ESDM Cari Solusi Sengketa Pajak PKP2B Generasi III
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya agar sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menimpa 11 perusahaan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi III tidak harus melalui pengadilan pajak. Sebab, penyelesaian sengketa pajak di pengadilan akan menyita waktu lama, sehingga membebani perusahaan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, upaya mencari solusi atas sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tanpa melalui pengadilan pajak tersebut saat ini masih dibicarakan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Jadi, kita tidak bisa langsung seperti ini (ke pengadilan pajak-red), kita harus bicara baik-baik. Karena, sebagian besar PKP2B Generasi III pergi ke pengadilan pajak. Coba kita cari solusi bagaimana supaya tidak usah pakai pengadilan pajak," ujarnya di Jakarta, Kamis (2/6/2016).
Bambang mengakui, sampai saat ini belum ada kata sepakat antara Kementerian ESDM dan Kemenkeu soal bentuk penyelesaian yang paling dapat diterima kedua pihak. "Belum disepakati (bentuk solusinya) Ini yang masih kita bicarakan," jelas dia.
Diketahui, untuk kontrak PKP2B Generasi III berlaku azas Lex Specialis. Karena itu, inkonsistensi restitusi PPN yang dialami 11 perusahaan PKP2B Generasi III akan menyebabkan ketidakpastian berusaha di Indonesia. "Kontraknya bunyinya seperti itu (Lex Specialis). Aturan Undang-Undangnya seperti itu," imbuhnya.
Karena itu, pembicaraan intens sedang dilakukan baik Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) maupun dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu.
Seperti diketahui sengketa pajak ini berawal dari terbitnya Peraturan Pemerintah No 144 Tahun 2000 yang menyatakan batu bara tidak termasuk Barang Kena Pajak (BKP). Padahal, dalam kontraK PKP2B Generasi III menyatakan batu bara termasuk kategori BKP.
Semenjak rezim pajak itu muncul ketidakpastian bagi pelaku usaha. Hal ini lantaran tidak semua PKP2B Generasi III yang bisa mendapatkan restitusi (pengembalian) pajak. Dari 55 perusahaan PKP2B Generasi III, 34 perusahaan di antaranya sudah berproduksi.
Dari 34 perusahaan, sebanyak 23 di antaranya telah memperoleh restitusi, sementara 11 perusahaan lainnya belum mendapatkan restitusi PPN. Pasalnya, kantor pajak memiliki persepsi berbeda mengenai PPN ini.
Inkonsistensi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) laporan tertanggal 25 Mei 2015 yang menyatakan Direktorat Jenderal Pajak tidak konsisten terhadap pengenaan PPN bagi PKP2B Generasi ketiga.
Hasil pemeriksaan BPK menyatakan Ditjen Pajak ada yang mengenakan batu bara sebagai BKP dan ada juga yang non BKP. Pemeriksaan itu dilakukan terhadap beberapa sampel berkas yang diselesaikan pada 2014 silam. BPK juga merekomendasikan kepada Menteri keuangan selaku wakil pemerintah agar membuat penegasan terkait perlakuan penyerahan batubara oleh PKP2B Generasi III.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, upaya mencari solusi atas sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tanpa melalui pengadilan pajak tersebut saat ini masih dibicarakan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Jadi, kita tidak bisa langsung seperti ini (ke pengadilan pajak-red), kita harus bicara baik-baik. Karena, sebagian besar PKP2B Generasi III pergi ke pengadilan pajak. Coba kita cari solusi bagaimana supaya tidak usah pakai pengadilan pajak," ujarnya di Jakarta, Kamis (2/6/2016).
Bambang mengakui, sampai saat ini belum ada kata sepakat antara Kementerian ESDM dan Kemenkeu soal bentuk penyelesaian yang paling dapat diterima kedua pihak. "Belum disepakati (bentuk solusinya) Ini yang masih kita bicarakan," jelas dia.
Diketahui, untuk kontrak PKP2B Generasi III berlaku azas Lex Specialis. Karena itu, inkonsistensi restitusi PPN yang dialami 11 perusahaan PKP2B Generasi III akan menyebabkan ketidakpastian berusaha di Indonesia. "Kontraknya bunyinya seperti itu (Lex Specialis). Aturan Undang-Undangnya seperti itu," imbuhnya.
Karena itu, pembicaraan intens sedang dilakukan baik Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) maupun dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu.
Seperti diketahui sengketa pajak ini berawal dari terbitnya Peraturan Pemerintah No 144 Tahun 2000 yang menyatakan batu bara tidak termasuk Barang Kena Pajak (BKP). Padahal, dalam kontraK PKP2B Generasi III menyatakan batu bara termasuk kategori BKP.
Semenjak rezim pajak itu muncul ketidakpastian bagi pelaku usaha. Hal ini lantaran tidak semua PKP2B Generasi III yang bisa mendapatkan restitusi (pengembalian) pajak. Dari 55 perusahaan PKP2B Generasi III, 34 perusahaan di antaranya sudah berproduksi.
Dari 34 perusahaan, sebanyak 23 di antaranya telah memperoleh restitusi, sementara 11 perusahaan lainnya belum mendapatkan restitusi PPN. Pasalnya, kantor pajak memiliki persepsi berbeda mengenai PPN ini.
Inkonsistensi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) laporan tertanggal 25 Mei 2015 yang menyatakan Direktorat Jenderal Pajak tidak konsisten terhadap pengenaan PPN bagi PKP2B Generasi ketiga.
Hasil pemeriksaan BPK menyatakan Ditjen Pajak ada yang mengenakan batu bara sebagai BKP dan ada juga yang non BKP. Pemeriksaan itu dilakukan terhadap beberapa sampel berkas yang diselesaikan pada 2014 silam. BPK juga merekomendasikan kepada Menteri keuangan selaku wakil pemerintah agar membuat penegasan terkait perlakuan penyerahan batubara oleh PKP2B Generasi III.
(izz)