Kuartal I, Penjualan Alas Kaki dari Jatim Anjlok 40%
A
A
A
SURABAYA - Penjualan alas kaki dari Jawa Timur (Jatim), baik pasar dalam negeri maupun ekspor, selama triwulan I/2016 mengalami penurunan hingga 40%. Penurunan itu disebabkan kenaikan harga jual produk akibat imbas kebijakan upah minimum kota (UMK) yang naik rata-rata 10%-15%.
Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim Winyoto Gunawan mengatakan, kendala berkembangnya industri alas kaki adalah masalah kenaikan upah. Di industri alas kaki upah berkontribusi 40% terhadap harga pokok penjualan.
Awalnya, sejumlah pelaku industri alas kaki khawatir terhadap kenaikan UMK yang bisa berimbas pada penjualan, dan terbukti industri alas kaki di Jatim turun drastis pada triwulan I/2016. "Untuk total penjualan saya tidak bisa sebutkan, namun dalam tiga bulan awal penurunan penjualan 40% jika dibanding periode sama tahun lalu," ujarnya, Rabu (27/4/2016).
Dia menjelaskan, turunnya penjualan ini membuat persaingan semakin ketat saat memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal 2016. Pasalnya harga produksi alas kaki Jatim kalah bersaing dengan sepatu asal Vietnam. Karena selisih upah pokok di Vietnam lebih rendah hingga 32,5% dibanding Indonesia.
Atas dasar itu, harga sepatu di negera tersebut bisa lebih murah, akibatnya produk Vietnam lebih menguasai. "Bukti lain, turunya permintaan ekspor dari Eropa dan Amerika Serikat. Ini karena negara tersebut lebih meminati produk sepatu asal Eropa Timur yang upah buruhnya sekitar Rp2 juta per bulan," ujar dia.
Upah murah buruh membuat harga jual produk lebih bisa ditekan. Di samping itu, negara Eropa Timur dalam proses distribusi lebih cepat. Selama ini kawasan Eropa berkontribusi 25% dari total nilai ekspor alas kaki Jatim. Pada triwulan awal tahun ini kontribusinya tak sampai 15%.
Menurutnya, pasar Amerika Serikat saat ini lebih tertarik dengan Vietnam, sehingga kedua negara telah melakukan MoU agar produk sepatu dari Vietnam bebas bea masuk. "Sedangkan produk sepatu dari Indonesia masih dikenakan bea masuk 9%. Kondisi itu memaksa beberapa perusahaan untuk mulai mengurangi jam kerja, untuk menekan biaya produksi alas kaki yang naik 12%-15%," tuturnya.
Sementara, data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim menunjukkan, ekspor nonmigas Jatim ke negara-negara Eropa selama triwulan I/2016 turun 0,04% dengan nilai USD440,18 juta. Ini lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu sebesar USD440,34 juta.
Secara keseluruhan, ekspor nonmigas Jatim ke Eropa berkontribusi 9,13% dari total ekspor. Ada tiga negara tujuan ekspor utama, Belanda, Inggris, dan Jerman. Porsi tiga negara itu dalam struktur ekspor masing-masing sebesar 1,93% untuk Belanda, Inggris 1,08%, dan Jerman 1,44%.
Adapun negara-negara Uni Eropa lain porsinya sampai 4,68%. "Meski secara triwulan turun, tapi secara bulanan masih tumbuh 4,80%," kata Kepala BPS Jatim Teguh Pramono.
Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim Winyoto Gunawan mengatakan, kendala berkembangnya industri alas kaki adalah masalah kenaikan upah. Di industri alas kaki upah berkontribusi 40% terhadap harga pokok penjualan.
Awalnya, sejumlah pelaku industri alas kaki khawatir terhadap kenaikan UMK yang bisa berimbas pada penjualan, dan terbukti industri alas kaki di Jatim turun drastis pada triwulan I/2016. "Untuk total penjualan saya tidak bisa sebutkan, namun dalam tiga bulan awal penurunan penjualan 40% jika dibanding periode sama tahun lalu," ujarnya, Rabu (27/4/2016).
Dia menjelaskan, turunnya penjualan ini membuat persaingan semakin ketat saat memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal 2016. Pasalnya harga produksi alas kaki Jatim kalah bersaing dengan sepatu asal Vietnam. Karena selisih upah pokok di Vietnam lebih rendah hingga 32,5% dibanding Indonesia.
Atas dasar itu, harga sepatu di negera tersebut bisa lebih murah, akibatnya produk Vietnam lebih menguasai. "Bukti lain, turunya permintaan ekspor dari Eropa dan Amerika Serikat. Ini karena negara tersebut lebih meminati produk sepatu asal Eropa Timur yang upah buruhnya sekitar Rp2 juta per bulan," ujar dia.
Upah murah buruh membuat harga jual produk lebih bisa ditekan. Di samping itu, negara Eropa Timur dalam proses distribusi lebih cepat. Selama ini kawasan Eropa berkontribusi 25% dari total nilai ekspor alas kaki Jatim. Pada triwulan awal tahun ini kontribusinya tak sampai 15%.
Menurutnya, pasar Amerika Serikat saat ini lebih tertarik dengan Vietnam, sehingga kedua negara telah melakukan MoU agar produk sepatu dari Vietnam bebas bea masuk. "Sedangkan produk sepatu dari Indonesia masih dikenakan bea masuk 9%. Kondisi itu memaksa beberapa perusahaan untuk mulai mengurangi jam kerja, untuk menekan biaya produksi alas kaki yang naik 12%-15%," tuturnya.
Sementara, data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim menunjukkan, ekspor nonmigas Jatim ke negara-negara Eropa selama triwulan I/2016 turun 0,04% dengan nilai USD440,18 juta. Ini lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu sebesar USD440,34 juta.
Secara keseluruhan, ekspor nonmigas Jatim ke Eropa berkontribusi 9,13% dari total ekspor. Ada tiga negara tujuan ekspor utama, Belanda, Inggris, dan Jerman. Porsi tiga negara itu dalam struktur ekspor masing-masing sebesar 1,93% untuk Belanda, Inggris 1,08%, dan Jerman 1,44%.
Adapun negara-negara Uni Eropa lain porsinya sampai 4,68%. "Meski secara triwulan turun, tapi secara bulanan masih tumbuh 4,80%," kata Kepala BPS Jatim Teguh Pramono.
(izz)