YLKI: Listrik Perlu Dana Ketahanan Seperti Energi
A
A
A
JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyarankan sebaiknya pemerinta juga membentuk dana ketahanan untuk listrik.
Selain itu, pemerintah juga diharuskan mereview besaran tarif listrik, sehingga tidak main memangkas subsidi tarif listrik dan membebani yang lainnya.
"Sebetulnya, Dewan Energi Nasional (DEN) atau lembaga lain, harus pikirkan hal-hal yang besar, misalnya ada juga yang namanya dana ketahanan listrik, kan kalau di minyak ada tuh. Terus kalau secara mikro bisa direview, yang listrik besaran 1.300 kWh, karena yang 900 kan juga mau direview. Jadi, jangan mau mangkas subsidi tapi ada pembebanan yang lain," kata Tulus di Jakarta, Selasa (29/12/2015).
Dana talangan listrik ini, ungkap Tulus, nantinya akan sama seperti minyak, jadi masyarakat akan lebih bisa mendapatkan kepastian terhadap fluktuasi tarif.
"Kalau harga minyak turun, kita enggak usah turun. Kalo naik, enggak usah naik. Selisihnya bisa dijadikan tabungan. Nah, skema ini bisa diterapkan di listrik harusnya. Jadi enggak substantif, karena nanti berakibat ketidakpastian usaha," ujarnya.
Selain itu, yang lebih penting lagi kebijakan pemerintah jangan sektoral tapi harus komprehensif. Untuk kebijakan harga, ini trennya sedang disamakan semua, maunya diserahkan ke pasar. Menurutnya, hal itu tidak tepat.
"Ini sebenernya enggak boleh, karena melanggar konstitusi. Kalau mengacu pada negara lain, India misalnya, komoditas publik, listrik atau telekomunikasi ditetapkan satu lembaga public utilities commition. Bukan diserahkan ke pasar," kata dia.
Mestinya, lanjut Tulus, pemerintah membuat audit energi, audit konsumsi energi masyarakat, sudah barapa rupiah yang ada. Jika sudah melewati batas ratio yang ideal dari biaya konsumsi energi, berati ada yang salah.
"Sekarang dihitung, berapa ongkos elpiji kita, gas, dan yang lainnya. Jadi, pendapatan kita enggak tergerus oleh konsumsi energi," pungkasnya.
Selain itu, pemerintah juga diharuskan mereview besaran tarif listrik, sehingga tidak main memangkas subsidi tarif listrik dan membebani yang lainnya.
"Sebetulnya, Dewan Energi Nasional (DEN) atau lembaga lain, harus pikirkan hal-hal yang besar, misalnya ada juga yang namanya dana ketahanan listrik, kan kalau di minyak ada tuh. Terus kalau secara mikro bisa direview, yang listrik besaran 1.300 kWh, karena yang 900 kan juga mau direview. Jadi, jangan mau mangkas subsidi tapi ada pembebanan yang lain," kata Tulus di Jakarta, Selasa (29/12/2015).
Dana talangan listrik ini, ungkap Tulus, nantinya akan sama seperti minyak, jadi masyarakat akan lebih bisa mendapatkan kepastian terhadap fluktuasi tarif.
"Kalau harga minyak turun, kita enggak usah turun. Kalo naik, enggak usah naik. Selisihnya bisa dijadikan tabungan. Nah, skema ini bisa diterapkan di listrik harusnya. Jadi enggak substantif, karena nanti berakibat ketidakpastian usaha," ujarnya.
Selain itu, yang lebih penting lagi kebijakan pemerintah jangan sektoral tapi harus komprehensif. Untuk kebijakan harga, ini trennya sedang disamakan semua, maunya diserahkan ke pasar. Menurutnya, hal itu tidak tepat.
"Ini sebenernya enggak boleh, karena melanggar konstitusi. Kalau mengacu pada negara lain, India misalnya, komoditas publik, listrik atau telekomunikasi ditetapkan satu lembaga public utilities commition. Bukan diserahkan ke pasar," kata dia.
Mestinya, lanjut Tulus, pemerintah membuat audit energi, audit konsumsi energi masyarakat, sudah barapa rupiah yang ada. Jika sudah melewati batas ratio yang ideal dari biaya konsumsi energi, berati ada yang salah.
"Sekarang dihitung, berapa ongkos elpiji kita, gas, dan yang lainnya. Jadi, pendapatan kita enggak tergerus oleh konsumsi energi," pungkasnya.
(izz)