkan kemudian naik ke kapal. Walaupun istilahnya onshore, tetap perlu kapal. Jadi konfigurasi yang disebut onshore tetap ada kapal juga," terangnya di kantor Ditjen Kelistrikan, Jakarta, Rabu (23/9/2015).
Jika dipandang dari aspek keekonomian, lanjut Amien, dibutuhkan total investasi USD19,3 miliar untuk membangun kilang menggunakan fasilitas pipanisasi. Sementara dengan sistem offshore akan lebih minim menjadi sekitar USD14,8 miliar.
"Karena itu, dalam rekomendasi SKK Migas yang floating LNG atau offshore. Mungkin di sana (Rizal Ramli) punya hitungan lain," imbuh dia. (Baca:Sudirman Said dan Rizal Ramli Beda Pendapat soal Blok Masela).
Amien melanjutkan, waktu yang dibutuhkan untuk membangun kilang dengan fasilitas onshore dan offshore sedianya tidak berbeda jauh. Membutuhkan sekitar 45 hingga 50 bulan sebelum kilang tersebut memproduksi gas.
Namun, fasilitas onshore memiliki risiko tersendiri, mulai dari aspek amdal, pembebasan lahan, hingga aspek sosialnya.
"Kalau dari engineering timing-nya enggak jauh berbeda. Tapi kalau bangun di darat, aspek amdal, lahan, sosial akan berbeda dengan floating. Ini yang risikonya berbeda, kalau pembebasan tanah berlarut-larut onshore akan terealisasi lama," tandasnya.
Baca Juga:
ESDM: Rizal Ramli Tak Punya Kewenangan atas Blok Masela
Rizal Ramli Ogah Bahas Kontrak Inpex di Blok Masela
Rizal Minta Pengembangan Blok Masela Dikaji Ulang
(izz)