Pungut Dana Energi, UU Amanatkan dari Eksplorasi Migas-Minerba
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah memungut dana ketahanan energi dari hasil penjualan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar ditegaskan Komisi VII DPR RI tidak sesuai dengan amanat Undang-undang (UU) Nomor 30 tahun 2007 tentang pengembangan energi terbarukan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya W Yudha menuturkan bahwa UU Energi hanya mengamanatkan bahwa pungutan untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan diambil dari uang hasil eksplorasi migas dan minerba.
"Kalau sesuai UU Energi itu mengambil duitnya dari hasil minyak dan gas, batubara dan mineral yang lain. Jadi tidak mengambil dari masyarakat, tapi dari hasil migas kita," jelasnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (31/12/2015).
(Baca Juga: Energi Butuh Dana Besar, DEN Setuju Masyarakat Dipungut 'Sedekah')
Dia juga menerangkan bahwa dalam UU Energi disebutkan biaya yang digunakan untuk melakukan penelitian dan pengembangan energi baru terbarukan diambil dari depletion premium yang dihasilkan dari energi fosil, seperti minyak, gas, batubara dan mineral lainnya.
"Kalau di APBN ada sekitar Rp130 triliun kira-kira. Jangan dibedakan pendapatan migas hulu hilir. Jadi pendapatan migas nasional itu adalah merupakan proses dari hulu ke hilir. Begitupun dengan minerba seperti nikel menjadi feronikel, bisa ditotal," sambungnya.
"Yang tidak bisa menerapkan hulu hilir seperti batubara murni, maka dihitung sebagai batubara. Paling penting menjadi rupiah. Selanjutnya pendapatan dari fossil fuel ini sebagian diambil untuk pengembangan dan riset untuk energi baru dan terbarukan. Itu bunyi UU 30," pungkasnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya W Yudha menuturkan bahwa UU Energi hanya mengamanatkan bahwa pungutan untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan diambil dari uang hasil eksplorasi migas dan minerba.
"Kalau sesuai UU Energi itu mengambil duitnya dari hasil minyak dan gas, batubara dan mineral yang lain. Jadi tidak mengambil dari masyarakat, tapi dari hasil migas kita," jelasnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (31/12/2015).
(Baca Juga: Energi Butuh Dana Besar, DEN Setuju Masyarakat Dipungut 'Sedekah')
Dia juga menerangkan bahwa dalam UU Energi disebutkan biaya yang digunakan untuk melakukan penelitian dan pengembangan energi baru terbarukan diambil dari depletion premium yang dihasilkan dari energi fosil, seperti minyak, gas, batubara dan mineral lainnya.
"Kalau di APBN ada sekitar Rp130 triliun kira-kira. Jangan dibedakan pendapatan migas hulu hilir. Jadi pendapatan migas nasional itu adalah merupakan proses dari hulu ke hilir. Begitupun dengan minerba seperti nikel menjadi feronikel, bisa ditotal," sambungnya.
"Yang tidak bisa menerapkan hulu hilir seperti batubara murni, maka dihitung sebagai batubara. Paling penting menjadi rupiah. Selanjutnya pendapatan dari fossil fuel ini sebagian diambil untuk pengembangan dan riset untuk energi baru dan terbarukan. Itu bunyi UU 30," pungkasnya.
(akr)