RUU Pengampunan Pajak Tanpa Penelitian Akademis
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, usulan Rancangan Undang-undang (RUU) Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak Nasional dilakukan tanpa adanya penelitian akademis, filosofis, dan sosiologis.
"Pertanyaannya, kebutuhan masyarakat yang mana? Artinya daruratnya ada di DPR (yang mengusulkan). Ada enggak naskah akademik dari UU ini, kalau enggak ada UU ini hanya pragmatis," kata Fickar, Kamis (8/10/2015).
Dia menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu menjadi isi dan subtansi dari suatu UU. Pertama, amanat konstitusi. Isi UU itu menjadi amanat dari isi UU itu sendiri, isinya memuat pengesahan konvensi internasional, UU itu menjadi perintah Mahkamah Konstitusi (MK), dan satu lagi UU itu merupakan kebutuhan masyarakat.
"Saya tidak melihat adanya perintah konstitusi. Ketentuan ini kalau dicantolkan mungkin ada di UU Perpajakan. Apalagi kata Bang Desmond (Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa), istana saja kaget atas usulan RUU ini," imbuhnya. (Baca: Usulan RUU Pengampunan Pajak Tak Berdasar)
Menurut Fickar, keuntungan yang diambil dari pengampunan pajak tidak begitu banyak karena hanya dipotong 3-8% dari harta yang dilaporkan. Sementara dari aspek penegakan hukum, semua harta haram itu bisa diambil oleh negara. Terlebih, banyak aturan perundangan lain yang juga mengatur tentang recovery asset, seperti Konvensi Anti Korupsi, dan UU TPPU.
"Artinya ada mekanisme dalam hukum kita untuk mengambil aset hasil kejahatan," tegasnya. (Baca: Pengampunan Pajak Pengusaha Besar Dinilai Tidak Adil)
Selain itu, lanjut dia, ketentuan dalam RUU Pengampunan Pajak ini bertentangan dengan ketentuan dalam RUU KPK yang mana, pengambilan aset tidak menghilangkan pidananya. Karena itu, landasan usulan RUU ini perlu dipertanyakan. Jika karena kondisi ekonomi sedang krisis, maka itu bukan landasan yang tepat.
"Pemerintah sampai sekarang sedang mendorong paket kebijakan baru. Maka itu harus di-challenge oleh kebijakan-kebijakan yang bisa merangsang ekonomi," jelasnya.
Dia menambahkan, setiap masa krisis pasti ada penggelapnya, dan pastinya ada grand designer-nya. Seharusnya, yang perlu menjadi pertanyaan besar atas usulan RUU ini yakni kenapa mereka lebih senang menyimpan aset di luar sistem perbankan nasional? Artinya kalau ada tindakan, maka kebijakan harus sesuai.
"Misalnya, apakah karena sistem perpajakan kita terlalu mencekik? Itu yang perlu kita persoalkan agar orang tidak melarikan uangnya ke luar negeri," tandasnya.
Di pihak lain, Anggota Baleg DPR RI, Hendrawan Supratikno mengatakan, wacana pengampunan pajak bukan barang baru. Pada masa pemerintah orde lama pernah membahas tax amnesty, dan pada 1998 secara parsial dilakukan. Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilakukan sunset policy pada tahun 2015, dan saat ini Presiden Jokowi menentukan target pajak yang begitu tinggi.
"Dirjen Pajak berusaha memenuhi target itu dengan melakukan reinventing policy. Isu tax amnesty keluar pada saat reinventing policy. Karena itu, para pengusaha menunggu tax amnesty ketimbang reinventing policy," jelas Anggota Komisi XI DPR itu.
Menurut Hendrawan, sebagai anggota Baleg dirinya tengah berusaha memahami argumentasi, konstruksi yang dibangun, dan substansi dalam usulan RUU yang disokong 30 Anggota DPR dari empat fraksi. Saat membaca draf RUU ini dirinya melihat bahwa ada urgensi dan RUU itu harus segera diselesaikan.
"Karena, ada pertanyaan lebih suka membangun dengan utang atau dengan pajak? Tentu kalau you ditanya lebih suka membangun dengan pajak," ujar Ketua DPP PDIP itu.
Hendrawan menjelaskan, yang menjadi perdebatan yakni RUU ini sebaiknya menjadi inisiatif pemerintah karena, pemerintah yang mengetahui jumlah wajib pajak yang perlu melaporkan harta kekayaan. Perdebatan kedua yakni, apakah RUU ini akan menjadi UU yang terpisah dengan ketentuan umum UU Perpajakan yang sedang direvisi
"Kalau inisiatif DPR (proses) lebih cepat. Dan karena ruu tax amnesty tidak masuk prolegnas, maka kita membicarakan apakah RUU ini di luar prolegnas sebagaimana Pasal 23 ayat 2 UU Pembuatan Peraturan Perundnag-undangan," jelasnya.
Dia menilai, RUU ini memiliki efek yang lebih kuat karena pengampunan pajak tanpa pengampunan pidana itu tidak terlalu merangsang. Sementara RUU ini memberikan rangsangan yang luar biasa agar orang berduyun-duyun menyucikan diri untuk mendapat pengampunan nasional.
"Tentu seperti apa nanti perdebatannya akan panjang. Kalau ini berhasil, negara mampu mengembalikan dana-dana underground fund, dana-dana di dunia remang-remang," pungkasnya.
Baca juga:
Raihan Pajak hingga September Baru Mencapai 52%
Ditjen Pajak: 10 Perusahaan Sudah Dapat Tax Allowance
Alasan WP Harus Tempatkan Dana 10% agar Dapat Tax Holiday
"Pertanyaannya, kebutuhan masyarakat yang mana? Artinya daruratnya ada di DPR (yang mengusulkan). Ada enggak naskah akademik dari UU ini, kalau enggak ada UU ini hanya pragmatis," kata Fickar, Kamis (8/10/2015).
Dia menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu menjadi isi dan subtansi dari suatu UU. Pertama, amanat konstitusi. Isi UU itu menjadi amanat dari isi UU itu sendiri, isinya memuat pengesahan konvensi internasional, UU itu menjadi perintah Mahkamah Konstitusi (MK), dan satu lagi UU itu merupakan kebutuhan masyarakat.
"Saya tidak melihat adanya perintah konstitusi. Ketentuan ini kalau dicantolkan mungkin ada di UU Perpajakan. Apalagi kata Bang Desmond (Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa), istana saja kaget atas usulan RUU ini," imbuhnya. (Baca: Usulan RUU Pengampunan Pajak Tak Berdasar)
Menurut Fickar, keuntungan yang diambil dari pengampunan pajak tidak begitu banyak karena hanya dipotong 3-8% dari harta yang dilaporkan. Sementara dari aspek penegakan hukum, semua harta haram itu bisa diambil oleh negara. Terlebih, banyak aturan perundangan lain yang juga mengatur tentang recovery asset, seperti Konvensi Anti Korupsi, dan UU TPPU.
"Artinya ada mekanisme dalam hukum kita untuk mengambil aset hasil kejahatan," tegasnya. (Baca: Pengampunan Pajak Pengusaha Besar Dinilai Tidak Adil)
Selain itu, lanjut dia, ketentuan dalam RUU Pengampunan Pajak ini bertentangan dengan ketentuan dalam RUU KPK yang mana, pengambilan aset tidak menghilangkan pidananya. Karena itu, landasan usulan RUU ini perlu dipertanyakan. Jika karena kondisi ekonomi sedang krisis, maka itu bukan landasan yang tepat.
"Pemerintah sampai sekarang sedang mendorong paket kebijakan baru. Maka itu harus di-challenge oleh kebijakan-kebijakan yang bisa merangsang ekonomi," jelasnya.
Dia menambahkan, setiap masa krisis pasti ada penggelapnya, dan pastinya ada grand designer-nya. Seharusnya, yang perlu menjadi pertanyaan besar atas usulan RUU ini yakni kenapa mereka lebih senang menyimpan aset di luar sistem perbankan nasional? Artinya kalau ada tindakan, maka kebijakan harus sesuai.
"Misalnya, apakah karena sistem perpajakan kita terlalu mencekik? Itu yang perlu kita persoalkan agar orang tidak melarikan uangnya ke luar negeri," tandasnya.
Di pihak lain, Anggota Baleg DPR RI, Hendrawan Supratikno mengatakan, wacana pengampunan pajak bukan barang baru. Pada masa pemerintah orde lama pernah membahas tax amnesty, dan pada 1998 secara parsial dilakukan. Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilakukan sunset policy pada tahun 2015, dan saat ini Presiden Jokowi menentukan target pajak yang begitu tinggi.
"Dirjen Pajak berusaha memenuhi target itu dengan melakukan reinventing policy. Isu tax amnesty keluar pada saat reinventing policy. Karena itu, para pengusaha menunggu tax amnesty ketimbang reinventing policy," jelas Anggota Komisi XI DPR itu.
Menurut Hendrawan, sebagai anggota Baleg dirinya tengah berusaha memahami argumentasi, konstruksi yang dibangun, dan substansi dalam usulan RUU yang disokong 30 Anggota DPR dari empat fraksi. Saat membaca draf RUU ini dirinya melihat bahwa ada urgensi dan RUU itu harus segera diselesaikan.
"Karena, ada pertanyaan lebih suka membangun dengan utang atau dengan pajak? Tentu kalau you ditanya lebih suka membangun dengan pajak," ujar Ketua DPP PDIP itu.
Hendrawan menjelaskan, yang menjadi perdebatan yakni RUU ini sebaiknya menjadi inisiatif pemerintah karena, pemerintah yang mengetahui jumlah wajib pajak yang perlu melaporkan harta kekayaan. Perdebatan kedua yakni, apakah RUU ini akan menjadi UU yang terpisah dengan ketentuan umum UU Perpajakan yang sedang direvisi
"Kalau inisiatif DPR (proses) lebih cepat. Dan karena ruu tax amnesty tidak masuk prolegnas, maka kita membicarakan apakah RUU ini di luar prolegnas sebagaimana Pasal 23 ayat 2 UU Pembuatan Peraturan Perundnag-undangan," jelasnya.
Dia menilai, RUU ini memiliki efek yang lebih kuat karena pengampunan pajak tanpa pengampunan pidana itu tidak terlalu merangsang. Sementara RUU ini memberikan rangsangan yang luar biasa agar orang berduyun-duyun menyucikan diri untuk mendapat pengampunan nasional.
"Tentu seperti apa nanti perdebatannya akan panjang. Kalau ini berhasil, negara mampu mengembalikan dana-dana underground fund, dana-dana di dunia remang-remang," pungkasnya.
Baca juga:
Raihan Pajak hingga September Baru Mencapai 52%
Ditjen Pajak: 10 Perusahaan Sudah Dapat Tax Allowance
Alasan WP Harus Tempatkan Dana 10% agar Dapat Tax Holiday
(dmd)