HT: Indonesia Hadapi Krisis Ekonomi Struktural
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) mengungkapkan bahwa saat ini kondisi ekonomi di Tanah Air sedang menghadapi krisis ekonomi yang sifatnya struktural. Krisis ekonomi saat ini berbeda dengan krisis 1998.
Pasalnya, krisis yang terjadi 1998 merupakan krisis keuangan, dan hanya pengusaha kelas atas yang terkena dampaknya. Sementara krisis yang terjadi kini lebih pada persoalan struktural dan dirasakan semua kalangan, baik level atas maupun masyarakat bawah. (Baca:HT: Pembangunan RI Cenderung Fokus Menengah Atas)
"Kalau kita lihat agak beda dengan 1998. Waktu 1998 yang kita hadapi krisis keuangan, bank banyak bermasalah. Tapi saat ini bukan krisis keuangan lagi, tapi krisis ekonomi yang sangat struktural. Semua pihak kena. Yang atas dan bawah," katanya dalam Rembuk Ekonomi Nasional Partai Perindo di XXI Club Djakarta Theatre, Jakarta, Selasa (6/10/2015).
Menurutnya, hari ini Indonesia sudah tidak mempunyai lagi sektor penunjang ekonomi yang bisa diharapkan. Jika pada 1970-an Indonesia masih menjadi negara produsen minyak, pada 1980 hingga 1990-an ekonomi Indonesia masih didukung dengan tumbuhnya industri dan bonus demografi, maka saat ini keuntungan tersebut sudah tidak ada lagi.
Sebab, lanjut HT, Indonesia bukan lagi negara produsen minyak, industri pun juga tak lagi menjadi kekuatan ekonomi di Tanah Air. Apalagi, saat ini harga komoditas semakin anjlok yang membuat Indonesia tidak lagi bisa mengandalkan sektor sumber daya alam (SDA).
"Hari ini kekuatan kita di 70, 80, 90 sudah tidak ada lagi. Minyak kita impor. Karena tidak dipersiapkan matang, jadi kita impor besar. Dari sisi industri bukan kekuatan kita lagi. Karena dalam perspektif kita yang sederhana saja, kita tidak menyiapkan infrastruktur dan pendidikan," tutur dia.
Bahkan, sambung CEO MNC Group ini, harga minyak dunia diperkirakan masih akan melorot hingga 2016. "Kalau sampai terjadi, ekonomi Indonesia bisa tidak lebih baik di 2016 dibanding 2015," tandasnya.
(Baca: HUT Ke-1, Partai Perindo Gelar Rembuk Ekonomi)
Pasalnya, krisis yang terjadi 1998 merupakan krisis keuangan, dan hanya pengusaha kelas atas yang terkena dampaknya. Sementara krisis yang terjadi kini lebih pada persoalan struktural dan dirasakan semua kalangan, baik level atas maupun masyarakat bawah. (Baca:HT: Pembangunan RI Cenderung Fokus Menengah Atas)
"Kalau kita lihat agak beda dengan 1998. Waktu 1998 yang kita hadapi krisis keuangan, bank banyak bermasalah. Tapi saat ini bukan krisis keuangan lagi, tapi krisis ekonomi yang sangat struktural. Semua pihak kena. Yang atas dan bawah," katanya dalam Rembuk Ekonomi Nasional Partai Perindo di XXI Club Djakarta Theatre, Jakarta, Selasa (6/10/2015).
Menurutnya, hari ini Indonesia sudah tidak mempunyai lagi sektor penunjang ekonomi yang bisa diharapkan. Jika pada 1970-an Indonesia masih menjadi negara produsen minyak, pada 1980 hingga 1990-an ekonomi Indonesia masih didukung dengan tumbuhnya industri dan bonus demografi, maka saat ini keuntungan tersebut sudah tidak ada lagi.
Sebab, lanjut HT, Indonesia bukan lagi negara produsen minyak, industri pun juga tak lagi menjadi kekuatan ekonomi di Tanah Air. Apalagi, saat ini harga komoditas semakin anjlok yang membuat Indonesia tidak lagi bisa mengandalkan sektor sumber daya alam (SDA).
"Hari ini kekuatan kita di 70, 80, 90 sudah tidak ada lagi. Minyak kita impor. Karena tidak dipersiapkan matang, jadi kita impor besar. Dari sisi industri bukan kekuatan kita lagi. Karena dalam perspektif kita yang sederhana saja, kita tidak menyiapkan infrastruktur dan pendidikan," tutur dia.
Bahkan, sambung CEO MNC Group ini, harga minyak dunia diperkirakan masih akan melorot hingga 2016. "Kalau sampai terjadi, ekonomi Indonesia bisa tidak lebih baik di 2016 dibanding 2015," tandasnya.
(Baca: HUT Ke-1, Partai Perindo Gelar Rembuk Ekonomi)
(izz)