Pengamat: RUU Pengampunan Nasional Bisa Ampuni Koruptor

Senin, 12 Oktober 2015 - 11:12 WIB
Pengamat: RUU Pengampunan...
Pengamat: RUU Pengampunan Nasional Bisa Ampuni Koruptor
A A A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, RUU Pengampunan Nasional bisa membebaskan para koruptor. Jika menggunakan istilah pengampunan nasional, maka bukan hanya pengemplang pajak saja yang bisa diampuni.

"Itu artinya bisa meluas. Bahkan bisa saja yang bukan pengemplang pajak dapat amnesty. RUU ini menggunakan terminologi "Pengampunan Nasional", hal yang tidak lazim digunakan padahal substansi RUU ini sepenuhnya pengampunan pajak. Kata "nasional" yang digunakan menjadi rancu dan dapat menimbulkan misinterpretasi publik," kata pengamat pajak ini kepada Sindonews di Jakarta, Senin (12/10/2015).

Menurutnya, cakupan pengampunan agaknya terkait dengan pemakaian istilah nasional yang artinya pengampunan pidana pajak dan pidana lain selain narkoba, terorisme, dan human trafficking.

"Nah ini dapat menjadi impunitas bagi pelaku pidana non pajak dan berpotensi menimbulkan persoalan sosial-politik yang luas, khususnya pelemahan gerakan anti-korupsi. Dengan kata lain, koruptor yang memakan uang ‎negara dan rakyat, bisa terampuni dengan damai," ujarnya.

Selain itu, pengampunan diberikan kepada orang pribadi dan badan dengan tidak membedakan antara wajib pajak dan bukan wajib pajak. Tanpa dikotomi yang jelas, pengampunan berpotensi mendiscourage wajib pajak yang sudah terdaftar dan menyampaikan SPT.

"Pembedaan tarif terkait masa keikutsertaan dalam pengampunan justru dapat merugikan karena mereka yang sudah paham dan mendapat informasi lebih awal menikmati tarif lebih rendah meskipun sebelumnya belum terdaftar dan tidak menyampaikan SPT," imbuh dia.

Alasan lain atas ketidaklaziman RUU ini, tidak terdapat skema repatriasi yang jelas, yaitu kewajiban menempatkan dana di perbankan dalam negeri atau diinvestasikan dalam obligasi negara jangka waktu tertentu. "Tanpa ketentuan ini, pengampunan pajak berpotensi gagal mencapai tujuan," jelasnya.

Keabsahan dan ketidaklengkapan data wajib pajak (WP) juga memicu rendahnya tingkat keberhasilan pengampunan ini, karena pemerintah tidak memiliki keakuratan data dan administrasi perorangannya.

"Pengampunan pajak akan diberikan segera, padahal saat bersamaan kita belum memiliki data akurat, administrasi yang baik, dan Indonesia baru akan mengikuti inisiatif BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) yang akan memampukan kita menangkal praktik penghindaran pajak agresif dan pertukaran data otomatis dengan negara lain," terang dia.

"Ini menjadi ironis dan misleading karena justru saat pemerintah memiliki "stick" untuk law enforcement, hal itu tak dapat digunakan karena objek pajak sudah diampuni terlebih dahulu. Dengan demikian negara berpotensi hanya mendapat hasil yang tidak optimal," imbuh Yustinus.

Selain itu, mandat untuk membangun sistem administrasi pengawasan kepatuhan pasca-pengampunan belum jelas dalam UU sehingga berpotensi terjadi maladministrasi yang akan berdampak pada kepatuhan pajak di masa mendatang.

"Di sisi lain, RUU ini belum diletakkan dalam konteks pembaruan sistem perpajakan dan keuangan yang menyeluruh, seperti amandemen UU Perbankan, penerapan Single Identification Number, akses data perbankan dan keuangan, koordinasi kelembagaan penegak hukum, dan lainnya," paparnya.

Maka, CITA mengimbau pemerintah dan DPR hendaknya mengkaji atau menunda dulu rencana pemberlakuan UU ini sampai pembahasannya dirasa cukup matang dan memenuhi apa yang dibutuhkan pemerintah dan ekonomi Indonesia saat ini.

"Dan setelah pemerintah dipastikan dapat menggunakan kewenangan memungut pajak sesuai BEPS Action Plan dan Automatic Exchange of Information, disertai amandemen UU Perbankan yang memastikan akses pajak ke data perbankan dipermudah. Pengampunan pajak akan optimal diberlakukan 2017-2018," terangnya.

Kedua, mempersempit cakupan pengampunan pada pidana pajak saja demi kepastian hukum dan terhindarnya moral hazard untuk impunitas, dengan kewajiban merahasiakan data wajib pajak yang disampaikan.

"Ketiga, mengubah skema tarif dengan pembedaan antara tebusan bagi wajib pajak yang sudah terdaftar dan menyampaikan SPT, dan orang pribadi/badan yang belum terdaftar. Misalnya tarif 5% dan 10%, termasuk membedakan perlakuan thd wajib pajak UMKM," imbuh dia.

Kemudian, pemerintah harus menegaskan kewajiban penempatan dana di perbankan nasional melalui instrumen keuangan seperti obligasi negara dalam jangka waktu lima tahun agar dijamin menggerakkan perekonomian negara.

"Dan yang paling penting, mempersiapkan infrastruktur dan administrasi pengawasan pasca-pengampunan yang dapat menjamin kepatuhan pajak dan peningkatan penerimaan pajak di masa mendatang," tandas Yustinus.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0744 seconds (0.1#10.140)