Misteri Freeport di Balik Kunjungan Jokowi ke AS

Minggu, 25 Oktober 2015 - 07:32 WIB
Misteri Freeport di...
Misteri Freeport di Balik Kunjungan Jokowi ke AS
A A A
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) bersama beberapa menteri kabinet kerja akan melakukan kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat (AS), pada 25-29 Oktober 2015. Kabar yang beredar dalam rangkaian lawatannya itu, selain bertemu dengan Presiden AS Barack Obama, Jokowi akan membahas kelanjutan kontrak PT Freeport Indonesia.

Berdasarkan informasi yang diterima Sindonews, Presiden Jokowi terbang ke AS pada Minggu, 25 Oktober 2015, tinggal di Blair House, Washington DC. Disebutkan pada Senin, 26 Oktober 2015, pukul 09.00 waktu setempat, Jokowi akan sarapan bersama para eksekutif dari Freeport McMoran di Wilard Hotel, sebelum bertemu dengan Presiden Obama di Gedung Putih.

Namun, jauh-jauh hari Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi membantah tidak ada sesi khusus antara Presiden Jokowi dengan petinggi Freeport dalam lawatannya ke AS. Dia mengaku sedikit bingung dengan isu yang beredar tentang agenda tersebut. Karena semua agenda Presiden, Kementerian Luar Negeri yang menjadwalkannya.

"Apakah akan ada makan pagi bersama dengan Freeport, sejauh yang ada di dalam kertas saya saat ini tidak ada," ujar Retno menanggapi pertanyaan wartawan di Jakarta, Rabu (21/10/2015).

Meski demikian, Retno tidak menampik Jokowi akan melakukan pertemuan dengan sejumlah perusahaan besar AS, dan akan melakukan malam malam dengan ratusan pengusaha. Mengenai Freeport, mungkin akan terlibat dalam satu acara tersebut.

"Tapi, jangan lupa Presiden akan melakukan pertemuan dengan banyak perusahaan, satu di round table discussion yang akan dihadiri oleh sembilan perusahaan besar. Setelah itu akan ada makan malam yang diadakan kamar dagang AS yang akan dihadiri 200-an perusahaan. Jadi bukan tidak mungkin Freeport salah satu di antara mereka," tandasnya. (Baca: Menlu Bantah Jokowi Akan Bertemu Khusus Petinggi Freeport)

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani, yang masuk dalam daftar rombongan untuk melakukan pertemuan dengan beberapa pengusaha AS, juga menyatakan, Freepot tidak masuk dalam daftar pengusaha yang akan melakukan pertemuan tatap muka (one on one meeting) di AS. "‎Dalam list saya enggak ada one on one meeting dengan Freeport," ucapnya saat media gathering di Gedung BKPM, Jakarta, Jumat (23/10/2015).

Menurut Franky, beberapa perusahaan yang masuk daftar one on one meeting dengannya berasal dari sektor farmasi, makanan dan minuman, serta manufaktur. Sementara investment summit diperkirakan akan dihadiri 150 pengusaha asal AS.

"‎Karena jadwal harus membagi waktu antara mendampingi Presiden, dan berforum investment summit yang akan dihadiri 150 lebih pengusaha. Pembicaranya dari beberapa menteri, termasuk beberapa perusahaan AS yang sudah beroperasi di Indonesia," tandasnya. (Baca: BKPM Sebut Freeport Tak Masuk List Pertemuan Tatap Muka)

Di pihak lain, Duta Besar Amerika Serikat (AS) Robert Blake Jr mengemukakan, persoalan nasib kontrak PT Freeport Indonesia belum diketahui apakah akan dibahas Presiden Barack Obama dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau tidak dalam pertemuan pekan depan. AS masih menunggu sikap pemerintah Indonesia terhadap kontrak perusahaan tambang emas tersebut.

“Kami akan membiarkan mereka (pemerintah Indonesia) mengumumkan secara spesifik terkait Freeport,” ujarnya di Jakarta, Senin (21/10/2015).

Meski begitu, Blake menyatakan AS menyambut baik pengumuman pemerintah RI yang memberikan jaminan terhadap Freeport. Dia membantah bahwa Freeport sedang mencari peluang memperpanjang kontrak.

“Mereka hanya ingin jaminan masa depan. Jika mereka ingin memperpanjang kontraknya, mereka akan mendapatkan kesempatan itu,” katanya.

Menurut Blake, jaminan perpanjangan kontrak sangat penting bagi perusahaan. “Setiap perusahaan manapun tidak akan mendapatkan investasi baru - dalam hal ini Freeport yang akan memulai pertambangan bawah tanah baru di Papua. Mereka harus mendapatkan jaminan bahwa kontrak mereka akan diperpanjang. Jadi mereka bisa mendapatkan investasi baru,” terangnya.

Blake menyebut jaminan ini akan menjadi contoh bagus dari niat pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan dengan investor asing.

Polemik Freeport


Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha memandang persoalan Freeport merupakan masalah yang tak pernah tuntas dari rezim ke rezim. Pemerintah sejak dulu tidak bisa menyelesaikan soal renegoisasi kontrak dengan Freeport, yang seharusnya selesai pada 2010.

"Freeport ini antarrezim masalahnya. Terlebih lagi jika kita mau merajuk UU Minerba pasal 169, itu renegoisasinya sudah selesai di tahun 2010. Tapi sampai sekarang belum beres, itu kan sudah melanggar," kata Satya di Jakarta, Sabtu (17/10/2015).

Dia mengaku heran karena saat ini, pemerintah malah meributkan ‎soal kontrak perpanjangan Freeport tanpa terkesan ada niat untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. "Kalau kita lihat ini secara komprehensif, harusnya ini jadi PR (pekerjaan rumah) pemerintah, bukan malah meributkan dan didebatkan karena ada beberapa elemen-elemen hukum yang terlanggar, bukan hanya Freeport tapi yang mengacu pada UU Minerba," bebernya.

Karena itu, Satya mengharapkan pemerintah harus mencari solusi secepatnya dan jangan sampai menimbulkan banyak spekulasi, sehingga membuat masyarakat menjadi bingung.

"Kabinet sekarang harus mencari jalan keluar. Ini kabinet kerja, bukan kabinet bicara. Sekarang justru ditaruh di ranah publik, yang membuat orang lain menjadi bingung. Kalau DPR itu ingin gaduh, kita bisa tapi kita juga tidak akan memberikan jalan keluar. Selesaikan segera renegoisasinya, daripada harus ribut sana-sini," tegasnya.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meradang dengan sikap pemerintah yang seakan terus merendahkan martabat bangsa Indonesia. Koordinator Jatam Hendrik Siregar menilai sikap pemerintah masih bermental terjajah, karena takut jika kontrak karya Freeport distop maka akan timbul kekacauan ekonomi. Raksasa tambang AS itu pun seakan menjadi 'dewa' penyelamat satu-satunya yang harus diberi keistimewaan.

"Seakan-akan jika tidak memperpanjang kontrak karya Freeport, maka langit akan runtuh, timbul kekacauan ekonomi, APBN kolaps. Ini seperti menjadikan Freeport 'dewa' penyelamat satu-satunya yang harus dijamu, dilayani, dihormati kalau perlu jadi paham nasionalisme," katanya seperti dalam rilis yang diterima Sindonews.

Menurutnya, sikap pejabat pemerintah yang menyebut APBN akan kolaps jika kontrak Freeport tidak diperpanjang telah dibutakan oleh nasionalisme Freeport.

Dia menyebutkan, pada awal 2014 Freeport menyetor pajak dan royalti Rp5,6 triliun, sementara pemerintah pada tahun sama harus membayar bunga dan pokok utang mencapai Rp65,5 triliun. Padahal, bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah jauh lebih besar ketimbang setoran royalti yang diberikan Freeport.

"Logika sederhana, jauh lebih senang kehilangan uang sebelas kali lipat untuk membayar utang dari pada kehilangan Freeport," ketusnya.

Hendrik menuturkan, kendati pemerintah Indonesia telah beberapa kali berganti pemerintahan, namun perilaku sama masih tetap terjadi dari tahun ke tahun. Pemerintah dinilai hanya mementingkan pendapatan, dan mengabaikan semua fakta secara utuh.

Seharusnya, pemerintah memanfaatkan waktu menuju 2019 untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Freeport. "Sepatutnya, perilaku buruk yang tak pernah tuntas diusut, dilakukan penegakan hukum, bukan sibuk mencari celah hanya untuk memperpanjang kontrak, dengan membual kesana-kemari," ungkapnya.

Hendrik menegaskan, pemerintah harus segera menghentikan segala omong kosong yang berlebihan mengenai Freeport. Perusahaan tambang AS itu harus diperlakukan sama dengan perusahaan lain untuk menegakkan kedaulatan bangsa.

"Kami pun menuntut pemerintah Jokowi-JK, sebaiknya melakukan evaluasi Freeport secara menyeluruh atas persoalan lingkungan, HAM, kewajiban keuangan, perizinan dengan melibatkan berbagai pihak secara terbuka dan independen," tandasnya.

Di pihak lain, Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Rizal Ramli menilai, ‎tingkah PT Freeport Indonesia yang tak kunjung melakukan pelepasan saham (divestasi) lantaran pejabat di Indonesia masih bermental inlander atau takut dengan orang asing.

Dia mengatakan, selama ini Freeport selalu mencari-cari alasan untuk tidak melakukan divestasi. Hal ini karena raksasa tambang AS itu dapat dengan mudah menyogok pejabat di Tanah Air.

"‎Freeport selalu cari alasan untuk tidak divestasi. Macam-macam alasannya. Kenapa berani begitu? Mohon maaf, pejabat kita gampang disogok. Sebenarnya saya tidak perlu minta maaf juga," katanya dalam acara Rembuk Nasional Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Jakarta, Selasa (20/10/2015).

‎Mantan Menko bidang Perekonomian ini menuturkan, langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan memberikan syarat Freeport ‎untuk melakukan divestasi sebelum perpanjangan kontrak sudah benar.

"Kalau Freeport lakukan (divestasi), kita mau negosiasi. Kalau enggak mending kembalikan itu kontrak. Resminya kan gitu," imbuh dia. (Baca: Lho, Menkeu Belum Bahas Rencana Divestasi Freeport).

Menurutnya, Freeport harus terus ditekan dengan memberikan syarat-syarat yang dapat memberikan keuntungan lebih banyak bagi Indonesia.

"Tapi ada menteri keblinger yang maunya (negosiasi) sekarang. Pasti Freeport tanda tangan kalau dipepet. Karena mereka bisa rugi. Tapi mental kita masih mental inlander. Kita sudah 70 tahun merdeka masih inlander. Sama orang asing saja takut," tandas Rizal. (Baca: Soal Freeport, Pejabat RI Bermental Inlander)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku pemerintah masih menimbang-terkait risiko dan kebaikan yang diambil tatkala menghentikan atau memperpanjang operasi Freeport.

Staf Ahli Menteri ESDM Said Didu menjelaskan, apabila kontrak diputus begitu saja, dipastikan akan berhadapan dengan gugatan arbitrase nasional. “Indonesia juga belum memiliki teknologi pertambangan underground mengelola pertambangan Freeport. Di samping itu, akan mematikan kegiatan perekonomian di Timika dan Mimika Papua karena 94% uang yang beredar berasal dari kegiatan bisnis yang bersinggungan dengan Freeport,” katanya dalam serangkaian acara diskusi terkait “Perpanjangan Kontrak Freeport”, Jumat (16/10/2015) lalu.

Tidak hanya itu, lanjut dia, jika operasi Freeport tidak diperpanjang maka diprediksi akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran di PT Freeport Indonesia. “Smelter sebagai upaya pemerintah meningkatkan nilai tambah bisa terhenti di tengah jalan,” imbuhnya.

Di sisi lain, Said Didu mengingatkan bahwa menteri koordinator yang memiliki wewenang mencampuri perpanjangan kontrak Freeport di Indonesia adalah menteri koordinator bidang perekonomian.

Menurutnya, legalitas perpanjangan kontrak Freeport yang nantinya diatur dalam hasil revisi peraturan pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 perubahan ketiga atas PP No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara berada di bawah Menteri Perekonomian Darmin Nasution, bukan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli.

Di dalam revisi PP kontroversial tersebut disebutkan bahwa masa pengajuan perpanjangan kontrak Freeport paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir 2021. Namun begitu, pemerintah merevisi PP tersebut dengan mengubah rezim kontrak menjadi izin usaha dengan pengajuan paling cepat 10 tahun sebelum kontrak berakhir.

“Revisi PP sudah masuk dalam paket kebijakan ekonomi. Kalau ada menteri yang jalan sendiri, Menteri ESDM Sudirman Said sudah menyampaikan bahwa revisi terkait legalitas menjadi kebijakan Menteri Koordinator Perekonomian, bukan di bawah yang lain dengan atas pertimbangan Menteri Keuangan dan Menteri ESDM,” terangnya.

Said mengaku, keputusan perpanjangan kontrak Freeport masih menunggu tuntasnya revisi PP tersebut, walaupun secara gamblang Freeport telah melanyangkan proposal perpanjangan kontrak sejak 9 Juli 2015 lalu dan telah disampaikan kepada Presiden Jokowi.

“Terkait Freeport, Menteri ESDM pasti selalu lapor kepada presiden dan wakil presiden karena menyangkut komitmen investasi tinggi. Presiden tidak ingin keputusan yang diambil melibatkan banyak kepentingan, baik kepentingan bisnis dan politik,” jelasnya.

Di pihak lain, Vice President Freeport Indonesia Napoleon Sawai meminta, seharusnya masalah Freeport di dalam negeri tak dipolitisasi. Apalagi masalah kontrak Freeport menyulut perbedaan pendapat dan saling serang antarkementerian.

Menurutnya, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah yang terjadi. "Freeport itu, sudah ada sejak dulu tapi baru sekarang dimasalahkan. Itu tidak seharusnya dipolitisasi. Tidak seharusnya dimasalahkan. Ingat, mau diperpanjang atau tidak kontrak Freeport, kita sudah ada lama, bukan tahu-tahu ada," katanya di Jakarta, Sabtu (17/10/2015) lalu.

Napoleon menyatakan, jika ingin menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seharusnya pemerintah Indonesia bisa menerapkan kesejahteraan masyarakat Indonesia terhadap keberadaan Freeport.

Dia menuturkan, sebelum kisruh berlangsung saat ini, semua yang dikerjakan dan dilakukan di Freeport sesuai regulasi pemerintah Indonesia. "Misalnya, 40% hasil Freeport juga diterima warga Papua. Jadi kenapa sekarang Kabinet Kerja harus kisruh?" pungkasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0840 seconds (0.1#10.140)