Ruang Gelap di Balik Tambang Freeport
A
A
A
POLEMIK perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia menjadi lenteram bahwa transaksi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Tanah Air banyak dimainkan di ruang gelap dan sarat korupsi.
Baru-baru ini, publik dikejutkan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, yang mengungkap adanya pencatutan nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), yang diduga dilakukan Ketua DPR RI Setya Novanto, untuk meminta saham kepada raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.
"Terkait dengan kasus ini (Freeport), sebenarnya semakin menegaskan bahwa deal-deal atau transaksi terkait pengelolaan SDA banyak dimainkan di ruang gelap yang sarat korupsi dan gratifikasi, tidak terbuka pada media maupun publik," ujar pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Ki Bagus Hadi Kusuma, Kamis (19/11/2015).
Di sisi lain, lanjut Bagus, kisruh yang terjadi di Freeport tak terlepas dari sikap pemerintah yang tidak tegas dalam renegosiasi kontrak karya (KK). Dalam kasus Freeport, pemerintah seakan tarik ulur dan memberikan harapan perpanjangan kontrak terhadap perusahaan tambang asal negeri Paman Sam tersebut.
"Padahal jelas perpanjangan baru bisa diurus dua tahun sebelum kontrak habis. Maka tidak heran, dengan tidak adanya kepastian dan sikap tegas dari pemerintah, banyak pihak yang ingin bermain dan mengambil keuntungan," paparnya.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengakui banyak pihak yang mendesak agar pemerintah memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia. Namun, mantan kepala staf kepresidenan itu enggan menyebutkan siapa saja pihak yang dimaksud. "Desakan perpanjangan itu datang dari sana dan sini," ujarnya, saat jumpa pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Menurut Luhut, sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas kebijakan tambang sudah jelas, tidak akan pernah memperpanjang kontrak karya Freeport sebelum 2019.
"Karena itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU), karena sikap ini berjalan apa yang kami sarankan saat saya jabat kepala staf kepresidenan, PP Nomor 77 serah terima SBY dan Presiden Jokowi, perpanjangan bisa dilakukan dua tahun sebelum expired, ini sangat eksensial. Presiden juga paham dengan itu," jelasnya.
"Kami malah mengusulkan buat Freeport seperti Mahaka, jadi milik negara dan dikelola Pertamina, cari partner siapa saja. Bisa saja Freeport milik Indonesia kalau kontraknya sudah habis, bisa saja pemerintah tunjuk Antam, bisa saja Freeport jadi partner-nya," terang Luhut.
Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Rizal Ramli melihat banyak skandal yang terjadi selama hampir 40 tahun Freeport mengeksploitasi emas di tanah Papua.
Dia menuturkan, saat perpanjangan kontrak 1980-an telah mulai terjadi kongkalikong atau yang diistilahkan sebagai hengki pengki antara Chairman of Board Freeport-McMoran James Robert Moffett (Jim Bob) dan menteri Indonesia kala itu. Tak ayal, Indonesia hanya mendapatkan sedikit manfaat dari kegiatan pertambangan Freeport.
"Karena perpanjangan kontrak 1980-an kenapa Freeport memberikan manfaat kecil buat Indonesia, karena terjadi hengki pengki antara bos Freeport Jim Moffet dengan Menteri Indonesia," bebernya, di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Rabu (18/11/2015).
Menurutnya, jika Menteri ESDM Sudirman Said benar-benar ingin menguak kebobrokan Freeport, maka bukan tidak mungkin nama Bos Freeport-McMoran akan turut terseret. "Ya, kalau mau main buka-bukaan (kasus Freeport), bosnya Freeport juga bisa kena lah," kata Rizal.
Dia menilai, selama ini masih banyak elit pemerintahan dan politik yang seenaknya hanya mementingkan kepentingan pribadi dibanding bangsa Indonesia.
Menurutnya, kisruh yang melibatkan pimpinan DPR RI Setya Novanto layaknya sinetron antar dua geng yang di satu masa berseteru, di masa yang lain justru berteman.
Kendati demikian, Rizal menganggap sinetron ini diperlukan untuk membuka mata seluruh rakyat Indonesia dan mengoreksi kesalahan yang terjadi di masa lalu dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA).
"Supaya kebuka semua, agar kita belajar untuk mengoreksi kesalahan kita di masa lampau dalam mengelola SDA. Ini momentum untuk menulis ulang sejarah pengelola sumber daya alam," tuturnya.
Selama ini, bangsa Indonesia banyak dirugikan dengan kehadiran perusahaan tambang AS tersebut. Betapa tidak, Freeport yang telah mengeruk tambang selama hampir 40 tahun membayar royalti kecil, kerap membuang limbah sembarangan, dan tidak melakukan divestasi.
"Itu bisa terjadi karena pejabat-pejabat Indonesia elitnya itu gampang disogok, gampang dilobi, jadi jubir kepentingan asing. Ya, menurut saya ini perlu supaya kita bisa memanfaatkan SDA ini buat anak cucu kita, sesuai pasal 33 (UUD 1945)," tegasnya.
Rizal berpendapat Indonesia akan mendapatkan durian runtuh jika kontrak Freeport tidak diperpanjang. Menurutnya, Freeport harus mematuhi persyaratan yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jika ingin kontraknya yang akan habis pada 2021, diperpanjang.
"Kalau dipenuhi, bisa dilanjutkan (kontrak Freeport). Tapi kalau seandainya Freeport ngotot enggak mau penuhi, kembalikan KK-nya. Karena Indonesia akan dapat durian runtuh," imbuhnya.
Dia mengatakan, jika tidak mau mengikuti persyaratan, maka Freeport harus hengkang dari Indonesia dan tidak masalah jika kontrak mereka tidak diperpanjang.
Pasalnya, Indonesia justru akan mendapat banyak keuntungan jika kontrak tersebut tidak diteruskan. Adapun syarat yang diajukan Jokowi untuk kelangsungan kontrak Freeport, antara lain, pembayaran royalti kepada pemerintah yang lebih tinggi, tidak membuang limbah sembarangan dan mencemari lingkungan.
Selain itu, melakukan pelepasan saham (divestasi), pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tembaga (smelter), serta memperbaiki lingkungan.
Rizal menyebutkan, cadangan emas yang dimiliki raksasa tambang Paman Sam tersebut sekitar 16 juta kilogram (kg). Sementara cadangan devisa emas yang dimiliki Bank Indonesia (BI) hanya 100 ribu kg.
"Bayangin kalau setengahnya saja kita masukin ke dalam cadangan devisa BI, rupiah menguat ke berapa? Bisa menguat ke dua ribu perak per USD," tandasnya.
Baru-baru ini, publik dikejutkan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, yang mengungkap adanya pencatutan nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), yang diduga dilakukan Ketua DPR RI Setya Novanto, untuk meminta saham kepada raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.
"Terkait dengan kasus ini (Freeport), sebenarnya semakin menegaskan bahwa deal-deal atau transaksi terkait pengelolaan SDA banyak dimainkan di ruang gelap yang sarat korupsi dan gratifikasi, tidak terbuka pada media maupun publik," ujar pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Ki Bagus Hadi Kusuma, Kamis (19/11/2015).
Di sisi lain, lanjut Bagus, kisruh yang terjadi di Freeport tak terlepas dari sikap pemerintah yang tidak tegas dalam renegosiasi kontrak karya (KK). Dalam kasus Freeport, pemerintah seakan tarik ulur dan memberikan harapan perpanjangan kontrak terhadap perusahaan tambang asal negeri Paman Sam tersebut.
"Padahal jelas perpanjangan baru bisa diurus dua tahun sebelum kontrak habis. Maka tidak heran, dengan tidak adanya kepastian dan sikap tegas dari pemerintah, banyak pihak yang ingin bermain dan mengambil keuntungan," paparnya.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengakui banyak pihak yang mendesak agar pemerintah memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia. Namun, mantan kepala staf kepresidenan itu enggan menyebutkan siapa saja pihak yang dimaksud. "Desakan perpanjangan itu datang dari sana dan sini," ujarnya, saat jumpa pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Menurut Luhut, sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas kebijakan tambang sudah jelas, tidak akan pernah memperpanjang kontrak karya Freeport sebelum 2019.
"Karena itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU), karena sikap ini berjalan apa yang kami sarankan saat saya jabat kepala staf kepresidenan, PP Nomor 77 serah terima SBY dan Presiden Jokowi, perpanjangan bisa dilakukan dua tahun sebelum expired, ini sangat eksensial. Presiden juga paham dengan itu," jelasnya.
"Kami malah mengusulkan buat Freeport seperti Mahaka, jadi milik negara dan dikelola Pertamina, cari partner siapa saja. Bisa saja Freeport milik Indonesia kalau kontraknya sudah habis, bisa saja pemerintah tunjuk Antam, bisa saja Freeport jadi partner-nya," terang Luhut.
Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Rizal Ramli melihat banyak skandal yang terjadi selama hampir 40 tahun Freeport mengeksploitasi emas di tanah Papua.
Dia menuturkan, saat perpanjangan kontrak 1980-an telah mulai terjadi kongkalikong atau yang diistilahkan sebagai hengki pengki antara Chairman of Board Freeport-McMoran James Robert Moffett (Jim Bob) dan menteri Indonesia kala itu. Tak ayal, Indonesia hanya mendapatkan sedikit manfaat dari kegiatan pertambangan Freeport.
"Karena perpanjangan kontrak 1980-an kenapa Freeport memberikan manfaat kecil buat Indonesia, karena terjadi hengki pengki antara bos Freeport Jim Moffet dengan Menteri Indonesia," bebernya, di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Rabu (18/11/2015).
Menurutnya, jika Menteri ESDM Sudirman Said benar-benar ingin menguak kebobrokan Freeport, maka bukan tidak mungkin nama Bos Freeport-McMoran akan turut terseret. "Ya, kalau mau main buka-bukaan (kasus Freeport), bosnya Freeport juga bisa kena lah," kata Rizal.
Dia menilai, selama ini masih banyak elit pemerintahan dan politik yang seenaknya hanya mementingkan kepentingan pribadi dibanding bangsa Indonesia.
Menurutnya, kisruh yang melibatkan pimpinan DPR RI Setya Novanto layaknya sinetron antar dua geng yang di satu masa berseteru, di masa yang lain justru berteman.
Kendati demikian, Rizal menganggap sinetron ini diperlukan untuk membuka mata seluruh rakyat Indonesia dan mengoreksi kesalahan yang terjadi di masa lalu dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA).
"Supaya kebuka semua, agar kita belajar untuk mengoreksi kesalahan kita di masa lampau dalam mengelola SDA. Ini momentum untuk menulis ulang sejarah pengelola sumber daya alam," tuturnya.
Selama ini, bangsa Indonesia banyak dirugikan dengan kehadiran perusahaan tambang AS tersebut. Betapa tidak, Freeport yang telah mengeruk tambang selama hampir 40 tahun membayar royalti kecil, kerap membuang limbah sembarangan, dan tidak melakukan divestasi.
"Itu bisa terjadi karena pejabat-pejabat Indonesia elitnya itu gampang disogok, gampang dilobi, jadi jubir kepentingan asing. Ya, menurut saya ini perlu supaya kita bisa memanfaatkan SDA ini buat anak cucu kita, sesuai pasal 33 (UUD 1945)," tegasnya.
Rizal berpendapat Indonesia akan mendapatkan durian runtuh jika kontrak Freeport tidak diperpanjang. Menurutnya, Freeport harus mematuhi persyaratan yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jika ingin kontraknya yang akan habis pada 2021, diperpanjang.
"Kalau dipenuhi, bisa dilanjutkan (kontrak Freeport). Tapi kalau seandainya Freeport ngotot enggak mau penuhi, kembalikan KK-nya. Karena Indonesia akan dapat durian runtuh," imbuhnya.
Dia mengatakan, jika tidak mau mengikuti persyaratan, maka Freeport harus hengkang dari Indonesia dan tidak masalah jika kontrak mereka tidak diperpanjang.
Pasalnya, Indonesia justru akan mendapat banyak keuntungan jika kontrak tersebut tidak diteruskan. Adapun syarat yang diajukan Jokowi untuk kelangsungan kontrak Freeport, antara lain, pembayaran royalti kepada pemerintah yang lebih tinggi, tidak membuang limbah sembarangan dan mencemari lingkungan.
Selain itu, melakukan pelepasan saham (divestasi), pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tembaga (smelter), serta memperbaiki lingkungan.
Rizal menyebutkan, cadangan emas yang dimiliki raksasa tambang Paman Sam tersebut sekitar 16 juta kilogram (kg). Sementara cadangan devisa emas yang dimiliki Bank Indonesia (BI) hanya 100 ribu kg.
"Bayangin kalau setengahnya saja kita masukin ke dalam cadangan devisa BI, rupiah menguat ke berapa? Bisa menguat ke dua ribu perak per USD," tandasnya.
(dmd)