Tahun Depan, OJK Perketat Tata Kelola BPR
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) siap memperketat bisnis Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan GCG dan manajemen risiko demi kinerja lebih baik. Penerapan akan diberlakukan bertahap untuk good corporate governance (GCG) di 2017 dan aturan manajemen risiko (MR) di 2021.
Beleid ini tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) No. 4 Tahun 2015 tentang penerapan tata kelola yang baik bagi BPR dan POJK No. 13 Tahun 2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi BPR.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II OJK, Boedi Armanto mengatakan minimnya GCG dan MR membuat banyak BPR melakukan fraud (kecurangan) hingga tidak sedikit BPR yang ditutup operasinya. Sejak 2013 hingga 2015 ada 90 kasus yang terindikasi fraud di perbankan.
“Dari total itu lebih besar berasal dari BPR. Pendampingan akan dilakukan oleh OJK kepada BPR hingga pemberlakuan aturan GCG dan MR. Kita lakukan bertahap," ujar Boedi di Jakarta, Kamis (14/4/2016).
Dia menjelaskan fraud yang terjadi kebanyakan dari kurangnya pengendalian internal, seperti kurangnya kompetensi SDM, check and balance serta action plan yang masih kurang."Misalnya ada nasabah simpan uang tapi malah masuk ke kantong pribadi karyawan. Dari OJK, kita terus investigasi, apakah ada tindak pidananya kemudian dengan kepolisian dan kejaksaan. Kalau tidak ada pidana akan diberikan tindakan pengawasan (supervisory action)," ujarnya.
Dengan adanya fokus pemerintah dalam pemberdayaan UMKM, maka dari itu BPR diminta berkontribusi besar dan meningkatkan perannya dalam penyaluran kreditnya kepada masyarakat di daerah pedesaan.
Boedi berharap, di masa mendatang BPR dapat menjadi penopang utama pertumbuhan perekonomian di daerah itu sendiri, meski sejauh ini bank-bank umum memegang kendali dalam penyaluran kreditnya. Karena itu, program KUR pemerintah menjadi tantangan BPR untuk bisa bersaing.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto mengatakan ada beberapa hal mendasar yang mengharuskan BPR menerapkan GCG dan manajemen risiko. Pertama; masih ada BPR dicabut ijin usahanya bukan karena kalah dalam persaingan tapi disebabkan pengurus BPR belum melaksanakan GCG dengan penuh tanggung jawab.
Kedua; penataan, pengelolaan kekayaan, dan keuangan BPR masih ada yang belum dilakukan secara profesional dan masih ada untuk kepentingan pribadi. “Terakhir, pengelolaan risiko di BPR masih banyak kelemahan, bahkan masih ada yang belum paham tentang risiko. Sehingga performance BPR menurun karena belum memahami risiko yang ditimbulkan,” ujarnya menambahkan.
Untuk memaksimalkan peran BPR dalam menopang UMKM dan menghadapi persaingan di antara lembaga keuangan lainnya, maka kinerja keuangan BPR harus terus ditingkatkan. Joko menilai, peningkatan kinerja keuangan BPR dapat dilakukan dengan menerapkan GCG dalam pengelolaannya.
Penerapan GCG sangat diperlukan agar perbankan dapat bertahan dan tangguh dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat, serta dapat menerapkan etika bisnis, sehingga dapat mewujudkan iklim usaha yang sehat dan transparan.
Komitmen BPR terhadap penerapan GCG yang konsisten, akan mampu menjauhkan BPR dari berbagai masalah yang berisiko tinggi. Tanpa didukung praktik GCG, BPR berpotensi menjadi tidak sehat. Hal ini dapat berisiko dan merusak BPR itu sendiri.
Beleid ini tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) No. 4 Tahun 2015 tentang penerapan tata kelola yang baik bagi BPR dan POJK No. 13 Tahun 2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi BPR.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II OJK, Boedi Armanto mengatakan minimnya GCG dan MR membuat banyak BPR melakukan fraud (kecurangan) hingga tidak sedikit BPR yang ditutup operasinya. Sejak 2013 hingga 2015 ada 90 kasus yang terindikasi fraud di perbankan.
“Dari total itu lebih besar berasal dari BPR. Pendampingan akan dilakukan oleh OJK kepada BPR hingga pemberlakuan aturan GCG dan MR. Kita lakukan bertahap," ujar Boedi di Jakarta, Kamis (14/4/2016).
Dia menjelaskan fraud yang terjadi kebanyakan dari kurangnya pengendalian internal, seperti kurangnya kompetensi SDM, check and balance serta action plan yang masih kurang."Misalnya ada nasabah simpan uang tapi malah masuk ke kantong pribadi karyawan. Dari OJK, kita terus investigasi, apakah ada tindak pidananya kemudian dengan kepolisian dan kejaksaan. Kalau tidak ada pidana akan diberikan tindakan pengawasan (supervisory action)," ujarnya.
Dengan adanya fokus pemerintah dalam pemberdayaan UMKM, maka dari itu BPR diminta berkontribusi besar dan meningkatkan perannya dalam penyaluran kreditnya kepada masyarakat di daerah pedesaan.
Boedi berharap, di masa mendatang BPR dapat menjadi penopang utama pertumbuhan perekonomian di daerah itu sendiri, meski sejauh ini bank-bank umum memegang kendali dalam penyaluran kreditnya. Karena itu, program KUR pemerintah menjadi tantangan BPR untuk bisa bersaing.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto mengatakan ada beberapa hal mendasar yang mengharuskan BPR menerapkan GCG dan manajemen risiko. Pertama; masih ada BPR dicabut ijin usahanya bukan karena kalah dalam persaingan tapi disebabkan pengurus BPR belum melaksanakan GCG dengan penuh tanggung jawab.
Kedua; penataan, pengelolaan kekayaan, dan keuangan BPR masih ada yang belum dilakukan secara profesional dan masih ada untuk kepentingan pribadi. “Terakhir, pengelolaan risiko di BPR masih banyak kelemahan, bahkan masih ada yang belum paham tentang risiko. Sehingga performance BPR menurun karena belum memahami risiko yang ditimbulkan,” ujarnya menambahkan.
Untuk memaksimalkan peran BPR dalam menopang UMKM dan menghadapi persaingan di antara lembaga keuangan lainnya, maka kinerja keuangan BPR harus terus ditingkatkan. Joko menilai, peningkatan kinerja keuangan BPR dapat dilakukan dengan menerapkan GCG dalam pengelolaannya.
Penerapan GCG sangat diperlukan agar perbankan dapat bertahan dan tangguh dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat, serta dapat menerapkan etika bisnis, sehingga dapat mewujudkan iklim usaha yang sehat dan transparan.
Komitmen BPR terhadap penerapan GCG yang konsisten, akan mampu menjauhkan BPR dari berbagai masalah yang berisiko tinggi. Tanpa didukung praktik GCG, BPR berpotensi menjadi tidak sehat. Hal ini dapat berisiko dan merusak BPR itu sendiri.
(ven)