Sensitif Tersengat Isu Global, Pasar Keuangan RI Masih Dangkal
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai saat ini skala pasar keuangan di Tanah Air masih relatif kecil dan dangkal. Hal ini menyebabkan Indonesia sangat sensitif dengan gejolak ekonomi global.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir persoalan yang dihadapi Indonesia relatif sama. Saat kondisi perekonomian dunia mengalami perubahan, maka terjadi arus modal yang keluar (capital outflow) dan menyebabkan nilai tukar rupiah tertekan.
"Kejadian serupa berulang beberapa kali dalam beberapa tahun. Rasanya sudah waktunya alokasikan effort yang lebih signifikan agar ini tidak terulang," katanya di Gedung BI, Jakarta, Kamis (28/4/2016).
Muliaman menilai, Indonesia kemarin diuntungkan dengan batalnya kenaikan tingkat suku bunga Amerika Serikat (Fed Fund Rate). Pasalnya, jika The Fed kemarin kembali menaikkan tingkat suku bunga acuannya maka Indonesia akan kembali bergejolak dan membuat portfolio modal yang masuk kembali hengkang.
Menurutnya, pasar keuangan Indonesia masih sangat dangkal dan membutuhkan reformasi struktural agar tahan banting dengan sentimen dan gejolak yang terjadi di dunia. "Pasar keuangan kita masih sangat dangkal dengan size masih sangat kecil. Kalau ada sentimen kurang menguntungkan dampaknya akan sangat terasa," imbuh dia.
Untungnya, sambung Muliaman, pemerintah Indonesia cepat menyadari hal tersebut dan mencoba melakukan reformasi struktural. Pemerintah fokus membangun iklim investasi dan memperbaiki tingkat kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) yang saat ini masih berada pada peringkat 109.
"Saya kira semua ini jadi bagian penting dalam mewujudkan reformasi struktural. Karena itu kita harus mulai membangun iklim yang tidak hanya bisa mengundang masuk portfolio tapi juga penanaman modal langsung agar sentimen terjadi kita tidak terlalu terdampak," tandas Muliaman.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir persoalan yang dihadapi Indonesia relatif sama. Saat kondisi perekonomian dunia mengalami perubahan, maka terjadi arus modal yang keluar (capital outflow) dan menyebabkan nilai tukar rupiah tertekan.
"Kejadian serupa berulang beberapa kali dalam beberapa tahun. Rasanya sudah waktunya alokasikan effort yang lebih signifikan agar ini tidak terulang," katanya di Gedung BI, Jakarta, Kamis (28/4/2016).
Muliaman menilai, Indonesia kemarin diuntungkan dengan batalnya kenaikan tingkat suku bunga Amerika Serikat (Fed Fund Rate). Pasalnya, jika The Fed kemarin kembali menaikkan tingkat suku bunga acuannya maka Indonesia akan kembali bergejolak dan membuat portfolio modal yang masuk kembali hengkang.
Menurutnya, pasar keuangan Indonesia masih sangat dangkal dan membutuhkan reformasi struktural agar tahan banting dengan sentimen dan gejolak yang terjadi di dunia. "Pasar keuangan kita masih sangat dangkal dengan size masih sangat kecil. Kalau ada sentimen kurang menguntungkan dampaknya akan sangat terasa," imbuh dia.
Untungnya, sambung Muliaman, pemerintah Indonesia cepat menyadari hal tersebut dan mencoba melakukan reformasi struktural. Pemerintah fokus membangun iklim investasi dan memperbaiki tingkat kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) yang saat ini masih berada pada peringkat 109.
"Saya kira semua ini jadi bagian penting dalam mewujudkan reformasi struktural. Karena itu kita harus mulai membangun iklim yang tidak hanya bisa mengundang masuk portfolio tapi juga penanaman modal langsung agar sentimen terjadi kita tidak terlalu terdampak," tandas Muliaman.
(izz)