IRESS Cium Ada Upaya Mengaburkan Kewajiban Divestasi Freeport
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Resources Studies (IRESS) mengendus ada upaya mengaburkan kewajiban pengurangan saham (divestasi) yang harus dilakukan PT Freeport Indonesia, di balik polemik pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sedang bergulir.
Pasalnya, raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut seharusnya telah menyerahkan harga penawaran saham divestasi sebesar 10,64%, sejak 14 Oktober 2015. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda penawaran harga yang dilontarkan Freeport. (Baca: Ruang Gelap di Balik Tambang Freeport)
Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara mengungkapkan, upaya pemerintah untuk menghilangkan kebiasaan buruk masa lalu, seperti lobi politik merupakan tindakan tepat. Namun, jangan juga lupa bahwa pemerintah harus bernegosiasi dengan Freeport untuk mendapatkan hal terbaik bagi rakyat sebelum kontrak perusahaan tambang Paman Sam tersebut diperpanjang. Baca: Tuntaskan Kontrak Freeport, UU Minerba Harus Direvisi
"Iya (upaya mengaburkan kewajiban divestasi). Justru di situ kita peringatkan. Pemerintah ini ingin menghilangkan kebiasaan buruk di masa lalu itu bagus saja. Tapi dalam melanjutkan kontrak ini bernegosiasi dengan Freeport, maka dia harus mendapatkan hal terbaik bagi rakyat," jelasnya, saat dihubungi Sindonews di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Marwan, dalam hal divestasi saham pembelian harus dilakukan oleh pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dia menolak keras rencana Freeport melakukan divestasi dengan cara melantai di bursa melalui skema penawaran saham perdana (initial public offering/IPO). (Baca: Pemerintah Belum Bahas Lagi Divestasi Freeport)
"Masalah divestasi dibiarkan IPO ya sama saja. Ini kita kecam, kalau seandainya IPO kita kecam," tegasnya. (Baca: BUMN Tak Akan Ambil Saham Freeport jika Kemahalan)
Selain soal divestasi, pemerintah dalam bernegosiasi dengan Freeport juga harus berupaya meningkatkan royalti dan meminta kompensasi atas kerusakan lingkungan yang dilakukan di Tanah Papua. (Baca: Rizal Ramli: Kontrak Freeport Banyak Hengki Pengki)
"Dulu sudah pernah dijanjikan akan dibayar USD5 miliar. Selain itu, membangun di Papua smelter-nya. Jadi banyak hal yang harus diperjuangkan," tandasnya. (Baca: RI Dapat Durian Runtuh jika Tak Perpanjang Kontrak Freeport)
Pasalnya, raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut seharusnya telah menyerahkan harga penawaran saham divestasi sebesar 10,64%, sejak 14 Oktober 2015. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda penawaran harga yang dilontarkan Freeport. (Baca: Ruang Gelap di Balik Tambang Freeport)
Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara mengungkapkan, upaya pemerintah untuk menghilangkan kebiasaan buruk masa lalu, seperti lobi politik merupakan tindakan tepat. Namun, jangan juga lupa bahwa pemerintah harus bernegosiasi dengan Freeport untuk mendapatkan hal terbaik bagi rakyat sebelum kontrak perusahaan tambang Paman Sam tersebut diperpanjang. Baca: Tuntaskan Kontrak Freeport, UU Minerba Harus Direvisi
"Iya (upaya mengaburkan kewajiban divestasi). Justru di situ kita peringatkan. Pemerintah ini ingin menghilangkan kebiasaan buruk di masa lalu itu bagus saja. Tapi dalam melanjutkan kontrak ini bernegosiasi dengan Freeport, maka dia harus mendapatkan hal terbaik bagi rakyat," jelasnya, saat dihubungi Sindonews di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Marwan, dalam hal divestasi saham pembelian harus dilakukan oleh pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dia menolak keras rencana Freeport melakukan divestasi dengan cara melantai di bursa melalui skema penawaran saham perdana (initial public offering/IPO). (Baca: Pemerintah Belum Bahas Lagi Divestasi Freeport)
"Masalah divestasi dibiarkan IPO ya sama saja. Ini kita kecam, kalau seandainya IPO kita kecam," tegasnya. (Baca: BUMN Tak Akan Ambil Saham Freeport jika Kemahalan)
Selain soal divestasi, pemerintah dalam bernegosiasi dengan Freeport juga harus berupaya meningkatkan royalti dan meminta kompensasi atas kerusakan lingkungan yang dilakukan di Tanah Papua. (Baca: Rizal Ramli: Kontrak Freeport Banyak Hengki Pengki)
"Dulu sudah pernah dijanjikan akan dibayar USD5 miliar. Selain itu, membangun di Papua smelter-nya. Jadi banyak hal yang harus diperjuangkan," tandasnya. (Baca: RI Dapat Durian Runtuh jika Tak Perpanjang Kontrak Freeport)
(dmd)