Indef: Bukan Saham 100%, Investor Butuh Konsistensi Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Institute Development of Economic and Finance (Indef) mengkritik keputusan pemerintah untuk merombak habis-habisan aturan daftar negatif investasi (DNI), dengan memperlebar porsi asing untuk masuk ke berbagai bidang usaha di Indonesia.
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati menilai, pada dasarnya yang selama ini dikeluhkan investor asing bukanlah soal mereka yang tidak bisa memiliki saham 100% di berbagai bidang usaha di Tanah Air. Namun, yang dikeluhkan tersebut lebih kepada inkonsistensi kebijakan pemerintah serta keterbatasan infrastruktur yang membuat ongkos logistik sangat mahal.
"Berbagai perizinan administrasi dan birokrasi yang ruwet kayak benang kusut, perburuhan yang tidak selesai. Nah juga persoalan transaction cost yang sangat tinggi. Rata-rata hampir 30%. Itu yang mereka keluhkan," katanya saat dihubungi Sindonews di Jakarta, Sabtu (13/2/2016).
Enny mengungkapkan, ketidakpastian usaha tersebut yang sangat membebani investor asing dan menjadikan daya tarik investasi di Indonesia menjadi kurang. Padahal, potensi investasi di Tanah Air justru sangat tinggi. (Baca: Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X Ancam UMKM)
"Indonesia masih dalam peringkat 10 besar untuk negara tujuan investasi, tapi karena kendala tersebut akhirnya menjadi urung," imbuh dia.
Bahkan, diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pun tidak banyak membantu Indonesia untuk menarik investasi masuk. Lantaran ketidakpastian usaha yang ada di Indonesia, investor asing lebih memilih berinvestasi di negara Asean lainnya dan baru kemudian melakukan penetrasi pasar di Indonesia.
"Ada MEA kan enggak harus investasi di Indonesia. Mereka investasi aja di negara lain, terus kemudian penetrasi ke pasar Indonesia. Jadi ini penyakitnya itu," tutur Enny.
Menurutnya, negara lain pun tidak memperlakukan investasi asing secara bebas. Bahkan, Singapura hingga kini tidak melakukan liberalisasi secara besar-besaran dalam investasi asing. Namun investasi dari luar negeri yang masuk ke negara tersebut tetap banyak.
"Kita mau bikin ATM di Singapura, jangankan buka bank, mau bikin ATM saja sulit. Artinya ada pembatasan. Tapi mengapa investasi tetap banyak masuk ke Singapura? Nah itu kan berarti bukan karena pembatasan itu. Tapi karena kepasitan usaha," tegas dia.
Dengan demikian, tambah Enny, persoalan tidak optimalnya investasi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia bukan karena pembatasan kepemilikan. "Jadi kalau mengeluarkan DNI dengan cara mereka boleh investasi 100% tanpa memperbaiki berbagai kendala tadi ya non sense," tandasnya. (lly)
Baca juga:
Restoran Dibuka 100% Asing, Nasib Rumah Makan Padang Jadi Taruhan
35 Bidang Usaha Dibuka 100% untuk Asing
Ketua DPR: Paket Kebijakan Ekonomi Harus Sesuai Porsi
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati menilai, pada dasarnya yang selama ini dikeluhkan investor asing bukanlah soal mereka yang tidak bisa memiliki saham 100% di berbagai bidang usaha di Tanah Air. Namun, yang dikeluhkan tersebut lebih kepada inkonsistensi kebijakan pemerintah serta keterbatasan infrastruktur yang membuat ongkos logistik sangat mahal.
"Berbagai perizinan administrasi dan birokrasi yang ruwet kayak benang kusut, perburuhan yang tidak selesai. Nah juga persoalan transaction cost yang sangat tinggi. Rata-rata hampir 30%. Itu yang mereka keluhkan," katanya saat dihubungi Sindonews di Jakarta, Sabtu (13/2/2016).
Enny mengungkapkan, ketidakpastian usaha tersebut yang sangat membebani investor asing dan menjadikan daya tarik investasi di Indonesia menjadi kurang. Padahal, potensi investasi di Tanah Air justru sangat tinggi. (Baca: Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X Ancam UMKM)
"Indonesia masih dalam peringkat 10 besar untuk negara tujuan investasi, tapi karena kendala tersebut akhirnya menjadi urung," imbuh dia.
Bahkan, diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pun tidak banyak membantu Indonesia untuk menarik investasi masuk. Lantaran ketidakpastian usaha yang ada di Indonesia, investor asing lebih memilih berinvestasi di negara Asean lainnya dan baru kemudian melakukan penetrasi pasar di Indonesia.
"Ada MEA kan enggak harus investasi di Indonesia. Mereka investasi aja di negara lain, terus kemudian penetrasi ke pasar Indonesia. Jadi ini penyakitnya itu," tutur Enny.
Menurutnya, negara lain pun tidak memperlakukan investasi asing secara bebas. Bahkan, Singapura hingga kini tidak melakukan liberalisasi secara besar-besaran dalam investasi asing. Namun investasi dari luar negeri yang masuk ke negara tersebut tetap banyak.
"Kita mau bikin ATM di Singapura, jangankan buka bank, mau bikin ATM saja sulit. Artinya ada pembatasan. Tapi mengapa investasi tetap banyak masuk ke Singapura? Nah itu kan berarti bukan karena pembatasan itu. Tapi karena kepasitan usaha," tegas dia.
Dengan demikian, tambah Enny, persoalan tidak optimalnya investasi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia bukan karena pembatasan kepemilikan. "Jadi kalau mengeluarkan DNI dengan cara mereka boleh investasi 100% tanpa memperbaiki berbagai kendala tadi ya non sense," tandasnya. (lly)
Baca juga:
Restoran Dibuka 100% Asing, Nasib Rumah Makan Padang Jadi Taruhan
35 Bidang Usaha Dibuka 100% untuk Asing
Ketua DPR: Paket Kebijakan Ekonomi Harus Sesuai Porsi
(dmd)