SP BUMN Serahkan Dugaan Pelanggaran Kontrak JICT ke KPPU
A
A
A
JAKARTA - Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSPBB) hari ini menyambangi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyerahkan bukti terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan PT Pelindo II (Persero) atas perpanjangan konsesi pengoperasian Jakarta International Container Terminal (JICT) kepada Hutchison Port Holding (HPH).
Ketua FSPBB FX Arief Poyuono menyatakan, perpanjangan konsesi pengoperasian JICT kepada HPH telah terjadi pelanggaran dan persekongkolan untuk amandemen tender.
"Ini ada persekongkolan tender. Jelas kronologisnya, karena pada 5 September 2014 tiba-tiba ada surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada IPC (Pelindo II) untuk menjawab pertanyaan IPC apa perpanjangan pengoperasian itu bisa dikategorikan kejahatan," katanya saat ditemui di gedung KPPU, Jakarta, Rabu (30/9/2015).
Selain itu, kecurigaan lainnya muncul surat-surat dari beberapa operator pelabuhan dunia seperti Dubai Port, Port Singapore Authority, dan China Merchant yang menyatakan tidak dapat menyaingi penawaran yang diberikan HPH untuk pengoperasian JICT.
"Artinya, jelas bahwa sebenarnya ada dugaan bahwa proses penawaran tender pengoperasian JICT ada persekongkolan antara Pelindo dengan HPH. Ini patut diduga surat dari Port Singapore dan lain-lain itu hanya buat-buatan saja, atau kongkalikong," tutur dia.
Terlebih, Port Singapore Authority memang sudah jelas-jelas tidak bisa mengambil alih JICT karena telah memenangkan tender Jakarta New Port City Kalibaru. Sehingga, kecurigaan serikat pekerja semakin jelas terkait adanya dugaan persekongkolan tender.
Menurut Arief, jika memang benar ada proses tender maka ini merupakan tender tertutup dan tidak dibiding secara umum. Karena, tidak ada pemberitaan di media masa terkait proses tender pengoperasian JICT periode 2019-2039.
"Tapi tiba-tiba ada iklan di dua media masa bahwa telah ada amandemen perpanjangan kontrak HPH di JICT. Di sini kan jadinya makin menjelaskan lagi. Iklannya itu bukan iklan tender, tapi perpanjangan HPH," tegas dia.
Arief menambahkan, dalam memberikan hak kelola atas JICT, seharusnya BUMN pelabuhan tersebut melaksanakan tender terbuka seperti 1999. Terlebih, harga kontrak saat ini jauh lebih murah dibanding harga kontrak 1999.
"Harga hak konsesinya yang sekarang cuma USD215 juta, padahal saat HPH mendapatkan kontrak serupa pada 1999 harganya USD243 juta," terangnya.
Adapun bukti yang dibawa pihaknya untuk menguatkan dugaan tersebut antara lain:
1. Surat Komisaris Utama Pelindo II yang menolak perpanjangan kontrak HPH di JICT, dengan dasar bahwa legal opini Kejaksaan Agung yang memperbolehkan JICT dikelola HPH itu tidak boleh digunakan.
2. Iklan pada 8 Agustus 2014 tentang keterangan amandemen pengoperasian JICT dan TPK Koja.
3. Prospektus dan riwayat keuangan Pelindo II.
Ketua FSPBB FX Arief Poyuono menyatakan, perpanjangan konsesi pengoperasian JICT kepada HPH telah terjadi pelanggaran dan persekongkolan untuk amandemen tender.
"Ini ada persekongkolan tender. Jelas kronologisnya, karena pada 5 September 2014 tiba-tiba ada surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada IPC (Pelindo II) untuk menjawab pertanyaan IPC apa perpanjangan pengoperasian itu bisa dikategorikan kejahatan," katanya saat ditemui di gedung KPPU, Jakarta, Rabu (30/9/2015).
Selain itu, kecurigaan lainnya muncul surat-surat dari beberapa operator pelabuhan dunia seperti Dubai Port, Port Singapore Authority, dan China Merchant yang menyatakan tidak dapat menyaingi penawaran yang diberikan HPH untuk pengoperasian JICT.
"Artinya, jelas bahwa sebenarnya ada dugaan bahwa proses penawaran tender pengoperasian JICT ada persekongkolan antara Pelindo dengan HPH. Ini patut diduga surat dari Port Singapore dan lain-lain itu hanya buat-buatan saja, atau kongkalikong," tutur dia.
Terlebih, Port Singapore Authority memang sudah jelas-jelas tidak bisa mengambil alih JICT karena telah memenangkan tender Jakarta New Port City Kalibaru. Sehingga, kecurigaan serikat pekerja semakin jelas terkait adanya dugaan persekongkolan tender.
Menurut Arief, jika memang benar ada proses tender maka ini merupakan tender tertutup dan tidak dibiding secara umum. Karena, tidak ada pemberitaan di media masa terkait proses tender pengoperasian JICT periode 2019-2039.
"Tapi tiba-tiba ada iklan di dua media masa bahwa telah ada amandemen perpanjangan kontrak HPH di JICT. Di sini kan jadinya makin menjelaskan lagi. Iklannya itu bukan iklan tender, tapi perpanjangan HPH," tegas dia.
Arief menambahkan, dalam memberikan hak kelola atas JICT, seharusnya BUMN pelabuhan tersebut melaksanakan tender terbuka seperti 1999. Terlebih, harga kontrak saat ini jauh lebih murah dibanding harga kontrak 1999.
"Harga hak konsesinya yang sekarang cuma USD215 juta, padahal saat HPH mendapatkan kontrak serupa pada 1999 harganya USD243 juta," terangnya.
Adapun bukti yang dibawa pihaknya untuk menguatkan dugaan tersebut antara lain:
1. Surat Komisaris Utama Pelindo II yang menolak perpanjangan kontrak HPH di JICT, dengan dasar bahwa legal opini Kejaksaan Agung yang memperbolehkan JICT dikelola HPH itu tidak boleh digunakan.
2. Iklan pada 8 Agustus 2014 tentang keterangan amandemen pengoperasian JICT dan TPK Koja.
3. Prospektus dan riwayat keuangan Pelindo II.
(izz)