2nd Gen Challenges

Senin, 11 April 2016 - 00:28 WIB
2nd Gen Challenges
2nd Gen Challenges
A A A
UNTUK ketiga kalinya, 19 Mei nanti kantor saya Inventure bersama Koran SINDO akan menggelar Indonesia Brand Forum (IBF) 2016.

Event tahunan ini diselenggarakan untuk membangkitkan kesadaran membangun brand Indonesia untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri bahkan menjadi champion di pasar global. Makanya, semboyan yang selalu kami usung adalah: Kebangkitan Nasional Kedua, Adalah Kebangkitan Brand Indonesia. Tahun ini kami mengambil tema yang agak berbeda, yaitu ”Branding Family Business”.

Kenapa kami ambil tema ini, karena rupanya lebih dari 90% brand lokal Indonesia adalah brand perusahaan keluarga. Sehingga, membangun brand Indonesia tak bisa dilepaskan dari membangun brand perusahaan keluarga. Dan, seperti tahun-tahun sebelumnya, kami melakukan riset khusus mengenai topik tersebut. Karena itu, sejak tengah tahun lalu saya dan tim melakukan riset mengenai tantangan pemimpin generasi kedua dari perusahaan keluarga di Indonesia.

Hasil riset ini akan dihimpun dalam sebuah buku berjudul The Second Generation Challenges yang akan diluncurkan di IBF 2016 Mei nanti. Melalui kolom ini, selama dua minggu berturut-turut saya akan memberikan sedikit bocoran mengenai temuan riset tersebut.

Succession Challenges

Sekitar 30% bisnis keluarga sukses diturunkan ke generasi kedua. Sekitar 10-15% sukses diturunkan dari generasi kedua ke generasi ketiga. Dan hanya sekitar 3-5% sukses diturunkan dari generasi ketiga ke generasi keempat. Ini tentu saja bukan sebuah capaian yang menggembirakan. Banyak faktor menjadi penyebab kecilnya kesuksesan perusahaan keluarga diturunkan dari generasi ke generasi, salah satu yang terpenting adalah masalah kepemimpinan (leadership).

Kasus yang umum terjadi adalah pemimpin generasi pertama sebagai founder tak mau ”move on”, alias lengser ketika sudah waktunya generasi kedua mengambil alih estafet kepemimpinan. Konflik dan persaingan antara pemimpin generasi pertama dan kedua juga menjadi biang tak mulusnya proses transisi kepemimpinan. Sebagai pendiri, umumnya pemimpin generasi pertama merasa lebih memahami, lebih berhak, dan lebih berkuasa ketimbang generasi kedua.

Sementara, pemimpin generasi kedua tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Ujung-ujungnya berselisih dan saling bersaing. Sementara di kasus yang lain, memang banyak pemimpin generasi kedua yang tidak cukup memiliki skill kepemimpinan sehingga persoalan-persoalan bisnis yang datang bertubi-tubi tidak mampu disolusikan dengan baik.

Beban Turunan

Barangkali kebanyakan kita mengira menjadi ”pangeran” atau ”putri” dalam sebuah perusahaan keluarga adalah sebuah previlege yang enak. Namun tidak demikian bagi ”si pangeran” atau ”si putri” sendiri. Sering terjadi, previlege itu justru merupakan beban berat yang by default harus dipanggulnya.

Beban ini akan makin berat jika perusahaan menjadi semakin meraksasa dengan karyawan ribuan orang dan pemimpin generasi pertama menjadi ikon kharismatik dan memiliki nama besar. Menghadapi beban kepemimpinan ini Wulan Tilaar, Vice Chairwoman Martha Tilaar Group (MTG), punya resep jitu. Seiring berjalannya waktu, ia pun kian bijak. ”Kuncinya legawa, berdamai dengan diri kita, dan niatan baik dan tulus untuk selalu berkontribusi kepada keluarga,” ujarnya.

Beban berat yang harus diemban, awal-awalnya justru menjadinya tak maksimal berkarya. Namun setelah berdamai dengan diri sendiri dan bekerja tanpa beban, Wulan justru merasa lebih enteng melangkah dan kinerja yang dihasilkan jauh lebih baik.

Membangun Kredibilitas

Membangun kredibilitas sebagai pemimpin adalah tantangan pertama dan terberat bagi seorang pemimpin dari generasi kedua. Tantangan ini begitu berat karena umumnya perusahaan keluarga dirintis oleh pemimpin generasi pertama yang karismatik dan ikonik. Dalam kondisi demikian, pemimpin generasi kedua sulit melepaskan diri dari bayang-bayang dan kebesaran pemimpin generasi pertama.

Ario Rahmat dari Triputra Group misalnya, harus merintis kredibilitas kepemimpinannya dari bawah di tengah reputasi kepemimpinan sang ayah, TP Rahmat, yang begitu karismatik, baik pada saat membesarkan Astra maupun ketika merintis Triputra. Kredibilitas ini bisa diperoleh karena kejujuran dari si pemimpin; karena visi yang menginspirasi; atau karena kompetensi unggul yang dimiliki si pemimpin.

Namun di atas itu semua, kredibilitas sesungguhnya seorang pemimpin didapat ketika ia mampu membawa kapal besar perusahaan mencapai tujuan dan visi organisasi, ketika ia mampu membuktikan kemampuannya mencapai kinerja perusahaan yang unggul.

Pembuktian

Bagaimana para pemimpin muda dari generasi kedua membangun kredibilitasnya? Banyak ragam cara mereka lakukan. Ada yang melakukan inisiatif besar, sukses, dan kesuksesan itu menjadi pembuktian kemampuan kepemimpinannya. Dengan bukti tersebut kredibilitas tercipta, dan dengan sendirinya kepercayaan dan respect muncul dari anak buah dan seluruh karyawan.

Irawati Setiady, Presiden Direktur Kalbe, membuktikan kredibilitas kepemimpinannya dimulai dari bawah dengan bekerja di divisi R&D anak perusahaan Kalbe. Perjalanan Ira mendaki pucuk pimpinan Kalbe dilalui cukup panjang dan berliku layaknya karyawan profesional pada umumnya. Dia sudah pernah ditempatkan di berbagai bidang, mulai dari pengembangan produk, produksi, pemasaran, hingga pengembangan organisasi.

Dengan rekam jejak perjalanan karier yang demikian panjang tersebut, Ira tak sulit mendapatkan kredibilitas kepemimpinannya saat ia mengemban tugas di pucuk pimpinan.

Lebih jauh lagi, Ira melakukan lompatan besar dengan mereposisi Kalbe dari produsen obat dan makanan menjadi solusi hidup sehat dengan meluncurkan produk-produk inovatif seperti Fitbar, Nutrive Benecol, dan Entrasol Quick Start yang lekat dengan gaya hidup sehat? (bersambung minggu depan)

Yuswohady
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4661 seconds (0.1#10.140)