BI: Gejolak Kurs Terjadi Sejak 2013

Jum'at, 29 Januari 2016 - 10:44 WIB
BI: Gejolak Kurs Terjadi...
BI: Gejolak Kurs Terjadi Sejak 2013
A A A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengemukakan, tingkat suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) baru terjadi pada akhir 2015‎, namun gejolak nilai tukar mata uang dunia dan pasar keuangan global terjadi sejak 2013. Karena, AS telah mewanti-wanti kenaikan tingkat suku bunganya sejak dua tahun lalu.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menuturkan, ‎perubahan kebijakan moneter AS pada dasarnya bukan yang pertama dilakukan Negeri Paman Sam tersebut. Hanya saja, yang membedakan adalah karena baru kali ini suku bunga AS sangat rendah.

"Dari dulu juga ada (perubahan kebijakan moneter AS), tapi yang sangat membedakan adalah baru kali ini suku bunga AS serendah saat ini," katanya di Graha Niaga, Jakarta, Jumat (29/1/2016).

Dia menyebutkan, sejak 2008 akhir AS mengalami krisis global dan membuat mereka menurunkan tingkat suku bunganya dari 5,25% menjadi 0,25%. Suku bunga yang rendah tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi AS pasca krisis global.

"Karena pertumbuhan ekonominya negatif. ‎Suku bunga rendah tersebut bertahan dari 2008 akhir sampai 2015 akhir," imbuh dia.

Kemudian, sejak pertengahan 2013 The Fed telah memberikan aba-aba bahwa suku bunga yang rendah tersebut tidak akan selamanya rendah dan mulai akan dinaikkan. Sejak saat itulah, gejolak kurs dan gejolak pasar keuangan terjadi di seluruh dunia. Bahkan, gejolak keuangan tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.

"Tapi juga terjadi di pasar keuangan global. Bagaimana kurs negara seperti Brazil melemah pada 2013-2014 sebesar 13%, 2015 melemah 33%. Indonesia kursnya turun pada 2013-2014 sebesar 21%, dan pada 2015 turun 10%," terang dia.

Penurunan nilai kurs juga terjadi pada negara maju, seperti Kanada yang melemah 14% pada 2013 dan 16% pada 2015, Norwegia turun sebesar 24% pada 2013 dan 16% pada 2015, New Zealand turun 4% pada 2013 dan 12% pada 2015, serta Australia yang kursnya turun 21% pada 2013 dan 11% pada 2015.

‎Hal tersebut, sambung Mirza, membuat dana yang keluar (capital outflow) dari negara berkembang terjadi sangat besar. Negara berkembang harus benar-benar menjaga disiplin pengelolaan makronya jika tidak mau arus dana yang keluar semakin deras.

"‎Karena, jika suatu negara jaga inflasinya tidak disiplin, menjaga ULN tidak disiplin, maka outflow akan makin besar," tandasnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1877 seconds (0.1#10.140)