Efek Positif Liberalisasi Ekonomi RI Lewat Paket Kebijakan
A
A
A
JAKARTA - Liberalisasi kebijakan ekonomi di Indonesia yang tercermin dalam paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla dari jilid pertama hingga ke sepuluh menurut Pengamat ekonomi dari Indosterling Capital, William Henley harus direspon positif. Alasannya paket kebijakan tersebut dinilai menjadi salah satu usaha untuk menciptakan iklim persaingan yang sehat.
(Baca Juga: Paket Kebijakan Ekonomi Dinilai Tak Punya Acuan)
''Persaingan yang sehat sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis. Bukankah persaingan yang sehat itu akan menciptakan perusahaan yang juga sehat? Pada akhirnya yang diuntungkan adalah seluruh masyarakat Indonesia dan pemerintah,'' jelasnya di Jakarta, Jumat (26/2/2016).
Dia pun memberikan penilaian tersebut untuk menyikapi paket kebijakan sepuluh pemerintahan Jokowi yang berisikan perubahan tentang daftar negatif investasi (DNI). Dalam paket kebijakan ini termuat ketentuan investasi untuk bidang-bidang usaha yang mulai dibuka untuk investor asing dengan jumlah kepemilikan atau saham hingga 100 persen.
Menurutnya liberalisasi investasi asing ini sebenarnya hal lumrah dalam perekonomian. Tentunya, ia mengingatkan, sepanjang hal tersebut tetap menempatkan kepentingan nasional sebagai pertimbangan utama.
''Liberalisasi di sini harus dibaca sebagai strategi politik ekonomi pemerintah untuk meningkatkan kinerja ekonomi nasional. Negara-negara lain pun melakukannya dan rasanya hal ini lumrah dalam era globalisasi ekonomi seperti sekarang,'' papar dia.
Lebih lanjut dia menerangkan pelonggaran DNI ini sesungguhnya berpotensi untuk menciptakan aliran modal masuk (capital inflow) dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI). Menurutnya, FDI ini sangat dibutuhkan untuk menggerakan sektor riil.
Tentunya negeri ini, kata dia, tidak ingin terlalu bergantung pada modal asing berjangka pendek yang masuk melalui instrumen saham dan obligasi atau sering disebut uang panas (hot money). Investor asing dengan hot-money yang mereka miliki, menurut William, akan dengan mudah memindahkan investasinya dari Indonesia ke negara lain begitu ada sentimen negatif di dalam negeri.
Jika hal itu terjadi maka akan bisa berdampak pada pelemahan nilai tukar Rupiah dan kupon obligasi pemerintah. ''Justru melalui kebijakan ini ada semacam upaya antisipasi,'' tukas dia.
Dengan terjadinya liberalisasi ini, dia meyakini, masyarakat akan bisa menikmati kualitas produk dan layanan menjadi lebih baik. Pada sisi lainnya, kata dia, pemerintah bisa juga menarik pajak lebih banyak dari perusahaan jika semakin banyak perusahaan yang bertumbuh secara sehat.
''Kita bisa bercermin pada kasus dihapuskannya monopoli bisnis SPBU di Indonesia. Dampak positifnya konsumen bisa menikmati kualitas layanan yang lebih baik dari Pertamina. Sebagai konsekuensinya, Pertamina menyadari bahwa mereka tidak akan bisa bertahan jika tidak memperbaiki kualitas layanannya,'' paparnya.
(Baca Juga: Paket Kebijakan Ekonomi Dinilai Tak Punya Acuan)
''Persaingan yang sehat sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis. Bukankah persaingan yang sehat itu akan menciptakan perusahaan yang juga sehat? Pada akhirnya yang diuntungkan adalah seluruh masyarakat Indonesia dan pemerintah,'' jelasnya di Jakarta, Jumat (26/2/2016).
Dia pun memberikan penilaian tersebut untuk menyikapi paket kebijakan sepuluh pemerintahan Jokowi yang berisikan perubahan tentang daftar negatif investasi (DNI). Dalam paket kebijakan ini termuat ketentuan investasi untuk bidang-bidang usaha yang mulai dibuka untuk investor asing dengan jumlah kepemilikan atau saham hingga 100 persen.
Menurutnya liberalisasi investasi asing ini sebenarnya hal lumrah dalam perekonomian. Tentunya, ia mengingatkan, sepanjang hal tersebut tetap menempatkan kepentingan nasional sebagai pertimbangan utama.
''Liberalisasi di sini harus dibaca sebagai strategi politik ekonomi pemerintah untuk meningkatkan kinerja ekonomi nasional. Negara-negara lain pun melakukannya dan rasanya hal ini lumrah dalam era globalisasi ekonomi seperti sekarang,'' papar dia.
Lebih lanjut dia menerangkan pelonggaran DNI ini sesungguhnya berpotensi untuk menciptakan aliran modal masuk (capital inflow) dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI). Menurutnya, FDI ini sangat dibutuhkan untuk menggerakan sektor riil.
Tentunya negeri ini, kata dia, tidak ingin terlalu bergantung pada modal asing berjangka pendek yang masuk melalui instrumen saham dan obligasi atau sering disebut uang panas (hot money). Investor asing dengan hot-money yang mereka miliki, menurut William, akan dengan mudah memindahkan investasinya dari Indonesia ke negara lain begitu ada sentimen negatif di dalam negeri.
Jika hal itu terjadi maka akan bisa berdampak pada pelemahan nilai tukar Rupiah dan kupon obligasi pemerintah. ''Justru melalui kebijakan ini ada semacam upaya antisipasi,'' tukas dia.
Dengan terjadinya liberalisasi ini, dia meyakini, masyarakat akan bisa menikmati kualitas produk dan layanan menjadi lebih baik. Pada sisi lainnya, kata dia, pemerintah bisa juga menarik pajak lebih banyak dari perusahaan jika semakin banyak perusahaan yang bertumbuh secara sehat.
''Kita bisa bercermin pada kasus dihapuskannya monopoli bisnis SPBU di Indonesia. Dampak positifnya konsumen bisa menikmati kualitas layanan yang lebih baik dari Pertamina. Sebagai konsekuensinya, Pertamina menyadari bahwa mereka tidak akan bisa bertahan jika tidak memperbaiki kualitas layanannya,'' paparnya.
(akr)