Pengusaha Mebel Tolak Perubahan Permendag SVLK
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Amkri) bersikeras menolak perubahan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89 tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Hal ini terkait pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang berlaku dari hulu hingga hilir.
Amkri menilai, permendag mengenai pemberlakuan SVLK untuk industri mebel dan kerajinan sudah tepat karena sifatnya tidak lagi mandatori, tetapi voluntary partnership agreement. ”Artinya kalau buyers minta SVLK, silakan masing-masing pelaku usaha membuatnya. Tetapi kalau buyers tidak minta, maka tidak perlu mewajibkan,” ujar Sekretaris Jenderal Amkri Abdul Sobur di Jakarta.
Menurut Sobur, negara Uni Eropa maupun negara-negara tujuan ekspor lainnya tidak meminta dan tidak mewajibkan, sehingga SVLK bukan merupakan dokumen custom di negara tujuan ekspor. ”Kami tegaskan kembali bahwa kami bukan menolak SVLK. Kami setuju SVLK, tapi hanya diberlakukan di hulu, bukan di hilir,” terangnya.
Sobur menjelaskan, Permendag No 89 tahun 2015 sudah sesuai dan tidak perlu dipermasalahkan bahwa SVLK hanya berlaku di industri hulu dan tidak berlaku untuk 15 HS mebel dan kerajinan. Menurutnya, apabila kayu sudah dianggap legal di wilayah hulu, maka di hilir pun dipastikan legal sehingga tidak memerlukan lagi adanya SVLK.
Karena itu, sebagian besar pelaku industri mebel dan kerajinan tidak mengurus sertifikasi SVLK karena menilai tidak ada manfaatnya. Pemberlakuan SVLK dengan tujuan meningkatkan ekspor pun dinilai tidak relevan.
Ketua Umum Amkri Rudi Halim mengatakan, peraturan SVLK sekarang ini sudah sangat final. Dia berharap, persoalan ini tidak menambah masalah bagi industri mebel dan kerajinan Indonesia yang sedang berupaya untuk meningkatkan daya saing.
Sementara Ketua DPD Amkri Jawa Timur (Jatim) Nur Cahyudi menyebutkan, jika SVLK diberlakukan dari hulu hingga hilir, maka industri dalam negeri kesulitan untuk bisa memenangi pertarungan di pasar global.
Amkri menilai, permendag mengenai pemberlakuan SVLK untuk industri mebel dan kerajinan sudah tepat karena sifatnya tidak lagi mandatori, tetapi voluntary partnership agreement. ”Artinya kalau buyers minta SVLK, silakan masing-masing pelaku usaha membuatnya. Tetapi kalau buyers tidak minta, maka tidak perlu mewajibkan,” ujar Sekretaris Jenderal Amkri Abdul Sobur di Jakarta.
Menurut Sobur, negara Uni Eropa maupun negara-negara tujuan ekspor lainnya tidak meminta dan tidak mewajibkan, sehingga SVLK bukan merupakan dokumen custom di negara tujuan ekspor. ”Kami tegaskan kembali bahwa kami bukan menolak SVLK. Kami setuju SVLK, tapi hanya diberlakukan di hulu, bukan di hilir,” terangnya.
Sobur menjelaskan, Permendag No 89 tahun 2015 sudah sesuai dan tidak perlu dipermasalahkan bahwa SVLK hanya berlaku di industri hulu dan tidak berlaku untuk 15 HS mebel dan kerajinan. Menurutnya, apabila kayu sudah dianggap legal di wilayah hulu, maka di hilir pun dipastikan legal sehingga tidak memerlukan lagi adanya SVLK.
Karena itu, sebagian besar pelaku industri mebel dan kerajinan tidak mengurus sertifikasi SVLK karena menilai tidak ada manfaatnya. Pemberlakuan SVLK dengan tujuan meningkatkan ekspor pun dinilai tidak relevan.
Ketua Umum Amkri Rudi Halim mengatakan, peraturan SVLK sekarang ini sudah sangat final. Dia berharap, persoalan ini tidak menambah masalah bagi industri mebel dan kerajinan Indonesia yang sedang berupaya untuk meningkatkan daya saing.
Sementara Ketua DPD Amkri Jawa Timur (Jatim) Nur Cahyudi menyebutkan, jika SVLK diberlakukan dari hulu hingga hilir, maka industri dalam negeri kesulitan untuk bisa memenangi pertarungan di pasar global.
(dmd)