Hipmi Desak Pemerintah Lakukan Deregulasi Taksi Nasional

Minggu, 27 Maret 2016 - 22:01 WIB
Hipmi Desak Pemerintah Lakukan Deregulasi Taksi Nasional
Hipmi Desak Pemerintah Lakukan Deregulasi Taksi Nasional
A A A
JAKARTA - Peran pemerintah dalam mengatasi kisruh antara perusahaan taksi model bisnis lama (konvensional) dengan taksi ride sharing berbasis aplikasi online sangat mendesak. Demonstrasi besar-besaran sopir taksi konvensional ditengarai karena pemerintah lamban mengisi kevakuman regulasi untuk taksi aplikasi.

"Kalau pemerintah kesulitan meregulasi taksi berbasis aplikasi yang memanfaatkan celah hukum dan aturan, sebaiknya pemerintah melakukan deregulasi untuk pelaku usaha taksi konvensional, agar mereka dapat bersaing dalam kondisi yang setara dan tidak diberatkan aturan yang membuat mereka tidak kompetitif," ujar Ketua Umum BPC Hipmi Jakarta Pusat Muhammad Aaron Annar Sampetoding, dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews, Minggu (27/3/2016).

"Kami di Hipmi sangat mendukung pertumbuhan usaha berbasis aplikasi, malah sebulan yang lalu Hipmi Jakarta Pusat melakukan diskusi dengan tema Digital Entrepreneurship untuk mendorong pertumbuhan kewirausahaan digital dan online yang dihadiri ratusan anggota Hipmi. Tapi, kami juga berharap pertumbuhan tersebut sifatnya berkelanjutan dan sustainable, memberikan nilai tambah terhadap Indonesia bukan pertumbuhan kebablasan, tidak taat hukum dan aturan," lanjutnya.

Aaron mencatat ada tiga fakta mendasar yang perlu disikapi pemerintah selaku regulator agar dapat melihat secara jernih permasalahan atas hadirnya fenomena taksi berbasis aplikasi. Pertama, telah terjadi komersialisasi besar-besaran terhadap mobil pribadi yang tidak sesuai dengan UU No 22 2009, dan ada kevakuman regulasi dalam mengatur taksi berbasis aplikasi tersebut.

Kedua, Uneven Playing Field, atau kondisi persaingan yang tidak setara akibat anomali kebijakan pemerintah sebagai regulator, menyebabkan pihak yang patuh hukum jadi berada pada posisi kurang menguntungkan dalam kompetisi antar jasa angkutan umum.

Ketiga, terjadi persaingan yang tidak sehat akibat kevakuman regulasi yang oleh pelaku usaha taksi berbasis aplikasi di konversi menjadi predatory pricing untuk merebut pasar.

Untuk itu, lanjut Aaron, sudah menjadi tugas pemerintah menciptakan iklim usaha yang kompetitif dan sepadan untuk menciptakan pertumbuhan usaha yang sehat. Tapi di sisi lain pengusaha nasional juga butuh keberpihakan. Fenomena kegaduhan ini jangan menjadi preseden buruk terhadap pelaku usaha yang taat hukum dan regulasi UU Indonesia, jangan sampai yang patuh hukum malah menjadi dalam posisi terberatkan dan pihak yang dirugikan dalam berkompetisi.

"Pemerintah diminta cepat bertindak dan mencari titik tengah agar kemajuan inovasi tidak terhambat tapi di lain sisi juga kebijakan yang tercipta menciptakan kompetisi sehat dan tidak timpang atau berat sebelah terhadap usaha-usaha yang taat hukum dan aturan UU Republik Indonesia," kata pria yang juga menjabat sebagai wakil ketua DPD KNPI DKI Jakarta bidang Penanaman Modal dan Investasi itu.

Masalah keamanan penumpang juga wajib menjadi perhatian. Dia menyebutkan, San Fransisco dan Los Angeles bisa menjadi contoh. Di sana ditemukan 25 sopir angkutan umum berbasis aplikasi yang ternyata mempunyai rekam kriminal. Malah di Michigan ada sopir angkutan umum berbasis aplikasi yang membunuh enam orang, walau sebelumnya lolos seleksi sebagai sopir taksi berbasis aplikasi.

Tentunya hal seperti ini bisa diminimalisir di perusahaan taksi konvensional dengan tata kelola seleksi SDM yang baik. Aaron menyebutkan Blue Bird dan Express adalah dua perusahaan taksi konvensional dengan rekam jejak keamanan dan kepercayaan konsumen yang sangat baik.

Karena itu, Aaron berharap pemerintah bertindak lebih cepat menetapkan aturan main yang adil untuk pelaku usaha angkutan taksi tersebut sebelum masalah berlarut-larut dan semakin merugikan konsumen dan pelaku ekonomi nasional.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7370 seconds (0.1#10.140)